Chereads / Ex - Boss / Chapter 4 - Meet Him

Chapter 4 - Meet Him

"Kau tak akan percaya apa yang ia kenakan tadi malam." Ujar seseorang di gedung sebelah yang berhasil Vivian dengar, saat tiba di lantai satu ia melihat gedung sebelah yang penuh dengan kesibukan serta kemewahan pakaian dan busana. Sepertinya gedung sebelah digunakan untuk proses pembuatan busana dan aksesorisnya, mereka terlihat sangat cantik dan seksi.

Kaki mulus nan jenjang, serta rambut dan kuku yang dicat secantik mungkin. Seketika Vivian melihat dirinya sendiri di pantulan cermin, outfit yang ia kenakan sama sekali tidak dapat bersanding dengan mereka. Ingin sekali ia mengenakan busana seperti itu, merias diri dan mewarnai rambut.

"Percayalah, kau tidak ingin berada di sana!" Ujar seorang gadis berambut pirang yang melewati dirinya, membuat Vivian bertanya-tanya.

"Mengapa?" Tanyanya dari kejauhan, gadis yang sedang mengulup lolipopnya itu kembali lagi ke tempat Vivian berdiri.

"Di sana penuh tekanan, kau beruntung bekerja di gedung perkantoran ini. Itu sebabnya Mr. Skinner lebih betah berada di sini dari pada di sana." Jelasnya, Vivian mengernyitkan dahi. Mereka terlihat bahagia dan cantik.

"Yang kau lihat indah belum tentu menyenangkan." Tambah gadis itu lalu berlalu pergi, Vivian menaikan sebelah alisnya. Well, semua pekerjaan memiliki resikonya masing-masing.

Vivian lalu berniat pulang, namun saat ia keluar dari dalam gedung itu. Ia melihat Mr. Skinner tengah merangkul pinggul seorang wanita cantik dengan tubuh tinggi dan proporsional, Vivian sudah menebak pasti itu adalah istrinya yang seorang supermodel. Terlihat sangat serasi ketika Mr. Skinner juga memiliki tubuh tinggi dan atletis. Pria itu membukaka pintu mobil untuk istrinya.

Sekilas Mr. Skinner melirik ke arah Vivian yang berdiri terdiam di ambang pintu memerhatikan kedua pasangan itu, kedua mata mereka bertemu. Namun dengan cepat Mr. Skinner melepaskan pandangannya demi menghindari awak media yang mulai mengerumuni kendaraannya, menjadi suami dari seorang model ternama memang tidaklah mudah. Dan Vivian begitu iri dengan wanita yang meluluhkan hati Mr. Skinner itu.

Vivian berjalan kaki menuju apartemennya di sore hari, meremas perutnya yang terasa lapar karena seharian belum diisi. Ia kemudian mampir ke sebuah kafe, memesan makanan dan minuman untuk makan malamnya. Ia duduk di kursi, menunggu makanannya tiba seraya mengutak-atik ponselnya.

Beberapa teman yang dulu ada di perkebunan telah sukses setelah pergi ke kota, Vivian tersenyum. Ikut bahagia dengan hal itu, ia juga berharap dirinya bisa seperti mereka dan membuktikan kepada pamannya bahwa pria itu salah. Mengurung keponakannya di perkebunan dan berharap ada pria yang mau menikahi gadis seperti itu.

"Hah..." Viviane tersenyum kecut.

"Pesananmu, Nona." Ujar seseorang, Viviane sudah tak sabar untuk mengisi perutnya. Namun saat ia hendak makan, pelayan yang mengantarkan pesanannya tak urung pergi. Vivian mengernyit heran, apa ia sedang menunggu uang tips?

"Ada apa?" Tanya Vivian kepada pria yang lumayan tampan di balik seragam pelayan tersebut.

"Tidak ada, hanya ingin mengetahui namamu." Balasnya dengan senyum ramah, terasa mengerikan bagi Vivian. Saat seseorang menunggu hanya untuk berkenalan.

"Apa kau berniat untuk pergi keluar malam ini?" Tanya pria itu lagi, namun Vivian tak meghiraukan.

"Tidak." Jawabnya tanpa menoleh ke arah pria itu.

"Apa kau tidak berniat untuk bersenang-senang malam ini?" Tanyanya lagi, sehingga membuat selera makan Vivian menghilang.

