Nyonya Yukiko menyuruh Kenkyo untuk mencoba baju pengantinnya. Semuanya serba terburu-buru. Padahal, Kenkyo bahkan belum menerima pengumuman kelulusan.
Namun, ia tak ingin mengecewakan teman ayahnya itu. Lagipula benar juga tentang kekhawatiran Nyonya Yukiko. Dia khawatir rentenir-rentenir mesum itu akan mengganggu Kenkyo kembali. Makanya sejak pertemuan mereka di kantor polisi minggu lalu, Kenkyo dipaksa untuk tinggal di rumah Nyonya Yukiko.
Saat melihat pantulannya di cermin, air mata Kenkyo menetes begitu saja. Bagaimana bisa ayah yang selama ini melindunginya, tega sekali berbuat seperti ini. Semuanya telah direncanakan. Tentang perjodohan ini, tentang ayahnya yang dengan pengecut lari dari tanggung jawab. Ya, Tuan Akira sudah merencanakan sendiri kematiannya.
Kenkyo keluar dari ruang ganti. Semua mata tertuju padanya. Nyonya Yukiko tak henti-hentinya memuji betapa anggun dan cantiknya si calon menantu ini. Kenkyo hanya tersenyum dan menunduk. Saat ia melihat ke luar jendela, sekelebat ia melihat seseorang. Seseorang yang pernah mengisi sebagian besar hatinya. Kenkyo teringat sesuatu. Ada suatu urusan yang belum ia selesaikan dengan pemuda berambut coklat yang sangat menyukai sepak bola itu.
"Saya permisi sebentar, Ba-san!"
Tanpa menghiraukan keterkejutan Nyonya Yukiko, Kenkyo berlari keluar. Mengejar pemuda yang memakai hoodie biru tadi.
Kenkyo terus berlari tanpa menggunakan alas kaki. Cuacanya begitu dingin, tapi ia malah memakain gaun pengantin tanpa lengan. Seperti seorang mempelai wanita yang lari dari pesta pernikahannya. Saat berada di perempatan, Kenkyo mulai kelelahan. Ia benar-benar kehilangan jejak pemuda tadi. Kenkyo membungkuk, mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Yamada bodoh! Kenapa kau hah ... menghindar dariku, Brengsek! Walaupun aku bukan lagi kekasihmu, aku masih tetap temanmu, Bodoh! Hah ... hah .... Kenapa kau menyimpan sendiri penderitaanmu?" gumam Kenkyo dengan napas tersengal.
Kakinya tiba-tiba lemas, ia duduk berlutut di pinggir jalan. Jalanan memang agak sepi karena ini jam kerja. Jadi, tak banyak orang yang memperhatikan tingkah aneh Kenkyo, kecuali ...
"Hanasaki-san? Anda tak apa-apa?" Seorang lelaki tiba-tiba sudah berada di belakang Kenkyo.
Kenkyo mendongak, terkejut saat melihat lelaki yang berada di belakangnya adalah ...
"Anda? Bagaimana Tuan bisa ada di sini?" tanya Kenkyo heran.
Lelaki tadi hanya tersenyum ramah. Ia membantu Kenkyo berdiri dan membersihkan gaun putih gadis itu. Kan sayang jika gaun yang belum dibayar itu kotor, begitulah pemikiran lugu lelaki pecinta game ini.
Ia berjongkok di hadapan Kenkyo, memakaikan sepatunya kepada Kenkyo.
"Apa kau sering berjalan tanpa alas kaki seperti ini, heh?"
"Hmm ... mungkin, kadang-kadang sih," ucap Kenkyo polos yang langsung ditanggapi cekikikan oleh lelaki di depannya.
Lelaki tadi bangkit setelah memakaikan sepatu pada Kenkyo. Memang kebesaran sih, tapi setidaknya dapat mengurangi hawa dingin yang seolah menusuk hingga ke tulang kaki Kenkyo.
Lelaki tadi membuka jaket dan m
"Oh, lihatlah! Betapa dinginnya kakimu. Aku bisa dihajar oleh senior jika membiarkan calon istrinya membeku kedinginan seperti ini."
"Se-senior?"
Kenkyo mengernyit, tak paham.
"Iya, Senior Takahashi yang galaknya minta ditonjok itu," ucap Masaru santai.
"Ayo! Kuantar Anda menemuin Haha!" lanjut Masaru sembari mengeratkan jaket, melilit tubuh mungil Kenkyo.
"Haha? Maksud Anda, Yukiko Ba-san?"
"Iya, siapa lagi? Aku sudah menganggap dia ibuku juga."
Masaru tersenyum ramah.
