Chereads / Care And Solide Man {C.A.S.M} / Chapter 27 - Care and Solid

Chapter 27 - Care and Solid

Lukman sedang duduk termenung di kantin sekolah. Sejak jam pertama dimulai, hingga waktu istirahat, ia sudah berada di kantin setelah mengumumkan permohonan maafnya melalui mikrofon sekolah. Ia sengaja bolos jam pelajaran, karena belum bisa berkonsentrasi. Jadi percuma saja, semua yang dijelaskan sama guru pasti tidak akan masuk ke otaknya. Selain itu ia belum siap, karena pasti akan menjadi pusat perhatian di kelas, setelah kenekatannya mengumumkan permintaan maaf melalui mikrofon, dan terdengar di seantero yayasan.

Tapi mau bagaimana lagi? Lukman benar-benar menyesali perbuatannya, dan ingin memperbaiki kesalahannya. Hanya dengan cara seperti itu ia bisa membuktikan keseriusannya. Lukman tidak ingin dikucilkan sama teman-temannya.

Lukman membuang napas gusar, kedua pipinya mengumbung, dan tatapan matanya kosong memandang gelas berisi es jeruk yang tinggal setengah. Setengahnya sudah ia minum tadi.

"Wooooi!!"

Teriakan Alex yang sambil mendorong punggungnya membuat Lukman terkejut, dan langsung menoleh ke arah Alex di belakangnya. Selain Alex, ternyata sudah ada Aldo, Jonathan, Roby dan juga Pandu yang berdiri paling belakang, sehingga hanya kepalanya saja yang terlihat. Pandu memang paling tinggi diantara mereka, maklum ada keturunan Jermannya.

"Apaan sih ngagetin aja," ketus Lukman.

Alex mengalungkan tangannya di pundak Lukman, sambil menempelkan pantatnya di dekat Lukman. Kemudian diikuti Jonathan ikut duduk di sebelah Lukman. Sehingga Lukman berada di tengah-tengah antara Alex dan Jonathan. Sementara Roby dan Aldo masih berdiri di belakang, sambil memegang pundak Lukman.

Sedangkan Pandu masih belum beranjak dari tempatnya, terlihat ia melipat kedua tangannya di perut, lalu punggungnya menyandar pada tiang atau penyangga bangunan kantin. Tatapan matanya lurus ke arah teman-temannya.

"Cie yang lagi galau," goda Roby.

"Eh tau nggak sih, tadi gue tuh geli banget denger suara Lukman di sound sistem," ucap Alex yang langsung membuat rona wajah Lukman memerah.

Ha... ha... ha...!

Gelak tawa langsung terdengar dari mulut Jonathan, Alex, dan Roby. Aldo hanya nyengir sambil menggelng-gelengkan kepalanya saja. Sementara Pandu terlihat menarik ujung bibirnya sambil mengeluarkan suara desisan dari mulutnya.

"Gaya lu tuh udah kaya adegan di pilem derama, gue sempet ngebayangin muka lu tuh. Ngomong sambil akting sedih gitu, trus air matanya sampe banjir, ha.. ha..." ucap Alex juga ikut menggoda Lukman, kemudian ia tergelak.

Terlihat Pandu melepaskan lipatan tangannya, sambil berjalan mendekati teman-temannya.

Plak! Plak!

Pandu memukul pelan bagian belakang kepala Alex dan Roby, setelah ia sampai di dekat teman-teman.

"Aduuuh," ucap Alex mengaduh. Walaupun pukulan Pandu tidak menggunakan tenaga. "Apaan si lu Pandu? nggak bisa kalo nggak pake mukul?" Protesnya.

"Kalian yang apa-apaan?" Ketus Pandu. "Ada temen lagi berusaha minta maaf palah diketawain, bego. Hargain dong perjuangannya. Gue aja belum tentu berani kaya dia." Imbuh Pandu.

"Sory-sory, canda doang," Alex membela diri.

Mendengar suara Pandu, terlihat Lukman berdiri dari duduknya, lalu ia memutar tubuhnya supaya berhadapan dengan Pandu.

"Ndu..." ucap Lukman setelah ia bertatapan dengan Pandu.

"Hem," Pandu hanya bergumam.

"Maafin gue," wajah Lukman terlihat memohon.

"Nggak capek apa lu minta maaf melulu? Kuping gue masih sehat, tadi gue juga udah denger suara lu lewat audio." Jelas Pandu.

"Tapi gue bakal ngomong terus, kalo lu belum maafin gue, sampe seratus kali, seribu bahkan sejuta kali, gue nggak peduli, gue nggak akan berhenti sampe lu maafin gue," ucap Lukman tulus, dan penuh kesungguhan.

