Alesta kali ini benar-benar dibuat terkejut, sesaat ketika memikirkan kembarannya Arini, dan secara tiba-tiba dengan begitu ajaib sosok Arini muncul begitu saja hingga membuat dirinya hanya mampu mengelus dada. Walaupun ia bisa menembus tubuh Arini yang tak kasat mata, tetap saja hal itu membuat dirinya merasa mengabaikan kembarannya.
"Kau memikirkan diriku!" Alesta berdecak pelan begitu Arini berujar, dan seketika Alesta hanya mampu tercengang begitu merasakan cipratan air dari mobil yang lewat tepat di atas trotoar tempat dirinya berpijak. Sesaat Arini mendengus sebagai ejekan untuk kembarannya tersebut, sembari menatap mobil yang pergi begitu saja setelah membuat penampilan Alesta berantakan.
"Apa kau tidak ingin membalasnya?" ujar Arini sesaat ketika dirinya menatap lekat plat mobil yang tengah menghilang pada perempatan Jalan.
Alesta menggelengkan kepalanya pelan, mengabaikan tatapan mata tajam Arini. Percuma dirinya menjelaskan pada Arini, jika ini hanya sebuah kecelakaan yang tidak diinginkan dan besar kemungkinan dirinya tidak akan menemukan orang yang telah membuat bajunya kotor.
"Kau benar-benar lemah!"
"Aku tidak lemah, aku hanya bersikap anggun saja!" bela Alesta tanpa sadar bersuara keras hingga membuat beberapa pejalan kaki memperhatikan Alesta, mengerti dengan situasi Alesta, Arini hanya diam sebelum akhirnya menghilang begitu saja masuk kedalam tubuh Alesta yang sangat mudah baginya merasuki saudara kembarnya tersebut.
"Kenapa melihat diriku seperti itu?" ujar Arini berujar dengan begitu dingin, melanjutkan langkahnya sembari membersihkan baju Alesta dengan menggunakan Tissue basah hingga ketika dirinya masuk kedalam bus Arini masih saja mengendalikan tubuh Alesta.
Alesta dan jiwa Arini saat ini tengah berdiri tepat di depan bangunan besar yang menjulang, entah berapa tinggi lantai yang dimiliki bangunan tersebut yang pasti bagi Arini saat ini berharap tidak akan ada satu orangpun yang mencoba untuk melencehkan saudari kembarnya. Alesta terlalu lemah untuk membela dirinya sendiri, bahkan Alesta hanya akan pasrah jika ada seseorang yang menyakiti dirinya. Sungguh ironis sekali, Arini merasa harusnya jiwanya yang harus bertahan di tubuh ini.
"Kau berulah lagi!" Arini mendengus pelan begitu dirinya keluar dari tubuh Alesta, dan tanpa sepatah katapun Arini pergi begitu saja meninggalkan Alesta yang hanya mampu diam mengamati mobil yang terparkir tak jauh darinya, dan mulai memperbaiki penampilannya semoga saja ini tidak menjadi masalah.
**
"Di mana sekertaris baruku?" Ansel berujar penuh kekesalan sesaat ketika dirinya sampai ke kantor sekertaris barunya tak kunjung muncul, dan ini bahkan sudah melebihi waktu karyawan untuk sampai ke tempat kerja.
"Lupakan saja sekertaris barumu itu, lebih baik kita bersenang-senang." Marissa berujar menatap sang kekasih yang masih setia dengan pekerjaannya, membuat perempuan dewasa tersebut hanya memberengut kesal. Melihat sang Kekasih yang memberengut kesal membuat Ansel terkekeh pelan diikuti dengan melempar seulas senyum yang selalu ia tunjukan untuk para wanita yang menjalin hubungan dengan dirinya.
"Duduklah!" Titah Ansel pada sang kekasih menepuk pelan meja, setelah dirinya sedikit menyingkirkan barang-barang miliknya membuat Marisa hanya mampu tersipu malu.
"Kau sangat cantik hari ini." Marissa diam, meresapi setiap sentuhan tangan Ansel pada wajahnya hingga perlahan wajah Ansel mendekati bibirnya. Namun...
Cklekk....
"Maaf, saya terlambat!" ujar seseorang seketika membuat Ansel dan Marissa saling menjauh dengan tatapan begitu tajam, menatap dua orang yang telah menganggu kegiatan mereka. Salah satu orang tersebut merupakan pegawai HRD kepercayaan Ansel, dan siapa yang satunya?
