Dalam sehari semuanya telah berubah. Tak ada kebisingan. Tak ada suara-suara benda berjatuhan dan tak ada teriakan lagi di rumah sederhana ini. Seingat Kenkyo tak ada yang berubah saat ia membuka mata tadi pagi. Semuanya seolah kembali ke beberapa bulan sebelumnya. Kehidupannya yang sangat bahagia bersama ayahnya.
Pagi tadi, ada yang aneh dengan Tuan Akira. Tak seperti biasanya, ia terlihat rapi dan tampan hari ini. Ia sibuk merapikan tatanan rambutnya di depan cermin. Mengagumi wajah tampannya yang masih terlihat menawan meskipun sudah berumur 40 tahun lebih.
"Tou-chan? Mau ke mana?" sapa Kenkyo yang baru saja masuk ke kamar Tuan Akira.
Tuan Akira merapikan dasi kupu-kupunya. Ia berpose layaknya seorang model di hadapan putrinya.
"Bagaimana? Apa Tou-chan terlihat 10 tahun lebih muda, heum?"
"Ahahaha," Kenkyo tak dapat menahan tawanya, "Tou-chan lebih mirip pelayan kafe kalau seperti itu."
Tuan Akira mengerutkan kening. Ia kembali melihat pantulan dirinya di dalam cermin.
"Apa memang terlihat seperti pelayan?" gumamnya.
Kenkyo menyadari ekspresi ayahnya yang berubah, ia jadi merasa bersalah. Didekatinya lelaki yang menjadi tempat ia bergantung itu. Ia membuka jas ayahnya, melepas dasi kupu-kupu dan melipat kemeja putih itu hingga ke siku.
"Begini lebih baik, Tou-chan." Setelan.
"Yosh! Tou-chan tinggal dulu, ya!" ucap Tuan Akira. Baru beberapa langkah, ia berjalan kembali ke arah Kenkyo. Ia mengecup kening putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Maafkan Tou-chan, nee? Tou-chan berjanji akan berubah setelah ini. Selama beberapa bulan ini Tou-chan merasa bukan diri Tou-chan sebenarnya. Semoga kau masih mau memaafkan Tou-chan."
Bibir Kenkyo bergetar. Apa ini kenyataan? Rasanya Kenkyo menemukan kembali sosok ayahnya.
"Seberapa sering pun Tou-chan menyakiti Kenkyo, selalu akan ada maaf untuk Tou-chan karena Tou-chan satu-satunya yang Kenkyo miliki di dunia ini." Kenkyo memeluk perut ayahnya. "Maaf juga, jika Kenkyo tak bisa menjadi anak yang bisa diandalkan. Tetaplah menjadi Tou-chan yang seperti ini!"
Tuan Akira mengusap lembut kepala putrinya. Ia memandang foto wanita cantik yang terpajang di dinding kamar.
"Terima kasih, Kenkyo-chan."
Kenkyo membenci semua ucapan maaf. Untuk apa kata maaf jika pada akhirnya ia ditinggalkan sendiri seperti ini? Ia lebih senang ayahnya berbuat kasar saja. Setidaknya ia masih bisa melihat ayahnya setiap hari.
Kenkyo memeluk bingkai foto ayahnya. Seberapa pun ia mencoba untuk tidak menangis, tapi air mata terus menghianatinya. Ia merindukan belaian. Belaian ibu dan ayahnya.
"Kaa-chan, Tou-chan ... kenapa kalian begitu kejam padaku?"
*****
Saat orang yang kau cintai berubah, di saat itu juga kau kehilangan sesuatu yang berharga. Belum cukup sepertinya Tuhan mengambil satu-satunya keluarga Kenkyo, kini Kenkyo harus melihat dengan mata kepalanya sendiri penghianatan orang terkasih. Ia melihat Yamada jalan bersama teman sekelasnya, Himeka. Di dunia ini yang paling Kenkyo benci adalah kesendirian dan penghianatan. Ia tak kan pernah memaafkan penghianatan dalam bentuk apapun.
Kenkyo menarik kasar lengan Yamada yang tengah berjalan dengan Himeka.
Yamada tersentak kaget saat melihat kekasihnya, Kenkyo. Apa memang benar dia Kenkyo?
Penampilan gadis itu sungguh berantakan. Matanya sembab, bibirnya pucat, berjalan tanpa menggunakan alas kaki di panas yang terik seperti ini. Entah apa yang gadis ini lakukan di trotoar siang-siang seperti ini
"Ke-Kenkyo-chan?" pekik Yamada tergagap.
Sekian lama Kenkyo memandang pemuda itu. Tak ada air mata. Air matanya terlalu berharga jika harus dikeluarkan demi pemuda brengsek seperti Yamada.
Yamada sekelebat melihat Himeka yang masih memegang sebelah lengannya. Pandangannya beralih lagi ke arah Kenkyo.