Pandu membuang napas kasar sebelum akhirnya memutuskan, "karena gue males dengernya, yaudah gue maafin."

"Hah? Serius?" Serga Lukman. Wajahnya terlihat sangat girang.

"Yaaa..." jawab Pandu tulus, meski ia memasang wajah jutek. "Tapi dengerin gue dulu," ucap Pandu yang membuat Lukman langsung fokus menatap Pandu.

"Jangan pernah iri sama kelebihan orang lain, karena belum tentu dia lebih baik dari lu. Belum tentu juga orang yang lu anggep beruntung, dia lebih beruntung dari lu. Lu cuma bisa lihat dari luar doang, kalo lu bisa masuk lebih dalem, orang yang lu anggep beruntung itu pasti punya banyak kekurangan, hanya saja dia punya cara buat menutupi kekuranngannya," Pandu mengehela napas panjang sebelum akhirnya ia melanjutkan.

Sementara Lukman dan yang lain, nampak terlihat antusias memperhatikan Pandu.

"-gue punya kelebihan, gue juga punya kekurangan, sama kayak lu. Ada kurangnya ada lebihnya, tapi kita juga harus berusaha gimana caranya memanfaatkan kekurangan kita menjadi sebuah kelebihan. Ohiya satu lagi, gue juga nggak pingin di senengin banyak orang. Gue nggak pernah minta sama mereka buat suka sama gue." Imbuh Pandu menjelaskan.

"Iya Ndu, thank's ya..." ucap Lukman sambil mengulurkan kedua tangannya untuk meraih pundak Pandu, lalu memeluknya erat. "Lu sahabat gue."

Terlihat Pandu juga mengeratkan pelukannya, sambil menupuk-nepuk punggung Lukman.

"Anjir... baper gue," cletuk Alex, kemudian ia juga berdiri dari duduknya dan ikut berpelukan.

"Aaah jadi pingin ikut pelukan juga," ucap Roby yang langsung menghamburkan tubuhnya diantara mereka.

Terlihat Aldo dan Jonathan saling bersitatap sambil tersenyum nyengir. Kemudian secara bersamaan Aldo dan Jonathan juga ikut bergabung dalam pelukan itu.

Akhirnya ke enam sahabat yang menjadi bintang sekolah bisa bernapas dengan lega, karena dapat menyelesaikan permasalahan mereka. Berkat Lukman yang menyadari kesalahannya, tulus meminta maaf, dan Pandu yang dengan ikhlas memberi maaf. Tentunya tidak luput dari dukungan Aldo, Jonathan, Alex, dan juga Roby.

Sahabat emang gitu, harus saling dukung. Kalau ada salah satu dari mereka yang bermusuhan harus ada yang menengahi. Jangan malah saling mengompori. Karena setiap masalah yang hadir, pasti selalu bersamaan dengan jalan keluarnya.

Setelah beberapa saat berpelukan, satu-persatu, mereka saling melepaskan pelukan itu dan mengambil tempat duduk masing-masing.

Suasana kantin juga mulai terlihat ramai dikunjungi murid-murid yang baru saja istirahat.

"Berarti anggota team basket kita lengkap dong," ucap Jonathan membuka obrolan. "Jadi kita bisa mulai latihan di rumah elu kan Ndu?"

"Gue nggak setuju kalo di rumah Pandu." Serga Lukman yang langsung membuat teman-temannya menatap ke arahnya.

"Kenapa emangnya?" Tanya Pandu.

"Kok lu lupa sih Ndu. Mana bisa kita latihan di rumah lu, sementara nyokap lu sendiri nggak ngebolehin lu main basket." Jelas Lukman.

Pandu mengrenyitkan kening, ia baru ingat soal itu.

"Iyaiya, tapi gue baru sadar, nyokaplu tuh aneh Ndu." Kata Alex. "Dimana-mana tuh ya, orang tua pasti bakal seneng kalo anaknya jago main basket, trus jadi idola. Tapi nyokap lu?" Imbuh Alex. Kemudian ia membuang napas kasar lalu berdecak heran.

"Dia itu sebenernya kan anak mami," goda Lukman. "Ama kita aja dia kasar, tapi kalo sama maminya melempem."

Pandu hanya tersenyum menanggapi ledekan teman-temannya. Kali ini ia sedang tidak ingin marah.

"Ohiya Ndu," Roby juga ingin berkomentar, lalu Pandu dan yang lain langsung menatap ke arah Roby. "Gue inget lu pernah ngomong sama gue. Katanya nyokap lu paling semangat waktu pas mau bikinin lapangan basket di rumah lu. Tapi giliran lapangannya udah jadi kok nyokap lu ngelarang lu main basket sih?"