"Maaf Tuan Ansel menganggu waktunya, ini sekertaris barumu!"
Marissa dan Ansel sesaat kompak menyunggingkan senyum remeh, menatap penampilan sekertaris Ansel yang dapat dikatakan sangat kacau. Sekilas Marissa tersenyum tipis menatap sang kekasih yang masih tak melepaskan pandangannya kearah perempuan berpenampilan kacau tersebut, cemburu? Tentu saja tidak, perempuan itu benar-benar bukan tandingannya dan sebelum memutuskan pergi, terlebih dahulu Marissa memberikan ciuman singkat pada pipi Ansel dan hanya direspon senyuman oleh laki-laki tersebut.
"Hn, kau bisa pergi. Dan, kau cepat kemari!" ujar Ansel memberikan perintah pada sekertaris barunya untuk duduk dihadapannya. Dengan ragu sekertaris baru Ansel tersebut hanya diam menunduk pada sang Bos yang sedari tadi mengamati penampilannya yang begitu berantakan dari atas sampai bawah.
"Kau tau ini sudah jam berapa?" Ansel berujar ketus sembari menaikan kakinya di atas meja menatap sosok perempuan di depannya yang terus menunduk takut menatap dirinya. Benar-benar darimana HRD kantornya mendapatkan pekerja macam ini.
"Setengah sembilan!" ujar perempuan tersebut dengan begitu pelan, bahkan nyaris berbisik masih menunduk takut menatap sosok Ansel yang hanya menghela napas kesal menatap perempuan di depannya. Benar-benar menjengkelkan, sudah datang terlambat, tak memiliki etika sama sekali pula! Mungkin itulah yang saat ini dipikirkan Ansel mengenai perempuan di depannya.
"Kau tau kau bekerja dimana, kau baru memulai hari ini kenapa kau sudah membuat masalah, hah!" ujar Ansel diikuti dengan gebrakan meja membuat perempuan dihadapannya terlonjak menatap mata Ansel yang begitu tajam bak elang. Saat ini Ansel benar-benar kesal pada perempuan di depannya.
"Sekarang benahi penampilanmu itu! Siang ini akan ada pemantauan proyek, aku tidak ingin gembel seperti dirimu mempermalukan diriku kali ini aku memaafkan dirimu, jangan ulangi lagi!" ujar Ansel sebelum akhirnya berlalu pergi, membuat sekertaris barunya tersebut hanya bisa mengekorinya dari belakang. Hingga ketika saat Ansel bersiap masuk kedalam mobil, sesaat menatap jengah sekertarisnya tersebut sembari melempar uang senilai lima puluh ribu kepada sekertarisnya tersebut.
"Aku tidak ingin perempuan jelek seperti dirimu masuk kedalam mobilku, dan katakan siapa namamu?" ujar Ansel dengan ucapan yang begitu terkesan merendahkan sekretaris barunya tersebut.
"Alesta!" ujar perempuan tersebut dengan begitu gugup menatap aura menakutkan dari wajah Ansel. Sesaat Ansel menghela napas pelan, sebelum akhirnya menutup mobil begitu saja meninggalkan Alesta yang hanya diam menatap uang pemberian Ansel yang dilemparkan padanya.
"Benar-benar menyebalkan, dia yang membuat diriku seperti ini kenapa juga aku harus melakukan ini?" gumang Alesta entah pada siapa yang pasti saat ini dirinya hanya dapat mengambil uang tersebut sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang membenahi penampilannya.
**
Ansel menatap ponselnya dengan tatapan begitu datar, sebelum akhirnya menatap pemandangan hiruk piruk kota Jakarta yang dapat dikatakan sangat menganggu matanya. Dirinya sangat membenci kemacetan, tapi mau bagaimana lagi laki-laki yang baru saja mendapatkan penghargaan sebagai pengusaha muda sukses di dunia hanya bisa sesekali menghela napas kesal. Karena pasalnya kekesalannya itu bukan bersumber dari macetnya ibu kota Jakarta melainkan kekesalannya karena melihat sekertaris barunya jauh dari kriteria yang ia inginkan. Ayolah apa dirinya harus bekerja dengan perempuan bernama Alesta tersebut? Lama-lama jika dirinya memiliki rekan yang tidak disiplin seperti Alesta, bisa-bisa karirnya hancur.