"A-aku bisa menjelaskannya."
Kenkyo menarik sudut kanan bibirnya. Jika ini adalah Kenkyo yang labil seperti dulu mungkin ia akan berteriak sambil memaki, "AKU INGIN PUTUS SAAT INI JUGA, FUJIWARA-SAN! BRENGSEK KAU!"
Namun, Kenkyo menahan diri agar kata-kata kasar itu tak keluar dari bibir mungilnya. Ia melepas lengan Yamada, mengibaskan kedua telapak tangannya seolah membersihkan debu-debu kotor.
Kenkyo kembali menyeringai. Ia menunduk sambil berucap, "Semoga kalian hidup bahagia!"
Seusai itu ia berbalik dan berjalan santai, meninggalkan Yamada dan Himeka yang masih tertegun.
Terhitung 3 hari setelah meninggalnya Tuan Akira. Yang dilakukan Kenkyo hanyalah merenung seharian. Ia tak ingin makan, minum ataupun beraktifitas. Yang ia lakukan hanyalah duduk merenung di kamar sambil menghirup aroma pakaian ayahnya.
Prak!
Sebuah suara benda jatuh. Kenkyo buru-buru berdiri dan berlari menuju kamar ayahnya. Langkahnya terhenti tepat di pintu kamar bercat coklat. Kenkyo hendak memegang gagang pintu. Air matanya tiba-tiba mengalir.
"Aku tahu Tou-chan pasti di dalam, kan? Tou-chan sedang tidur siang, kan?" Sejenak Kenkyo mengusap air matanya. "Kumohon! Kumohon sekali saja! Sekali saja aku ingin bertemu Tou-chan, Tuhan huks huks .... Aku bahkan belum kengucapkan aku begitu menyayanginya."
Kenkyo membuka pintu, dan kosong. Kamar ini lebih dapi dari hari-hari sebelumnya. Kenkyo terduduk lemas dan bersandar di dinding.
"Maafkan aku, Tou-chan. Aku tak pernah bisa membahagiakan Anda."
*****
Bibi Minama, tetangga Kenkyo, datang berkunjung ke rumah Kenkyo. Ia membawa beberapa makanan. Rumah Kenkyo tak pernah dikunci, ia masih berharap ayahnya akan pulang seperti biasanya.
Bibi Minama melangkah ke arah kamar Kenkyo. Ia mengetuk pintu dulu sebelum akhirnya membuka kamar perlahan karena tak ada sahutan dari dalam. Terlihat Kenkyo masih duduk tercenung di sudut ruangan. Ia memeluk erat foto ayahnya. Tak ingin melakukan apa pun. Pada akhirnya semua manusia akan mati. Jadi, kenapa ia harus susah-susah menjalani kehidupan yang sulit ini? Toh kehidupan yang kekal bukan di sini tempatnya.
"Jika reinkarnasi itu memang benar ada, aku ingin terlahir kembali sebagai putrimu, Tou-chan," gumam Kenkyo yang samar-samar masih terdengar oleh Bibi Minama.
Bibi Minama menepuk pundak Kenkyo. Ia benar-benar tak tega melihat gadis itu terpuruk. Mungkinkah kebahagiaan sama sekali tak ada dalam garis takdirnya?
Sadar tak mendapat respons apa pun, Bibi Minama duduk di hadapan gadis berambut sepunggung itu. Tatapan mata Kenkyo kosong. Hanya ada kehampaan di sorot mata kuyunya. Ia tak meneteskan air mata lagi. Entah lelah, entah air matanya sudah mengering.
Bibi Minama tak tahan lagi, ia mengguncang pelan bahu Kenkyo.
"Menangislah! Setidaklah menangislah, Kenkyo-chan! Menagislah sekeras-kerasnya!"
Kenkyo melihat sejenak tetangga yang sudah seperti kerabat itu. Bibirnya gemetar, detik berikutnya ia menangis sesenggukan. Bibi Minama membawa Kenkyo ke dalam dekapannya.
"Kenapa Tou-chan tega meninggalkanku, Ba-chan? Apa dia sudah tak menyayangiku hu hu huks?"
"Dia menyayangimu. Sungguh menyayangimu lebih dari apa pun di dunia."
"Lalu bagaimana denganku, Ba-chan? Apa yang akan aku lakukan setelah hiks ini??"
Bibi Minama menarik dagu Kenkyo untuk menghadap ke arahnya. "Hiduplah dengan baik, Nak. Itulah yang diinginkan semua orang tua kepada anaknya."
Kenkyo tak lagi menjawab. Ia memeluk Bibi Minama seolah tak ingin melepaskannya. Ia butuh tempat bersandar saat ini.
Beberapa menit berlalu, Bibi Minama masih membiarkan Kenkyo memeluknya.
To be continued ....