"Jane?!" Vivian melambaikan tangan kepada sahabat sekaligus rekan kerjanya sekantor, gadis itu selalu terlambat tiba di kantor membuat Vivian menggeleng lemah seraya tersenyum.
"Terkadang aku berpikir, untuk apa gadis sekaya dirimu bekerja di sebuah perkantoran." Kata Vivian berjalan beriringan dengan gadis berambut pirang itu menuju ruangan mereka.
"Kau tidak tahu bagaimana kehidupan orang kaya, Vey!" Seru Jane. Ya, tentu aku tahu. Balas Vivian dalam hati mengingat sesuatu yang beberapa tahun lalu sempat meporak-porandakan hidupnya. Kini gadis itu telah bangkit, menjelma sebagai seorang wanita tangguh dan pekerja keras.
Viviane Anderson..
Sebuah nama yang terpajang rapi di meja kerjanya adalah seorang kepala staff administrasi di sebuah perkantoran di kota Washington.
Setelah menyelesaikan studinya dan menitipkan Nando kepada pamannya, Fred. Vivian memilih kota itu untuk membangun kembali hidupnya yang sempat kacau-balau, Dewi Fortuna memihak kepada Vivian dan karena kerja kerasnya selama beberapa tahun terakhir membuahkan hasil, Vivian tengah berada di puncak karirnya tanpa ada bantuan dan campur tangan siapapun.
Ia dan Jane berpisah, meja kerja mereka cukup jauh berbeda walau masih berada di ruangan besar yang sama. Jane dan dirinya bekerja di waktu yang bersamaan, namun Vivian yang memiliki kegigihan tinggi berhasil menempati posisi tersebut.
"Call me!" Jane memberi tanda menggunakan jemarinya yang membentuk seperti sebuah gagang telepon ditempelkan ke telinga kepada Vivian untuk memberitahunya jika jam kerja telah usai, karena sepertinya malam ini Jane akan menginap di rumah Vivian lagi.
Vivian hanya mengangguk, meletakan tasnya di dalam laci lalu memulai pekerjaannya. Hari-hari yang ia lalui seperti sebuah kaset rusak yang terus berulang.
"Nando tidak mengunjungimu?" Tanya Jane kepada Vivian, kini kedua gadis itu telah berada di rumah Vivian seusai pulang bekerja.
"Beberapa hari lagi ia akan datang." Balas Vivian seraya menyiapkan makan malam untuk mereka berdua, hal yang biasa terjadi Jane selalu menginap di rumahnya dikarenakan suatu hal.
Gadis itu menolak seorang pria kaya yang berniat mempersuntingnya, pria itu selalu mendatangi Jane ke rumah orang tuanya hingga ia lelah dan memilih untuk tidak pulang ke rumah. "Mengapa kau tidak menerima saja lamarannya?" Tukas Vivian menyiapkan dua piring spageti ke atas meja makan yang langsung diseruput oleh Jane.
"Hati-hati, itu masih panas!" Seru Vivian memberi peringatan namun tak diindahkan oleh gadis itu.
"Kau bercanda! Aku tidak ingin menikah dengan penuh kekangan ditambah keluarga besarnya yang selalu menjaga nama baik, aku bukan gadis dengan atitud yang baik Vey." Jelas Jane, Vivian mengerti perasaan Jane. Iapun pernah berada di posisi seperti itu, terlebih sebuah skandal yang makin memperburuk citranya.
"Apa orang-orang kaya selalu mengekang istri mereka?" Tanya Vivian penasaran.
Jane mengangguk, "kau bisa lihat wajah Ibuku, meskipun ia memiliki wajah yang selalu terawat dengan rumah mewah namun hatinya terasa hampa. Itu karena Ayah mengekangnya untuk selalu bersikap baik di depan publik."
Vivian tersenyum simpul, bukan sebuah rahasia lagi ketika keluarga terpandang selalu menjaga nama baik meski dengan cara terkejam sekalipun. Seperti seseorang yang pernah Vivian kenal dengan mantan istrinya, "mengapa kau sangat penasaran, Vey? Apa kau mau menikah dengan pria dari golongan elit?" Tanya Jane, Vivian menggeleng lemah sembari tertawa sumbang.
Menikah, adalah hal terakhir yang ia inginkan di dunia ini.
"Kau masih belum memberitahuku tentang cincin itu!" Seru Jane menunjuk jemari manis Vivian.
"Kelak kau akan tahu." Kata Vivian, ia masih belum bisa membagi kisahnya dengan siapapun. Karena belum tentu semua orang paham akan kejadian yang ia lalui.
