Mr. Skinner hanya diam selama perayaan berlangsung, masih terngiang di kepalanya tentang berbagai pertanyaan dan kalimat Vivian semalam. Bertanya-tanya apakah gadis itu hanya meracau ataukah sungguh-sungguh, Mr. Skinner tak ingin berspekulasi terlebih dahulu. Khawatir jika yang ia takutkan benar-benar terjadi dan ia akan kehilangan gadis itu.
"Maaf, aku harus pergi!" Ujar Mr. Skinner di hadapan seluruh keluarganya, ia berdiri dari kursi dan meninggalkan makan malam pada sebuah perayaan. Entah mengapa perasaannya tidak enak dan pikirannya terus tertuju kepada Vivian, ia melajukan kendaraannya menuju apartemen gadis itu. Bahkan segala umpatan yang ditujukan pengguna jalan tak ia tanggapi demi tiba tepat waktu.
Mr. Skinner berlari menuju lift tak menghiraukan beberapa orang yang ia tabrak bahkan terjatuh, saat ia tiba di apartemen Vivian. Mr. Skinner mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, tubuhnya merosot ke atas lantai dan bahunya menunduk lesu. Ia memandang ke arah lantai yang dingin mencoba mengingat kesalahan yang mungkin pernah ia perbuat kepada Vivian hingga gadis itu akhirnya memilih pergi..
Mr. Skinner melirik ke arah jemari manisnya, tertanam sebuah cincin yang menandakan pernikahannya dengan Vivian. Satu-satunya benda yang menjadi bukti bahwa ada ikatan antara mereka berdua, namun hal itu kini tak penting lagi baginya. Karena sang pengantin wanita lebih memilih untuk meninggalkan dirinya.
Ia menuju ke dalam kamar, tak mendapati satupun pakaian atau barang Vivian di dalam lemari. Mr. Skinner mendesah resah, menghampiri ranjang yang selalu menjadi saksi bisu pergulatan mereka. Kehangatan yang biasanya ia dapat di atas sini, kini hilang sudah menjadikan ranjang itu dingin dan hampa.
Mr. Skinner mendudukan diri di pinggiran ranjang, aroma gadis itu masih terasa oleh indera penciumannya. Seolah Vivian masih ada dan tersenyum kepada Mr. Skinner seperti yang biasa ia dapati ketika memasuki apartemen ini, dan entah mengapa hal itu berhasil membuat lubang di dadanya. Mr. Skinner telah kehilangan sesuatu yang berharga di hidupnya.
"Kau dapatkan?" Sekertaris Mr. Skinner menggeleng.
"Tidak, Sir."
"Sial! Kalau begitu cari lagi!" Mr. Skinner sampai membentak sekertarisnya, hal yang sangat jarang ia lakukan dan itu berhasil membuat semua orang di kantor tercengang melihat sikap Mr. Skinner yang mulai berubah.
"Apa pria itu baru saja putus dengan Vivian?" Bisik seseorang.
Mr. Skinner menutup pintu ruangannya dengan sangat keras, mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya guna menghubungi seorang detektif yang ia sewa guna menemukan Vivian. Tapi tak ada seorangpun yang berhasil menemukan gadis itu.
"Rekaman CCTV apartemen menunjukan seorang wanita keluar dari kamarnya menggunakan jaket tebal yang memiliki penutup kepala, membawa tas besar dan hilang begitu saja." Ujar seseorang di balik telepon kepada Mr. Skinner.
"CCTV di jalanan tidak menangkap apapun?" Tanyanya.
"Tidak! Kami kehilangan jejak, tidak ada wanita yang mengenakan jaket tebal dengan penutup kepala di waktu yang sama."
"Sial! Itu pasti dia!" Umpat Mr. Skinner lalu mematikan sambungan telepon.
Ia memijit pangkal hidungnya merasakan pusing, gadis itu pergi dengan membawa calon anaknya. Mr. Skinner merasa menjadi pria brengsek yang menelantarkan wanita hamil, ia khawatir akan hidup Vivian. Bisakah wanita itu mencukupi kebutuhan hidupnya dan membeli makanan bergizi untuk janin yang ia kandung? Apakah gadis itu dalam keadaan baik-baik saja?
Segala pertanyaan berputar di kepala Mr. Skinner, bisakah gadis itu diam dan hidup bahagia bersamanya selamanya? Mr. Skinner merasa telah melakukan apapun yang harus ia lakukan demi gadis itu. Ia mengacak rambutnya frustasi, berharap jika ia bertemu dengan gadis itu lagi Mr. Skinner akam berjanji kepada dirinya sendiri untuk selalu menjaganya.
