"Apa?!" Ketus Vivian saat pria itu tak beranjak pergi dari hadapannya.
"Mau pergi denganku malam ini?" Ajak pria itu, apa pria ini gila? Vivian mengoceh dalam hati, pria dengan brewok tipis dengan rambut kecoklatan itu tak pernah berhenti menakutinya.
"Bukan seperti itu caranya mendekati wanita! Pergi!" Ujar Vivian, entahlah. Dia tidak perduli jika semua pengunjung yang ada di sana menganggapnya jahat, ia hanya ingin makan malam dengan tenang setelah itu pulang ke apartemen dan mengerjakan tugas kuliahnya.
Vivian membuka pintu, memasuki kamarnya setelah ia pulang dari kafe. Hari ini begitu berat, ditambah lagi dengan cercaan bosnya sendiri yang berhasil membuatnya malu di hadapan karyawan lain. Pekerjaannya tidak terlali berat, tapi menghadapi Mr. Skinner sepertinya lebih berat dari pada isi tasnya.
"Ahh.." Vivian menyalakan shower, mengguyurkan air hangat ke seluruh tubuhnya hingga akhirnya merasa lebih baik. Jika ada pekerjaan lain yang lebih baik tentu Vivian akan menerimanya dari pada harus berhadapan dengan Mr. Skinner di setiap harinya, tapi pekerjaan di tempat itu adalah impian setiap orang. Apalagi Vivian yang baru saja memulai studinya, harusnya ia bersyukur bisa bekerja di tempat itu.
Haruskah ia bersyukur bertemu dengan Mr. Skinner?
Vivian melilitkan handuk di kepala dan mengenakan kaos serta celana pendek, ia duduk di atas kasur seraya membuka laptopnya. Sedikit menguap padahal ia baru saja menghabiskan secangkir kopi, tapi rasa kantuknya tiba-tiba menghilang setelah melihat wajah yang begitu familiar menghiasi layar laptopnya.
Mr. Skinner bersama istrinya, Ava.
Terpampang dengan jelas di salah satu saluran berita ternama, kedua pasangan itu terlihat bahagia. Mr. Skinner tak henti-hentinya merangkul pinggul istrinya, seolah khawatir jika wanita dengan bayaran fantastis itu pergi darinya. Hal itu membuat semangat belajar Vivian menghilang seketika, ia menutup kembali laptopnya.
Seharusnya tadi ia langsung membuka tugasnya, bukan malah berkeliaran menelusuri berita yang pada akhirnya membuat rasa irinya semakin menjadi. Vivian tak bisa tidur, sepertinya pengaruh Mr. Skinner dari pada secangkir kopi lebih besar. Ia beranjak dan mengambil coat yang tergantung rapi di belakang pintu, Vivian ingin berjalan keluar sebentar sambil menunggu dirinya mengantuk.
Malam hari kota itu masih sama, masih terlihat sibuk dan ramai. Vivian melihat sekeliling, mengernyit heran mengapa hanya dirinya yang tidak memiliki pasangan malam ini? Sampai langkahnya terhenti ketika melihat seorang pria yang sepertinya baru saja pulang bekerja.
"Hai!" Sapanya ramah, sementara Vivian hanya diam tak menanggapi.
"Kau datang juga." Pria di kafe tersebut berbicara seolah mereka telah mengenal lama.
"Ayo, akan membawamu ke suatu tempat!" Ajaknya menyambar lengan Vivian yang sama sekali tak berniat menghabiskan malamnya dengan pria itu. Sebuah club yang cukup populer di kota ini, Vivian mengernyit heran.
"Bagaimana kau akan membayarnya?" Tanya Vivian, pria itu hanya tersenyum.
"Aku mempunyai teman yang bekerja di sini." Ujarnya lagi-lagi menarik lengan Vivian, ia tak habis pikir. Memasuki club yang dipenuhi orang-orang hanya dengan mengenakan sebuah kaos dan celana pendek yang terbungkus oleh sebuah coat. Namun Vivian sudah terlanjur berada di dalamnya.
Pria yang hingga kini tak ingin ia ketahui namanya tersebut mengajaknya untuk berkenalan dengan beberapa temannya, Vivian hanya melebarkan senyum sambil berusaha mengeratkan coat yang ia kenakan agar tidak terbuka. "Aku ingin pergi!" bisik Vivian dengan suara nyaring di telinga pria itu.