"Tidak, aku harus bekerja besok." Jawab Vivian, akhirnya pria itu pergi tanpa Vivian berniat untuk menjawab namanya. Orang-orang di kota ini terlihat frontal, atau memang Vivian yang terlalu lama tinggal di daerah perkebunan.

Tak menyelesaikan makanannya, Vivian meninggalkan lembaran dollar di meja dan meninggalkan tempat itu sebelum ia menghajar pria yang selalu menatapnya dari kejauhan.

Vivian mengeratkan pegangannya kepada tas yang ia kenakan, setelah ini ia jadi paranoid dengan orang-orang sekitar. Bahkan, ia sempat menghindari kerumunan orang yang tengah menunggu di lampu merah. Kau terlalu berlebihan Vey! Ujarnya pada dirinya sendiri.

Sampai di apartemen, Vivian membuka heels yang ternyata membuat tumitnya memerah. Seharusnya ia tidak memakai barang lama itu lagi, tapi Vivian tak menemukan pilihan lain selain sepatu itu. Ia beejalan ke arah kamar mandi, membuka seluruh pakaian dan mengisi bathup dengan air dengan wangi yang menenangkan.

Ia menghembuskan nafas panjang setelah merendamkan sebagian dirinya di dalam sana, air hangat membuat tubuhnya rileks kembali. Ia mengambil tas yang ia kenakan tadi dan mengambil ponselnya, melihat gambar teman-temannya di sosial media cukup membuatnya senang. Sampai beberapa obrolan di sebuah grup menghantui pikirannya.

"Ya, dia tampan, kaya dan memiliki istri. Who cares! Yang terpenting dia membelikanku heels keluaran terbaru dari Louis Vuitton!" Seru salah seorang sahabatanya melalui obrolan grup.

Vivian meletakan ponselnya ke atas lantai dan menatap langit-langit kamar mandi, jika ia menginginkan sepatu atau baju baru mungkin ia bisa mencari pria kaya yang mungkin dapat membiayai kuliahnya juga. Vivian jadi terbayang akan hal itu.

Ia paham, semua pria yang memiliki kantung tebal hanya menginginkan selangkangan wanita. Setelah itu mereka akan memberikan apapun yang wanita itu inginkan termasuk barang branded dan biaya salon yang mahal.

Ting...

Ponselnya bergetar lagi, mendapati sebuah pesan di obrolan grup teman-temannya.

"Yah, well.. semua gadis-gadis menyukai tantangan, pria beristri yang sukses dan kaya raya sangat butuh dipuaskan."

Vivian kembali mengernyit, sedikit tersenyum kikuk. Teman-temannya pasti sudah gila, mereka menganggap memacari pria beristri adalah sebuah tantangan.

Ia lalu mengetik sesuatu, Vivian jarang sekali mengobrol dengan teman-temannya itu meski hanya lewat obrolan chat. Karena ia tidak ingin mereka tahu bahwa Vivian masih dalam keadaan belum sukses dan baru saja mendapat pekerjaan.

"Ku kira mengambil milik orang lain adalah sebuah kesalahan." Tulisnya di kolom obrolan lalu mengirimkannya.

Selang sekian detik, temannya yang bernama Sandra membalas pesannya.

"Kau tidak harus mengambilnya Vey, kau hamya meminjamnya setelah itu mengembalikannya kepada istrinya lagi." Ujar gadis itu, sontak hal itu menjadi canda tawa semua temannya. Emot tertawa bahkan ketikan yang berujung tawaanpun tertulis di grup tersebut, Vivian hanya menyunggingkan senyum. Teman-temannya memang sudah gila, Vivian belum sanggup untuk melakukan hal itu walaupun dalam hati ia ingin mencobanya.

Mengencani seorang pria beristri dan menerima segala kemewahan yang ditawarkan sang pria, tapi tentu saja Vivian bukan gadis dengan strata tinggi yang dapat menaklukan hati pria tersebut. Lagi pula, ia sama sekali tidak pernah bertemu dan mengenal pria seperti itu. Kecuali seorang pria yang memandangnya tadi sore.

"Ahh.." Vivian menghela nafas kasar, ditatap seperti itu bukan berarti ia tertarik padamu Vey. Racau Vivian dalam hati.

Dan lagi, Vivian tidak mungkin bersaing dengan istri dari pria itu yang seorang supermodel. Ia hanya gadis yang datang ke kota dengan harapan hidup akan membaik, bukan bersaing dengan wanita berkaki jenjang dan tubuh semampai seperti itu.