"Sir?" Ketukan pintu dari sekertarisnya berhasil mengejutkan Mr. Skinner, sungguh ia sedang tidak ingin diganggu saat ini.
"Pergilah, Rii!" Ujar Mr. Skinner.
"Ya, Sir. Tapi, aku menyarankan mungkin kau akan menemukan Vivian di tempat asalnya." Ujar sekertarisnya memberi sebuah ide, wanita itu tidak tega melihat bosnya yang semakin hari semakin kehilangan pesonanya hanya karena kehilangan seseorang.
Mr. Skinner terdiam, sekertarisnya meninggalkan pria itu untuk berpikir sejenak. Mungkin wanita itu benar, mungkin Mr. Skinner dapat menemukan Vivian di tempat asalnya.
"Kau dapat datanya?" Mr. Skinner keluar dari ruangan menuju meja sekertarisnya.
"Ya, Sir. Missouri.."
Tanpa berpikir dua kali Mr. Skinner memesan tiket dan berpergian ke tempat yang dituju, tempat dimana Vivian dibesarkan oleh pamannya. Tempat dimana ladang jagung yang luas terhampar.
Beberapa jam berlalu, tanpa mengenal lelah dan tanpa ditemani siapapun Mr. Skinner menghampiri alamat yang diberikan oleh sekertarisnya. Ia mendatangi rumah kayu pemilik kebun jagung yang ternyata tengah duduk di kursi kayu.
"Ada yang bisa ku bantu, Tuan?" Ujar seorang pria gendut yang Mr. Skinner duga adalah paman dari Vivian.
"Perkenalkan Sir, Axton Skinner dari New York!" Ujar Mr. Skinner berjabat tangan dengan pria yang ia ketahui memiliki nama panggilan Fred.
"Oh! Apa kau teman Vivian?" Tanya Fred menilai penampilan Mr. Skinner yang sudah pasti berasal dari kota.
"Ya, aku bosnya." Jawabnya.
"Oh, gadis itu sudah bekerja. Bagus untuknya.." ucap Fred.
Mr. Skinner mengernyitkan kening lalu melihat sekitar, dari kalimat pria itu barusan sepertinya Vivian tak ada di sini.
"Apa Vivian tidak pulang kemari?" Tanya Mr. Skinner, Fred menggeleng.
"Gadis itu tidak pernah pulang semenjak ia melarikan diri, sekitar dua tahun yang lalu. Dia bilang ingin mencoba peruntungan di kota dan mencari pekerjaan sambil menuntut ilmu." Jelas Fred, Mr. Skinner menghembuskan nafas panjang frustasi tak tahu lagi harus mencari gadis itu kemana.
"Ada yang salah, Sir?" Tanya Fred menyadari kegelisahan Mr. Skinner.
"Masalahnya adalah, aku dan Vivian telah menikah dan dia pergi begitu saja." Ujar Mr. Skinner sambil memperlihatkan cincin yang ada di jarinya, Fred cukup tercengang. Ia pikir Vivian belum menikah karena sama sekali tidak ada kabar dari gadis itu.
"Duduklah! Jika itu bisa menyelesaikan masalahmu." Tawar Fred seraya menuangkan segelas bir dan menyerahkannya kepada Mr. Skinner.
Mr. Skinner duduk dengan nafas yang tak beraturan karena lelah, lelah tak kunjung menemukan Vivian dan lelah terlalu banyak berpikir akan keadaan gadis itu saat ini. Fred melihat Mr. Skinner yang tengah gelisah, dari tampilannya sepertinya pria itu bukan dari golongan biasa. Vivian pasti sangat beruntung bisa menikah dengan pria itu, pikir Fred.
"Kalian bertengkar?" Tanya Fred membuka obrolan, mungkin dengan mengetahui apa yang telah terjadi pada dua sejoli ini, ia bisa sedikit membantu.
Mr. Skinner menghembuskan nafas kasar, menceritakan seluruh rangkaian kejadian hingga ia kehilangan Vivian. Karena pamannya berhak tahu apa yang terjadi pada keponakannya, dari yang Fred lihat Mr. Skinner sangat tulus. Dan wajah tampan itu kini terselimuti kekhawatiran, itu artinya Mr. Skinner mencintai Vivian.
"Well, Vivian adalah gadis yang sedikit rumit." Ujar Fred.
"Dia menginginkan kesuksesan seperti teman-temannya namun dengan kerja keras, tekadnya sangat bulat ketika ia ingin pergi ke kota dan mencari pekerjaan hingga menuntut ilmu.."