Si model tampan hanya mengangkat bahu dengan tampang acuh tak acuh. Seolah pertanyaan sang Manajer sama sekali bukan hal yang penting untuk dijelaskan lebih mendalam.
"Ada banyak gadis yang akan mengantri untuk mendapatkan mu, mereka semua nyata. Kenapa kau masih saja meladeni kekasih bodohmu itu? Kalian bahkan tidak saling mengenal satu sama lain."
Pandangan Spencer tak lagi terpaku pada layar ponsel, dia mendongak, rahangnya mengeras membuat garis-garis wajahnya semakin serius. Ada aura kebencian yang terpancar ketika model tampan itu menoleh, menatap langsung tepat di kedua bola mata Alan. Tanpa sadar membuat si Manajer kesusahan meneguk ludah.
"Kami sudah mengenal satu sama lain." Intonasinya dalam tetapi penuh penekanan. "Aku tahu kalau dia selalu makan Pizza dengan saos cabai, dia juga suka membaca buku bertema Thriller, kartun favoritnya adalah We Bare Bear, dia tak terlalu suka kopi tapi kalau ditambah kream akan dihabiskan. Aku lebih dekat dengannya daripada yang kau bayangkan."
Spencer kemudian bangkit dari sofa ketika mendengar namanya dipanggil. Sesi pemotretan akan dilanjutkan kembali. Kaki panjangnya berhenti setelah tiga langkah menjauh, kemudian menoleh ke arah Alan yang masih duduk tanpa bersuara di belakang sana.
"Dan aku tidak suka kau memanggilnya bodoh," sambungnya lagi sebelum kembali berjalan mendekati seorang staf yang sedang membawakan satu set pakaian. Dia meraih —terkesan merebut— pakaian tersebut dengan tidak sabaran, membuat si staf terkejut serta bingung dan menatap punggung model pria yang kian menjauh lalu menghilang di balik pintu bertuliskan 'Changing Room'.
"Astaga bocah itu~" Alan menghela nafas pasrah sembari menyamankan posisi duduknya -menyender pada sandaran sofa dengan wajah mendongak menatap langit-langit ruangan. Rasanya lebih melelahkan ketika harus menanggapi sikap Spencer ketimbang mengurus segala jadwal atau apapun yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Padahal ini hanya masalah percintaan dimana bukan suatu hal penting yang harus dipikirkan masak-masak.
"Kenapa anak itu selalu menakutkan saat dia serius..."
.
.
.
.
"Hoy..." Carla menyenggol bahu seorang gadis yang tengah menelungkupkan wajah dibalik kedua lengan —saling bertumpuk satu sama lain.
"Jangan ganggu aku."
Satu bentuk penolakan yang dilayangkan barusan terkesan kekanakan. Carla menghela nafas —untuk kesekian kalinya— ketika melihat si gadis berambut coklat sedang merajuk, yang mana merupakan tindakan berlebihan untuk usia mereka saat ini. "Serius? Kau marah karena hal tadi?"
Cassandra tetap bergeming. Dari luar mungkin akan terlihat seperti gadis itu sedang tidur, tetapi Carla tahu pasti apa yang sedang temannya itu lakukan. Casie selalu diam, menjauh dari keramaian, tak menanggapi siapa saja disekitarnya, membangun tembok raksasa sebagai bentuk pertahanan dari dunia luar. Menghilangkan keberadaannya menjadi hal yang sering gadis itu lakukan setiap kali suasana hatinya memburuk.
Terdengar suara kursi kayu bergesekan dengan lantai keramik, menghasilkan bunyi berdecit khas. Namun kebisingan tersebut belum cukup membuat Casie mengangkat wajahnya. Dia benar-benar serius dalam tindakannya membentengi diri.
Carla sengaja menggeser kursi miliknya hingga berada tepat di sisi kanan meja milik Cassandra. Mendudukkan pantatnya, lalu meletakan sebungkus roti beserta susu kotak di atas meja. "Merajuknya ditunda dulu. Aku bawakan makanan saat jalan ke sini, kau belum makan kan?" Tangan Carla mendorong makanan tersebut sampai menyentuh lengan gadis yang masih tertelungkup.
Cassandra memang cukup keras kepala dengan pendiriannya. Saat sedang merajuk seperti ini jarang sekali ada yang bisa membuatnya kembali melunak. Bahkan orangtua Cassandra sendiri. Terkesan tidak muah dijinakan. Namun, seperti kebanyakan sahabat, Carla jelas tahu titik kelemahan si gadis berambut coklat tersebut. Hanya butuh beberapa makanan saja, dan secara ajaib seluruh dinding-dinding pertahanan yang telah dibangun sangat kuat seketika roboh.