Mereka berjalan menuju butik.
Tanpa mereka sadari, di balik tiang listrik yang jauh di sana, Yamada sendang mengawasi. Ia memang menghindar dari Kenkyo. Bahkan saat di sekolah pun sebisa mungkin, ia menghindari kontak langsung dengan mantan kekasihnya itu.
"Maafkan aku, Kenkyo-chan! Aku terlalu malu untuk menemuimu. Semoga kau bahagia dengan lelaki itu. Meski ada sedikit rasa kecewa, tapi aku bisa menahannya demi kebahagiaanmu," gumam Yamada lirih.
*****
Kenkyo duduk di sudut ranjang. Kedua mata indahnya terus menatap ke lantai. Jemarinya saling bertautan. Gugup. Ia sama sekali tak menyangka 'hari ini' akan datang begitu cepat. Hari yang paling sakral dalam kehidupannya. Hari pernikahannya.
Ia dapat berpura-pura tenang saat di pesta pernikahan tadi. Namun, ia benar-benar merasa gugup ketika malam tiba. Setelah pesta pernikahan, umumnya sepasang suami istri harus melakukan hubungan intim. Memang kini ia sudah mencapai usia 18 tahun, dan itu usia yang sudah layak. Namun, ia tak pernah berpikir akan melakukan hubungan ini dengan orang yang baru ia temui 2 minggu lalu. Benar-benar konyol. Apa masih ada waktu untuk kabur malam ini?
Namun, jika ia kabur dari sini, sudah pasti para rentenir itu akan mengganggunya. Belum lagi setelah ini ia harus masuk kuliah. Uang dari bekerja paruh waktu, tentu saja tak dapat memenuhi segala kebutuhannya.
Cklek!
Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok bertubuh kekar dengan tetesan air masih membasahi tubuhnya. Ia mengeringkan rambut yang agak panjangnya. Entah kenapa, itu terlihat begitu seksi di mata Kenkyo. Ah, tidak! Kenkyo segera menggeleng cepat. Mengenyahkan pikiran nistanya.
"Oi, bocah!"
Alis Kenkyo bertaut. Panggilan macam apa itu? Ah iya, ia lupa jika suaminya itu lebih pantas jadi pamannya dari pada suami.
"Oi!" Shinsuke mengulangi lagi ucapannya. Ternyata selain kolot, bocah ini tuli juga, pikirnya.
"Hmm?" Kenkyo menjawab hanya dengan gumaman. Padahal sebenarnya ia masih mengagumi betapa indahnya makhluk Tuhan yang memakai baju handuk warna biru itu.
"Dengarkan! Aku menikahimu hanya karena paksaan okaa-san. Jadi, jangan terlalu berharap lebih dariku. Mengerti?"
Kenkyo merunduk. Ia cukup tahu arti dari perkataan Shinsuke barusan.
"Dan lagi, kau tak perlu mengurusi kehidupan pribadiku! Urus saja dirimu sendiri! Kau mengerti?"
"Seorang istri harus patuh kepada suaminya, dan itulah janji saya, Takahashi-sama."
Shinsuke tersenyum singkat. Ia berjalan mendekat ke arah Kenkyo dan menepuk pelan kepalanya.
"Bagus. Aku suka jika kau penurut seperti ini."
Kenkyo tertegun. Kenapa sikap Shinsuke yang seperti ini malah membua ia nyaman? Apakah boleh, ia menjadikan suaminya itu tempat bersandar? Meski sepertinya Shinsuke hanya menjadikan Kenkyo sebagai orang yang dikasihani.
"Takahasi-sama?"
"Iya."
"Mungkin ini lancang, tapi ... apakah boleh saya terus berada di sisi Anda?"
"Cheh!"
Shinsuke berdecih mendengar ucapan aneh gadis itu.
'Naekho hajja! Niganeun sarange, eo!'
Sebuah nada dering dari ponsel Shinsuke. Sepertinya dia juga seorang fanboy. Ia menerima panggilan itu.
"Moshi-moshi!"
"...."
"Apa? Bagaimana bisa? Jangan takut, Naomi! Aku akan segera sampai di sana dalam sepuluh menit."
Kenkyo melihat raut muka suaminya berubah. Kekhawatiran tercetak nyata di rupa tampan suaminya.
Shinsuke segera mengganti pakaian di depan lemari. Sepertinya ia lupa keberadaan Kenkyo.
Kenkyo yang melihat adegan seperti permulaan di video JAV, segera menutup matanya. Namun, tanpa ia sangkal, ia sudah terlanjur melihat 'barang' suaminya itu.
To be continued ....