"Kapanpun kau siap, Vey. Kapanpun.." ujar sahabatnya menyemangati, Jane hanya berpikir jika Vivian adalah seorang single parent yang ditinggal oleh suaminya sehingga ia harus menghidupi dirinya sendiri beserta anak lelakinya, Nando. Tanpa Jane ketahui bahwa Vivianlah yang meninggalkan pria itu.
Vivian tidur bersama dengan Jane, karena di rumah itu hanya ada dua kamar tidur sementara yang lain adalah kamar Nando jika anak itu mengunjungi Vivian. Di malam hari ia tidak pernah tertidur dengan pulas, selalu memikirkan sesuatu yang menjadi pertanyaan besar di hidupnya.
Apakah pria itu baik-baik saja?
Mengapa dia berhenti mencari?
Apa Nando tidak berarti baginya?
Berbagai pertanyaan berputar di kepala Vivian, seolah ia ingin ditemukan lagi oleh pria itu meski Vivian ragu. Ia menginginkan Mr. Skinner namun mendengar kejelasan dari Jane serta masa lalunya bersama pria itu membuat Vivian mengurungkan niatnya. Bahwa bersama Mr. Skinner adalah hal yang paling berat yang pernah ia lakukan di hidupnya.
Pagi menjelang, Jane sangat sulit untuk dibangunkan. Kebiasaan buruk gadis itu karena pada dasarnya Jane bekerja hanya untuk menghindari keluarganya dari sebuah perjodohan, "ayolah, Jane! Kau bisa membuatku dalam masalah besar." Vivian menarik lengan gadis itu hingga ia mau berdiri menuju kamar mandi.
"Jangan katakan aku harus memandikanmu juga!" Cecar Vivian mendorong tubuh Jane ke dalam kamar mandi.
Pagi hari....
Kedua gadis itu tiba di kantor, semua orang terlihat sibuk tak terkecuali dengan wanita gemuk yang memiliki selera fashion kuno tersebut.
"Dia memadukan warna orange dan hijau, sungguh memalukan!" Bisik Jane di telinga Vivian, saat melihat Deborah kepala staff kantor sedang sibuk berjalan kesana-kemari dengan sepatu kunonya.
"Jane, hentikan!" Ujar Vivian, mereka berdua berpisah kembali. Saat Vivian hendak mendudukan diri di kursi kerjanya tiba-tiba wanita itu menghalangi Vivian.
"Kau terlambat!" Ujar Deborah seraya berkacak pinggang.
"Tidak! Aku tiba tepat waktu." Balas Vivian melirik ke arah jam dinding yang menunjukan pukul delapan tepat, semua ini karena sahabatnya Jane. Gadis itu sulit untuk bangun pagi dan membuat Vivian dalam masalah besar, sementara dari kejauhan gadis itu berkata 'maaf' tanpa mengeluarkan suara kepada Vivian.
Vivian melewati Deborah tanpa berniat berbicara apapun kepada wanita itu, "hari ini kita kedatangan bos besar!" Ujar Deborah kepada Vivian yang seolah menganggapnya tidak ada di sana.
"Bos besar?" Vivian mengernyit bingung.
"Ya, Miss Andrea menjual sebagian sahamnya kepada seorang pengusaha dari New York. Dan hari ini adalah hari pertama inspeksinya, jadi ku harap kau bisa menjaga perilakumu, Nona!" Ujar Deborah, wanita itu tidak pernah menyukainya semenjak Vivian bergabung di kantor ini.
"Tidak ada yang memberitahuku soal itu!" Balas Vivian.
"Cek emailmu, Nona!" Ujar Deborah kepada Vivian lalu meninggalkan gadis itu, membuat Vivian mengernyitkan kening sebenarnya apa masalah wanita itu kepadanya?
Vivian duduk menopang dagu di meja kerjanya, sangat tak bersemangat di hari dimana semua orang menyukai aroma gaji. Entah! Apa yang paling diinginkannya di muka bumi ini, bahkan kedudukan tinggi sebagai kepala staff administrasi di sebuah pekantoran ternama Washington dan lulusan terbaik di Universitas tak membuat dirinya bangga.
Pulang bekerja, menuju apartemen, makan malam, tidur, bangun pagi dan bekerja lagi. Hari-hari yang membosankan terus terulang, semua orang tersenyum ramah dan hanya dibalas anggukan oleh dirinya. Viviane Anderson, begitu tulisan yang tertera di meja kerja yang kini dihiasi tumpukan kertas yang Vivianpun enggan melihatnya.