"Ya, orang kaya sepertimu tidak akan perduli. Tapi bagaimana jika seseorang yang baru saja merintis karirnya harus berhenti hanya karena kebodohan-"
"Hentikan, Vivian!" Bentak Mr. Skinner, menjadikan suasana antara mereka berdua hening seketika. Mr. Skinner dengan nafas yang masih memburu akibat amarah sementara Vivian yang masih saja diam seolah tak perduli akan apapun, makin lama sikapnya sudah seperti Mr. Skinner.
"Jika kau bosan, aku bisa mengajakmu berkeliling." Kata Mr. Skinner tiba-tiba, membuat Vivian ragu akan hal itu. Mr. Skinner mungkin akan menghebohkan publik jika kedapatan tengah menggandeng seorang gadis dengan perut yang kian membesar.
"Tidak! Sudah ku bilang aku tidak ingin menghancurkan reputasimu." Balas Vivian, Mr. Skinner menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Jika gadis itu sedang tidak hamil maka ia pastikan Vivian akan berada di atas ranjang dengan mulut yang tertutup lakban.
"Ayolah! Gunakan pakaian yang tertutup, kita akan pergi." Ajak Mr. Skinner yang menarik lengan Vivian untuk berganti pakaian.
Di sepanjang jalan mereka berdua hanya diam, Mr. Skinner hanya fokus ke arah setir kemudi sementara Vivian termenung melihat ke arah luar jendela mengamati kota New York yang indah di malam hari. Semua lampu di kota ini terasa tak pernah padam, dan entah mengapa hal itu berhasil membuat Vivian bahagia. Mr. Skinner dapat melihat senyuman tipis di bibir gadis itu.
"Berhenti di sini!" Ujar Vivian, Mr. Skinner memarkirkan kendaraannya tak jauh dari jalanan. Berjalan kaki mengikuti gadis yang tengah mengandung anaknya itu, apapun akan Mr. Skinner lakukan demi membuat gadis itu bahagia meski Vivian tak pernah menyadarinya.
"Hampir musim dingin, aku rindu dengan aroma ini." Katanya menghirup dalam-dalam angin malam yang dingin di taman pinggir sungai kota New York dengan pemandangan Brooklyn Bridge yang tersaji di sana, seolah Vivian tak ingin meninggalkan tempat itu.
"Kau puas?" Tanya Mr. Skinner menghampiri Vivian, gadis itu mengangguk.
Beberapa minggu berada di dalam apartemen membuat Vivian hampir gila, sampai ia tak sadar jika kini ia tengah merangkul lengan Mr. Skinner tanpa sadar. Berjalan menyusuri taman bersama pria itu, tanpa Vivian sadari juga kini ia telah memiliki hal yang dulu tidak ia miliki seperti teman-temannya. Perhatian dari Mr. Skinner..
"Kau ingin menamai anak kita siapa?" Tanya Mr. Skinner memulai percakapan ringan.
"Hm, entahlah! Nando mungkin."
"Dia laki-laki?" Tanya Mr. Skinner, cukup bahagia mendengar penerusnya yang ternyata adalah laki-laki, persis seperti apa yang ia inginkan. Vivian hanya mengangguk, lalu melepaskan rangkulannya di lengan Mr. Skinner dan terdiam.
"Ada apa?" Tanya Mr. Skinner, khawatir jika hormon ibu muda itu berubah suram kembali.
Sementara Vivian memikirkan sesuatu di kepalanya yang bertentangan dengan hatinya, ada sesuatu yang menjerit di dasar sana yang berkata untuk tidak meninggalkan pria itu sendiri. Namun otaknya terus meyakinkan dirinya bahwa Mr. Skinner tidak mencintainya, jadi untuk apa Vivian tetap tinggal.
Ia menoleh ke arah Mr. Skinner seraya tersenyum kecut, sedikit berjinjit lalu memeluk tubuh tinggi tersebut dan membuat si pemilik tubuh mengernyit heran. Mr. Skinner hanya berpikir bahwa ini hanyalah sebuah mood dari kehamilan yang terus berganti. Tapi sebenarnya adalah, Vivian tak bisa berhenti memikirkan bahwa ia ingin meninggalkan Mr. Skinner, dengan segera.
"Jika kau kehilanganku, maka apa yang akan kau lakukan?" Tanya Vivian, pada awalnya Mr. Skinner tak ingin menjawab pertanyaan kekanakan seperti itu. Tapi karena gadis itu tengah hamil dan Mr. Skinner tak ingin mengacaukan perasaan Vivian, akhirnya Mr. Skinner menjawabnya.
