Vivian tersenyum ketika melihat Nando tertidur di atas sofa dengan televisi yang masih menyala, bocah itu pasti kelelahan setelah perjalanan panjangnya. Nando berkata kepada Vivian bahwa ia sangat merindukan wanita itu dan tak sabar untuk menunggu lebih lama lagi, hingga pada akhirnya Nando tiba sebelum waktunya.
Vivian menghela nafas panjang seraya mengecup kening Nando, mengambil remot televisi dan mengganti siaran kartun yang selalu disukai bocah itu. Vivian melihat sebuah berita yang pada awalnya tak terlalu ia perdulikan karena asik dengan ponselnya, namun saat nama Mr. Skinner disebutkan oleh media. Vivian menjatuhkan ponselnya ke atas pangkuan, terkejut ketika media pemberitaan menyebutkan sebuah pertunangan yang akan menuju ke sebuah pernikahan.
Bagai petir di siang bolong, Vivian menaikan volume televisi. Berharap bahwa berita itu salah atai setidaknya bukan nama Axton Skinner yang tengah disebutkan, tapi melihat wajah pria itu terpajang begitu gagahnya di layar televisi berhasil membuat nyeri di dada Vivian. Ia memegangi jemari mungil Nando, tanpa sadad bulir bening mulai membasahi pipinya.
Vivian menyeka air mata saat menyadari pergerakan Nando, bocah lelaki itu bangun dan mendudukan diri di sebelah Vivian seraya melihat ke arahnya. "Mom, kau baik-baik saja?" Tanya Nando, Vivian hanya mengangguk seraya mengelus pelan rambut bocah itu. Melihatnya, membuat Vivian teringat akan wajah Mr. Skinner. Karena kedua orang tersebut memiliki wajah yang sama persis.
Vivian kembali melihat cincin yang masih ia kenakan hingga detik ini.
"Mom, Dennise dan kedua orang tuanya selalu liburan bersama jika akhir pekan." Ujar Nando makin membuat sayatan di hati Vivian ketika mendengarnya. Vivian tak urung menjawab, ia menuju ke dalam kamar tak ingin menyaksikan kebahagiaan kedua insan yang sangat serasi itu.
Vivian menutup jendela kamar, menghalau amgin dingin masuk ke dalam kamarnya yang selalu berhasil membuat tubuhnya menggigil. Karena tidak ada kehangatan lagi. Ia melihat ke arah rembulan yang terus bersinar berusaha menghalau kegelapan malam tanpa ada yang menemani.
Vivian begitu iri kepada rembulan, menatapnya tak berkedip hingga pantulan cahaya rembulan di netra kebiruannya menjadi sangat indah. Ingin sekali Vivian menjadi bulan, mampu bertahan seorang diri tanpa ada yang membantu menerangi kegelapan. Vivian berusaha tegar namun kesendiriannya selalu membuatnya lemah terlebih jika Nando selalu merengek untuk bertemu dengan Ayahnya.
Tiba-tiba terbesit sebuah ide di kepala Vivian, pergi dari ruang lingkup Mr. Skinner yang selalu menghantui Vivian dan membuatnya iri. Vivian juga ingin seperti deretan wanita yang hadir di kehidupan Mr. Skinner, terekspos ke media bahwa dirinya adalah milik pria itu. Tapi Vivian selalu sadar akan statusnya.
Vivian membuka laptop dan mengetikan sesuatu, dengan wajah suram jemarinya sedikit bergetar menuliskan kalimat yang sesungguhnya tak mampu ia kerjakan. Karirnya, kerja kerasnya, semua telah sirna hanya karena seseorang yang terus membuntuti dirinya tanpa berniat menyatakan perasaan dan membahagiakannya. Pada akhirnya Vivian menuliskan surat pengunduran diri dari perusahaan itu.
...
"Vey, apa yang terjadi padamu?" Jeritan Jane hampir saja membuat gendang telinga Vivian sakit, gadis itu tiba-tiba menelpon dirinya ketika Vivian tengah bekerja sebagai pengajar di sebuah sekolah.
"Apa maksudmu?" Tanya Vivian, ia keluar dari ruang kelas dengan ponsel berada di telinga kirinya.
"Kau mengundurkan diri? Apa kau sudah gila? Bukannya ini pekerjaan yang selalu kau impikan?" Kata sahabatnya itu, tak dapat Vivian pungkiri bahwaia sangat mencintai bahkan merindukan pekerjaan lamanya. Tapi semakin lama ia di sana, semakin Vivian tak dapat menahan rasa sakitnya melihat wajah pria yang sebentar lagi akan menikah itu.
