Chereads / TANGGUH PERKASA / Chapter 4 - Untaian 4: Matematika

Chapter 4 - Untaian 4: Matematika

Sejak saat itu, Tangguh seringkali dijahili oleh beberapa teman yang tidak suka padanya. Terutama Badrun, jamal, dan Tohir. Mereka sebenarnya termasuk anak orang kaya. Badrun yang berbadan agak gemuk adalah anak seorang pengusaha pertambangan, Sedangkan orang tua Jamal sukses di perkebunan teh, Sementara Tohir yang kurus tinggi sebenarnya anak kampung, namun ibunya yang telah janda menikah lagi dengan seorang pengusaha kapal. Lalu bagaimana mereka bisa sekolah di sekolah yang hampir roboh itu?

Ketiga anak ini tidak tinggal di desa Pasirputih. Mereka tinggal di kota dengan rumah bertingkat. Sekolahnya pun di sekolah elit yang cukup mahal. Namun dua tahun mereka tak pernah beranjak dari kelas satu SD. Mereka lebih sibuk melakukan aksi-aksi jahil dibandingkan belajar. Maka secara kompak orang tua mereka mendaftarkan anaknya ke sebuah sekolah di kampung yang terpencil, supaya mereka lebih mudah naik kelas. Namun tak secuil pun sifat jahilnya menghilang. Justru kejahilannya semakin menjadi-jadi karena merasa siswa paling kaya. Walaupun mereka tinggal di kota dan sekolah di kampung, tapi mereka setiap harinya selalu diantar jemput dengan mobil mewah.

Tangguh sering dijahili oleh ketiganya, tapi hal itu sama sekali tak meruntuhkan niatnya untuk menuntut ilmu. Ayahnya yang selalu berusaha mencari uang untuk menyekolahkannya, ibunya yang selalu berusaha untuk memotivasinya telah menjadi kekuatan tersendiri. Dan tentu satu lagi yang menjadi pemantik semangatnya adalah impiannya untuk menjadi ilmuan hebat seperti Einstein, Edison, atau Galileo.

Karena itulah, sejak pertama masuk sekolah ia sudah tertarik dengan ilmu matematika. Ilmu yang dibenci sebagian orang karena kerumitannya justru ibarat makanan favorit buatnya.

Di belakang sekolah ada sebuah hamparan rumput, di sana pohon trembesi yang bernama latin samanea saman berdiri menyepi sendirian. Hanya desir angin, yang selalu menyapanya. Tangkai dan daun yang tumbuh mengembang seperti payung yang terbuka membuat pohon itu amat rindang.

Di bawah samanea saman yang rindang itu, kerap kali Tangguh terlihat duduk sendiri. Di sanalah ia biasa belajar matematika, mengerjakan tugas atau berlatih mengerjakan soal-soal. Dengan sempoa yang terbuat dari biji salak, ia menghitung dan mengerjakan soal–soal matematika. Sempoa itu dibuat oleh tangan ayahnya yang amat mendukungnya. Dengan biji salak, benang kenur sebagai talinya, dan kayu sebagai bingkainya dibuat oleh sang ayah di hari ulang taun Tangguh sebelum masuk sekolah.

***

Hari itu seusai pulang sekolah, seperti biasanya, Tangguh duduk di bawah pohon rindang itu. Ia sedang mengerjakan tugas matematika yang baru saja diberikan Bu Weni tadi siang. Ketika itu Lica sempat menoleh ke arahnya dan melihat Tangguh yang bersandar di pohon. Lica pun menghampiri dan menyapanya,

"Hai, Guh," sapa Lica melambaikan tangan.

"Oh, hai, Ca," sahut Tangguh.

"Guh, kamu sedang apa di sini?"

"Aku sedang ngerjain tugas aja, kok," jawab Tangguh menggaruk kepala.

"Oh, kamu suka ngerjain tugas di sini?"

"Iya, Ca, di sini tempatnya enak, tenang, sejuk," ucap Tangguh menghirup udara segar.

Lica pun ikut duduk di atas rerumputan, bersandar pada batang samaena saman.

"Itu apa, Guh?" tanya Lica menunjuk sempoa yang dipegang Tangguh.

"Oh ini, ini dibuatkan ayahku. Ini yang membantuku menghitung soal matematika."

"Kamu suka matematika yah, Guh?" tanya Lica.

"Ia, Ca, aku suka banget matematika. Aku ingin jadi seperti Einstein, Edison, atau Galileo."

"Wah tinggi sekali cita–cita kamu, Guh. Ajarin aku dong pake benda itu. Ajarin aku ngerjain soal–soal tadi, Guh!"

"Ya udah, kita ngerjain tugas bareng aja."

Hari itu, mereka mengerjakan tugas bersama di bawah pohon yang rindang, di antara rerumputan dan ilalang, diembusi angin sepoi–sepoi dan sesekali disapa kupu–kupu yang terkadang menghampiri.

Sejak hari itu, mereka sering mengerjakan tugas bersama di bawah pohon rindang itu. Kadang Tangguh mengajarkan matematika, dan kadang pula sebaliknya, Lica yang mengajarkan Bahasa Inggris, pelajaran favoritnya. Hari itu, Samanea saman menjadi saksi persahabatan mereka.

Lica, hanya itu namanya, tak lebih dari empat huruf. Namun bagi Tangguh, ia lebih dari seorang gadis kecil biasa. Walaupun seorang perempuan, tapi ia adalah sahabat yang selalu berani membelanya ketika dijahili Badrun dan kawan-kawannya. Selain itu, tak sekalipun Lica terlihat bermuram durja. Parasnya selalu bersahaja dan memancarkan keceriaan, membuat Tangguh lebih semangat mengarungi kehidupan di sekolah. Padahal tak ada yang pernah tau, di balik senyumnya, di balik keceriaannya, Lica menyimpan kesedihan yang membuat hatinya tersayat. Namun kesedihan itu selalu berusaha ia sembunyikan ketika tiba di sekolah.

Hampir di setiap malam, Lica selalu mendengar ayah dan ibunya bertengkar. Dari balik dinding kamarnya, ia selalu menangis, meneteskan air mata yang meluncur deras di pipinya tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya yang menyangkanya telah tidur pulas.

Tapi belum lama ini kesedihannya semakin memuncak saat ayah dan ibunya bercerai. Ayahnya lebih memilih pergi dengan wanita lain dan mencampakkan dia dan ibunya. Tapi tak sekalipun kesedihan itu terlihat di sekolahnya.

"Guh, kenapa kamu suka matematika, sih?" tanya Lica dengan paras yang ceria.

"Karena banyak hal yang bisa diprediksi dengan perhitungan. Misalnya kecepatan, jarak, waktu, dan banyak hal lainnya," jawab Tangguh.

"Wow keren, tapi apa semua hal bisa dihitung dengan ilmu matematika?" tanya Lica penasaran.

"Ya nggak semua, Ca, nasib dan takdir kita pasti nggak bisa dihitung dengan ilmu matematika, karena kita nggak pernah tau," jawab Tangguh tersenyum, sementara Lica hanya terdiam menunduk merenungi perkataan Tangguh dan merenungi hidupnya yang tak bisa diprediksi.

***