'Sraaak!'
Tidak butuh banyak waktu sampai gadis itu tak lagi menelungkupkan wajahnya. Hanya dalam sepersekian detik setelah mendengar ucapan Carla, Casie langsung menyambar roti beserta susu tersebut. Dia merobek bungkus plastik secara brutal, seperti seekor beruang yang tak makan beberapa bulan, lalu melahap roti berisi selai coklat dengan rakus. Saking terburu-buru, Casie sampai lupa mengunyah sampai lembut, membuat potongan tebal roti itu menyumbat batang kerongkongannya.
"Uhuuuk! Uhuuuk!"
"Astaga!—" Carla segera menyodorkan susu kotak —yang sebelumnya telah dia tusuk menggunakan sedotan— ke hadapan Casie. "Aku tak akan merebut itu darimu, pelan-pelan saja.."
Tidak ada jawaban selain suara tegukkan dari susu yang ditenggak oleh Casie, membasahi kerongkongan sehingga memudahkan bagi si penyumbat untuk terdorong masuk. Jatuh secara sistematis ke dalam kantong lambung.
"Ini ponselmu," ujar Carla sembari meletakan benda persegi pipih yang layarnya menghitam —masih dalam mode pengunci layar— tepat di sebelah susu kotak. "Aku melakukan ini demi kebaikanmu." Permintaan maaf barangkali satu-satunya hal paling baik untuk menurunkan amarah dari gadis berambut coklat. Lolos dengan sempurna seperti yang sudah-sudah. Mustahil bagi dua orang gadis dengan gejolak masa pubertas tak akan berbeda pendapat. Mereka sudah sering bertengkar, sering pula untuk berbaikan. Terkesan sudah menjadi rutinitas harian.
"Aku sudah baik-baik saja. Kau tak perlu mengkhawatirkan hubunganku dengan Spencer," sahut Casie dengan mulut penuh. Kunyahan terakhir dari roti isi selai coklat. Padahal roti itu terbilang tak terlalu kecil, berukuran sedang nyaris besar malah. Tetapi karena efek belum makan siang, roti tersebut terlihat cukup kecil untuk dihabiskan dalam dua kali suapan.
Carla perlahan mendekat, dia menggenggam telapak tangan gadis dengan pipi menggembung itu. "Baiklah, aku tak akan mengurusi hubunganmu dengan kekasih tak kasat mata mu itu." Kalimatnya dibiarkan menggantung. "Tetapi untuk kali ini saja, cobalah berkencan dengan orang sungguhan. Cafe di persimpangan jalan sana, Dennis akan mentraktir."
Sama seperti dugaan yang tersusun sebelum Carla melontarkan kalimat bujuk pasif-agresif. Sudah terlalu hafal bagaimana respon Casie, tentu akan menolak mentah-mentah.
"Aku tidak butuh traktiran, aku bisa beli sendiri—"
Sedikit remasan pada punggung tangan Casie, serta tatapan persis seperti anak kucing yang kehilangan induknya. Carla tahu benar cara membujuk orang. Barangkali itu bakat terpendam yang belum dia ketahui secara langsung. "Kali ini saja, setelahnya kalau tidak berhasil aku janji tak akan memaksamu lagi.."
Seorang teman terkadang sangat menyebalkan sampai kau rasa lebih baik mengubur mereka hidup-hidup untuk terlepas dari gangguan. Tetapi, seringkali mereka juga selalu menjadi orang yang pertama kali berada di dekatmu ketika kau membutuhkan. Cassandra memang keras kepala, tetapi dia bukan orang yang mudah melupakan kebaikan orang lain. Apalagi Carla McKenzie. Gadis yang telah bersama dalam kurun waktu cukup lama. Sepuluh tahun, semenjak mereka berada di Sekolah Dasar yang sama.
"Ya sudahlah." Suara gemeresak terdengar saat Casie meremas bungkus plastik, merubahnya menjadi gumpalan agak kecil sebelum melemparkannya masuk ke dalam laci meja. Hal yang biasa dia lakukan ketika terlalu malas berjalan ke luar kelas untuk mendapati tong sampah. "Ini yang terakhir."
"Kau memang sahabatku tersayang~"
"YAK! Jangan mencium pipiku sialan!"