"Apa hal ini karena Mr. Skinner?" Tanyanya, tak ada jawaban terdengar. Semakin membuat Jane yakin bahwa pengunduran diri Vivian adalah karena Mr. Skinner, sangat disayangkan ketika gadis itu telah bekerja keras hanya untuk posisinya yang kini telah tergantikan oleh orang lain.
"Aku butuh ketenangan, Jane!" Ujar Vivian, terdengar suara helaan nafas dari sambungan telepon. Jane mengerti, tidak ada yang bilang drama percintaan itu mudah. Dan dari tatapan Vivian kepada Mr. Skinner terlihat jelas bahwa gadis itu tak hanya sekedar mengagumi, tapi juga mencintai..
"Tapi, kau tak harus melakukan ini. Ini tanda bahwa kau sudah kalah!" Kata Jane.
Ya, aku memang sudah kalah.
Kalah akan perasaanku.. ujar Vivian dalam hatinya yang tak berani ia ungkapkan.
"A-apa dia mencariku?" Tanya Vivian yang penasaran.
"Tidak! Tentu saja ya, Vey. Dia mengamuk!"
"Bagaimana mungkin?"
"Dia menganggap kau sangat tidak sopan, menuliskan pengunduran diri lewat email tanpa menunggu persetujuan darinya." Jelas Vivian.
"Tentu saja aku bisa, itu hakku!" Kata Vivian.
"Ya, tapi kau bekerja padanya sekarang." Balas Jane, entahlah. Vivian tak perduli. Ia sudah melunasi hutangnya kepada Mr. Skinner dengan seratus malam tidur bersama pria itu yang tidak hanya menyakiti tubuhnya, namun juga hatinya.
"Aku tidak perduli, hutangku sudah lunas dan aku tidak ingin mengetahui apapun lagi tentangnya, Jane!" Ujar Vivian.
"Hmm, baiklah. Tapi jika kau butuh sesuatu, kau bisa menghubungiku Vey. Aku akan berkunjung jika ada kesempatan." Kata Jane.
"Thanks Janney!" Seru Vivian lalu mematikan sambungan telepon.
...
Mr. Skinner meremas sebuah kertas yang berisikan pengunduran diri, tertulis nama Viviane Anderson di sana. Dan entah mengapa hal itu kembali membuatnya marah bercampur frustasi, untuk ke sekian kalinya gadis itu pergi lagi. Walau kali ini Vivian tak pergi meninggalkan kota dan rumahnya, dia hanya pindah bekerja.
Mr. Skinner mencoba mencari kesalahannya sehingga membuat gadis itu kesal dan berakhir mengundurkan diri. Atau jangan-jangan..
"F*ck!" Mr. Skinner terus mengumpat, malam ke seratus sudah terlunasi ketika dirinya dan gadis itu berada di apartemen ketika Mr. Skinner mencoba mengunci Vivian di dalam kamar. Hutang Vivian kini telah lunas, dan Mr. Skinner sekarang sama sekali tidak memiliki apapun untuk mengekang Vivian.
Tiba-tiba dering ponsel mengejutkan Mr. Skinner, berharap itu adalah panggilan dari Vivian namun ternyata hanya seorang wanita berprofesi model yang mengaku sebagai tunangannya. Padahal Mr. Skinner sama sekali tidak memberikan sebuah cincin apalagi mengenakannya di jemari manis wanita itu.
Mr. Skinner tak berniat menjawabnya dan memilih mengabaikan panggilan tersebut, ia lalu keluar dari ruangan kerja mengabaikan tatapan aneh seluruh pegawainya kepada dirinya. Biarlah sekali lagi semua orang tahu akan skandalnya bersama Vivian, agar semua orang tahu termasuk orang tuanya. Namun sayang kedua orang tua Mr. Skinner selalu menutupi hal tersebut dengan pertunangannya bersama model cantik bernama Kate, Kate Jefferson..
Mr. Skinner menghentikan kendaraannya tepat di depan rumah Vivian, rumah besar yang terbuat dari kayu dan memiliki halaman yang luas. Sangat rapih dan bersih, gadis itu cukup gesit untuk seorang single parent yang menghidupi anak lelakinya.
Padahal Mr. Skinner sudah menawarkan Vivian untuk tinggal bersamanya seperti dulu, agar mereka berdua bisa mengurus Nando bersama, sehingga Vivian tak lagi harus bekerja dan meninggalkan Nando bersama Fred. Mr. Skinner menghembuskan nafas panjang, meninggalkan tempat itu karena sepertinya tidak ada tanda kehidupan walau Mr. Skinner tahu bahwa Vivian masih tinggal di sana.