"Apa? Kau ingin minum, baiklah. Aku akan memesan minuman." Ujar pria itu yang menarik lengannya lagi dan duduk bersamanya.
Vivian memijit kepalanya yang hampir pusing, mengapa ia bisa bertemu dengan pria aneh ini? Namun minuman sudah tersaji di atas meja, pria itu mengajak Vivian untuk minum namun ia menolaknya.
"Tidak, aku harus bekerja besok!" Ujar Vivian, tentu ia tidak ingin bekerja dengan wajah yang teler jika tidak ingin membangunkan banteng pemarah itu lagi.
Vivian hanya menikmati alunan musik sampai kedua matanya tertuju pada sesuatu..
Pria itu duduk tanpa bergerak sedikitpun dan melihat ke arah Vivian, Vivian bahkan sempat bertanya-tanya dalam hati apakah pria itu memerhatikannya sedari tadi? Entah bagaimana mungkin pria itu ada di sini, malam ini. Karena beberapa jam yang lalu, wajah pria itu masih menghiasi siaran langsung di sebuah pemberitaan bersama sang istri. Dan lagi, Vivian tak menemukan wanita supermodel itu di sini.
Diperhatikan terus-menerus membuat Vivian menjadi salah tingkah, tatapan tajam pria itu tak pernah lepas darinya. Tubuhnya sudah tak sabar untuk segera meninggalkan tempat ini, namun pria di hadapannya ini tidak berhenti mengoceh dan membuat Vivian semakin pusing.
"Bisakah kita pulang sekarang?" Ujar Vivian kepada pria itu, namun sepertinya pria itu tengah asik berdansa tanpa memperdulikan Vivian. Ia mendengus kesal, mengapa ia harus ikut dengan pria itu.
Vivian mengetuk jemarinya di atas meja, memerhatikan minuman yang cukup menggiurkan namun ia tidak berani menyentuhnya.
"Aku melihat karyawanku berkeliaran larut malam!" Ujar seseorang yang langsung mendudukan diri di hadapan Vivian, membuat Vivian terdiam seketika setelah menyadari pria yang mengenakan kaos lengan panjang berwarna putih itu adalah Mr. Skinner.
"Dengan siapa kau kemari?" Tanya Mr. Skinner.
"Dengan teman." Balasnya pelan, pria itu hanya berdeham. Semakin membuat nyali Vivian menciut.
"Apa kau sudah cukup usia untuk datang kemari?"
Vivian nengernyit heran, "usiaku sudah delapan belas tahun, Sir." Tukas Vivian.
"Hm, benarkah? Kau seperti gadis SMA di mataku." Balasnya lagi, Vivian tidak tahu itu sebuah pujian atau cemoohan yang ditujukan kepadanya.
Namun yang ia sadari malam hari ini pria itu benar-benar tampan, tidak seperti biasanya tampilannya selalu rapi dan sopan. Malam hari ini Mr. Skinner terlihat santai tapi tak menghilangkan sisi maskulinnya, yang ternyata di balik kemeja dan jas yang selalu pria itu kenakan terdapat otot keras dan jemari yang berurat.
Seketika pandangan nakal Vivian sesekali melirik ke arah meja, dimana pria itu meletakan kedua tangannya yang saling bertumpu. Terdapat cincin pernikahan di salah satu jari manisnya, menyadarkan Vivian bahwa yang ada di hadapannya ini adalah suami orang lain.
Tapi rasa ketertarikannya kepada Mr. Skinner tak dapat dibendung, di samping sifat kasar dan cercaannya ternyata Mr. Skinner benar-benar melebihi ekspektasi Vivian pasal pria beristri seperti yang selalu dibicarakan teman-temannya di grup. Bahkan lebih baik dan lebih menantang.
Andai saja Vivian mampu bersanding dengan pria itu walau hanya di belakang layar, Vivian terlalu banyak berangan. Sampai tak sadar jika ia telah menggigit bibir bawahnya sendiri.
"Kau mau pergi?" Ujar Mr. Skinner.
"Hah, kemana?"
"Kemanapun." Jawabnya singkat, entahlah. Ingin sekali ia menerima tawaran Mr. Skinner, tapi menyadari ia hanya mengenakan kaos dan celana pendek di dalam coatnya, Vivian nampak berpikir keras.