"Maka aku mencarimu." Balasnya sambil menatap kedua netra sebiru langit yang sangat indah.
Vivian menyunggingkan senyum, "apa kau bisa hidup seorang diri?" Tanyanya lagi melepas pelukannya seraya berjalan diikuti oleh pria itu di belakangnya.
"Tentu saja tidak."
"Kenapa?" Tanya Vivian.
"Karena seorang bos tidak bisa bekerja tanpa karyawannya." Jawab Mr. Skinner, berhasil membuat lengkungan tipis di bibir Vivian. Gadis itu tersenyum simpul, mungkin Mr. Skinner ada benarnya. Pria itu tidak dapat hidup tanpanya, Vivian dapat merasakannya. Tapi keputusannya telah bulat, ia tidak akan sanggup lagi menanggung semua hal berat jika terus bersama pria itu. Vivian tak mungkin terus menghindari orang banyak dan menghindari keluarga besar Skinner, Vivian tidak bisa..
Sesaat jemarinya menyentuh rahang tegas yang tertutup oleh brewok tipis, memastikan dirinya sanggup untuk kehilangan pria yang sudah mengisi hari-harinya. Pandangan Vivian begitu sayu ke arah Mr. Skinner, tanpa pria itu menyadari bahwa Vivian hanya memberikan malam terakhir yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.
"Kau akan menginap bersamaku malam ini?" Tanya Vivian, wajah keduanya begitu dekat sampai Vivian dapat merasakan deru nafas panas pria itu di wajahnya.
"Tidak, ada sebuah acara keluarga yang harus aku hadiri." Jawabnya, Vivian mengangguk mengerti. Hal itu tentu saja akan mempermudah pelariannya yang sudah ia persiapkan dari jauh hari, ingin sekali Vivian berkata 'maaf' kepada pria itu karena telah membuat keputusan seorang diri.
Vivian mengerti jika semua ini hanya berawal karena sebuah tawaran dan Vivian menyanggupinya, namun lama-kelamaan benih cinta itu muncul tanpa Vivian sadari. Yang tak mampu Vivian ungkapkan karena berpikir pria itu akan mengabaikannya begitu saja.
"Bagaimana jika aku pergi darimu?" Tanya Vivian lagi, pertanyaan yang sama ditujukan kepadanya meski dengan kalimat yang berbeda.
"Kau boleh pergi jika aku berkata demikian." Jawab Mr. Skinner, Vivian menggeleng. Ia sudah tidak bisa menerima dan menunggu perintah pria itu lagi, terlalu sakit baginya menjadi gadis yang hanya disimpan di dalam sebuah apartemen tanpa dunia mengetahui bahwa ada ikatan di antara mereka berdua.
Bagai hidup di sangkar emas...
Vivian lalu beranjak menghindari Mr. Skinner, pria itu tak henti-hentinya membuntuti Vivian dari belakang. Membuatnya bertanya-tanya mengapa gadis itu mengajukan pertanyaan yang sangat aneh meskipun Mr. Skinner sadar jika Vivian tengah hamil dan bisa saja bertindak aneh.
"Sebenarnya ada apa, Vey?" Tanya Mr. Skinner, Vivian mengeratkan pegangannya di pagar taman. Ia ingin bercerita panjang lebar tentang keluh-kesahnya selama ini, tapi sepertinya bagi Mr. Skinner itu hanyalah sebuah angin lalu.
"Tidak ada." Jawabnya pelan seraya menunduk.
Mr. Skinner menghampiri, bersebelahan dengan gadis itu melihat air sungai yang begitu tenang.
"Katakan padaku, ada apa?" Tanyanya lagi.
"Aku hanya penasaran, bagaimana jika dirimu berada di posisiku saat ini." Tukas Vivian, semakin membuat kerutan besar di dahi Mr. Skinner.
"Masihkah kau tetap bersamaku meski tidak ada kasih sayang di antara kita? Berpikir sebagai seorang wanita, apakah kau sanggup menjalaninya?" Tanya Vivian.
Mr. Skinner hanya terdiam seraya menatap kedua mata Vivian yang mulai berkaca-kaca, pertanyaan dan segala ocehan gadis itu membuat perasaannya tak karuan. Khawatir jika yang ia takutkan akan benar-benar terjadi, tapi sekali lagi Mr. Skinner beranggapan bahwa ia memiliki kendali atas Vivian. Namun tentu saja ia tidak memiliki perasaan dan cinta dari Vivian.