"Cyra sayang?" Suara sang ibu berhasil membuat perempuan cantik dengan rambut panjangnya menoleh. Manik matanya yang semanis madu terlihat teduh, memandangi seorang wanita paruh baya yang terlihat mulai menua dengan beberapa helai uban di rambutnya.
Civia, wanita paruh baya tersebut mendekati putrinya yang kini tengah duduk di depan meja rias dengan wajah yang menghadap dirinya.
"Sayang, kamu beneran mau langsung ngisi seminar? Gak mau istirahat dulu? Baru tadi malam kamu mendarat di Indonesia loh." Kata Civia dengan suaranya yang selalu lembut. Tutur kata Civia berbeda jauh dari Cyra. Jika Civia selalu bertutur kata lembut dan manis, Cyra justru sebaliknya.
Ya, bertahun-tahun berlalu namun Cyra masih tetap menjadi dirinya sendiri. Dia tetap gadis gila yang merindukan surga. Sampai detik ini, tatapan mata Cyra tidak berubah sedikitpun. Masih sangat tajam seolah diasah setiap harinya.
Yang berbeda, gadis itu kini sering tersenyum. Namun, tetap saja senyumnya tertutup rapat oleh cadar yang kerap kali Cyra kenakan.
Cyra masih belum bisa Istiqomah dalam bercadar. Dia menganggap cadar merupakan sesuatu yang sunnah sehingga masih dalam tahap berproses untuk mengenakannya secara rutin.
Dia hanya mengenakan cadar sewaktu acara-acara penting dimana banyak orang di sekitarnya. Seperti saat mengajar atau mengisi seminar. Selebihnya, jika bersama keluarga atau jalan-jalan di sekitaran kota, Cyra seringkali tidak mengenakannya.
Gadis itu kini telah menjadi dosen muda. Dia menjadi dosen di usia dua puluh tiga tahun tahun. Namun, dirinya hanya mengajar selama kurang lebih dua tahun sebelum akhirnya berangkat ke Mesir untuk menunutut ilmu agama selama dua tahun lamanya.
Cyra benar-benar menikmati hidupnya seorang diri. Dia gadis mandiri yang tidak membutuhkan seorang pria untuk mendampinginya.
Ya, Cyra masih sendiri di usianya yang kini sudah genap dua puluh enam tahun.
Berkali-kali ayahnya mencoba menjodohkan Cyra dengan banyak orang. Namun, gadis itu selalu menolaknya.
Cyra tahu pernikahan adalah sesuatu yang sangat berharga. Ladang mencari pahala. Tetapi, Cyra belum siap untuk memulainya. Dia masih ingin menikmati kesendiriannya hingga menemukan seseorang yang tepat.
Lagipula, kebanyakan pria yang dijodohkan dengannya selalu meminta untuk mulai melakukan pendekatan yang tak lain adalah pacaran.
Dan Cyra tidak ingin itu.
"Cyra harus datang Mom. Tidak enak jika tiba-tiba membatalkannya." Jawab Cyra.
Gadis itu kemudian tersenyum tipis pada ibunya, meraih jilbabnya. Sewaktu Cyra berniat mengenakannya, Civia mengambil alih. Dia yang kini mengatur kerudung Cyra.
"Mommy boleh tanya sesuatu sayang?" Tanya Civia tiba-tiba.
"Tanya apa Mom?" Balas Cyra.
"Kamu belum ada keinginan untuk menikah?" Tanya Civia.
Lagi dan lagi, mereka membahas mengenai pernikahan yang sejujurnya membuat Cyra jengah. Namun, meski begitu dia harus tetap sopan kepada sang ibu. "Belum ada yang cocok Mom." Jawab Cyra.
"Bagaimana dengan Raefal?" Cyra tersentak kaget, tidak menyangka ibunya akan bertanya seperti ini.
Setelah kelulusan sekolah Cyra, gadis itu langsung diboyong oleh Chenand dan Civia ke Oxford untuk berkuliah di sana. Hal itu yang membuat mereka akhirnya hilang kontak dengan keluarga Raefal yang juga berada di negeri antah berantah.
Mereka baru berada di Indonesia setelah Cyra menyelesaikan kuliahnya, itu pun mereka memilih menetap di Bandung, jauh dari keluarga Raefal yang sepertinya ada di Jakarta.
Bahkan, saat Cyra dua tahun berada di Mesir, keluarganya tidak sekalipun bertemu dengan keluarga Raefal. Mereka benar-benar hilang kontak.
Hingga akhirnya, baru-baru ini Civia mendengar kabar tentang perceraian Raefal. Hal itu yang membuat Civia mengingat ucapan Raefal beberapa tahun yang lalu.
"Mom, Cyra gak pernah suka sama Raefal. Jangan menjodohkan Cyra dengan dia." Ketus Cyra. Dia berdiri, tersenyum tipis pada ibunya, mengecup tangannya dan berpamitan.
"Cyra pergi Mom..."
"Hati-hati di jalan sayang." Lagi, Civia kalah. Dia memang merasa takut jika Cyra melupakan tentang pernikahan. Namun, dia juga tidak bisa memaksa putrinya tersebut.
***
***
Gadis itu berjalan tenang, menyusuri koridor hotel tempat dimana dia akan menjadi bintang tamu sebuah seminar untuk mahasiwa S2.
Perempuan cantik itu berniat memasuki lift. Namun, langkahnya terhenti sewaktu melihat seseorang yang dirinya kenal.
"Efal?" Gumam Cyra pelan.
Melihat pria itu berdiri menjulang di dalam lift dengan seorang perempuan sexy di sampingnya, Cyra akhirnya mengurungkan niatnya untuk bergabung beraama mereka. Gadis itu mengambil langkah mundur, kemudian beralih ke lift yang lain.
Dia menghindar.
Ibunya salah, Cyra tahu semua tentang Raefal.
Dia mengetahui tentang Raefal, semuanya dengan sangat baik.
Waktu berjalan cepat hingga tak terasa, acara seminar telah selesai. Cyra kini tengah duduk di ruang tunggu nya, sibuk bermain ponsel.
Hingga akhirnya, suara langkah kaki seseorang berhasil membuat gadis itu mendongak. Ditatapnya seorang pria tampan dengan rambut cokelat muda yang mencolok.
"Cyra Grizelle? Aku gak nyangka bakal ketemu kamu di sini. Kamu kemana aj—"
"Aku bukan Cyra." Potong Cyra cepat dengan suaranya yang sangat dingin, di sertai tatapan mata yang juga tak kalah dinginnya.
Raefal tersenyum. Dia sudah menduga Cyra akan seperti ini. "Kamu masih sama Ra. Sama-sama dingin sampai bikin aku tertantang."