Setelah Roby selesai berbicara seperti itu, terlihat semua mata teman-temannya langsung fokus menatap Pandu. Dari tatapan mata mereka, terlihat jelas semua membutuhkan jawaban dari kata-kata Roby barusan.

"Gue nggak tau!" Jawab Pandu berbohong. Awalnya memang ia tidak tahu. Tapi kemaren setelah ia pulang ke rumah setelah dijemput di kosannya, Pandu baru tahu alasannya. Cuma ia tidak ingin menceritakan kepada teman-temannya.

"Yaudah, kalo nggak bisa latihan di rumah Pandu, kita bisa latihan di sekolah." Usul Aldo.

"Hemmm... yaudah deh, lagian anak kelas 12 aneh, kelulusan masih lama, ujian nasional juga belum, trus kita juga belum satu semester kan? Ngapain mereka ngajak tanding perpisahannya bulan depan." ucap Alex dengan raut wajah yang malas, karena harus latihan basket di sekolah.

Begitupun dengan yang lain, mereka juga malas. Kalau latihan di rumah Pandu mereka merasa lebih enak. Selesai latihan ada pembantu Pandu yang menyiapkan berbagai macam minuman segar. Setelah itu mereka juga bisa sekalian renang, dan malamnya bisa menginap di rumah Pandu. Mereka juga bisa bermain game, atau apapun di rumah Pandu.

"Alesan mereka aja kali, belum puas soalnya nggak bisa ngalahin kita. Atau nanti menjelang UN mereka nggak punya waktu buat main basket." Ujar Aldo. "Nggak papa sih jabanin aja." Imbuhnya.

Beberapa saat kemudian saat sedang asik membicarakan latihan basket, terlihat Lukman mengambil HP di saku seragamnya. Setelah menyalakan HP ia dapat membaca di layar HPnya tertera.

Satu pesan dari TristCute.

Kak lu di mana? Gue di belakang sekolah..

Setelah membaca pesan dari Tristant, bibir Lukman langsung mengembangkan senyum, sambil jari-jarinya mengetik balasan.

"Tunggu! O-te-we"

Lukman memasukan kembali HPnya di saku sambil berdiri dari duduknya, "eh bentar ya gue ada perlu." Pamitnya.

"Mau kemana?" Tanya Alex.

"Kepo, bentar doang." Balas Lukman, kemudian ia berjalan meninggalkan teman-temannya untuk menemui Tristant yang sedang menunggu di belakang sekolah.

Pandu dan teman-temannya saling bersitatap sambil menggeleng-gelengkan kepala, setelah Lukman tidak terlihat lagi oleh mata.

Beberapa detik kemudian, wajah Pandu berubah murung. Kemudian ia menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Pandu hembuskan secara perlahan, "Den, lu di mana sih? Lu beneran gak mau ketemu gue?" Ucap Pandu di hatinya.

~♡♡♡~

Nampaknya keadaan sudah kembali lagi seperti sedia kala. Pandu berangkat sekolah diantar sama sopir pribadi, lalu Lukman dan yang lainnya sudah menunggu di depan gerbang. Tidak ada yang berubah, yang berbeda cuma tidak ada lagi sosok Aden yang biasa menjual ciloknya di sana.

Hal itu tentu saja membuat Pandu yang baru saja turun dari mobilnya menjadi semakin tidak bersemangat. Lagi-lagi ia harus kecewa karena tidak melihat mamang cilok kesayangannya berjualan di tempat biasa. Sudah hampir seminggu Pandu tidak melihat Aden, rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Wajah Pandu menjadi terlihat kusam, dan tidak bercahaya. Pucat.

Pandu berjalan santai ke arah teman-temannya yang sedang nongkrong di post satpam. Pandangannya tidak berhenti ke arah tempat, dimana biasa Aden menjual ciloknya. Kemudian ia nongkrong di dekat Aldo yang sedang membaca komiknya, tidak lupa kupingnya disumpel pakai head seat.

Lukman dan yang lainnya sedang mabar, main game bareng sambil menunggu bel masuk.

"Lu kenapa? Kusut amat?" Tanya Aldo setelah ia menyadari keberadaan Pandu di sebelahnya.

"Gak papa," jawab Pandu malas.

"Eh Ndu," Lukman yang sudah tahu kehadiran Pandu juga menegurnya, sambil fokus bermain game. "Si Aden kemana sih? Gue nggak pernah liat dia lagi."

"Entah nggak tau gue," jawab Pandu seadanya. Wajahnya masih terlihat malas.

"Kirain lu tau, soalnya kemaren-kemaren kayaknya lu sering ngobrol sama dia." Kata Alex.

Pandu hanya mendengus kesal, ia malas menjawabnya. Aldo yang duduk di sebelahnya, terlihat sedang mengamati permukaan wajah Pandu, ia seperti sedang mencari sesuatu di sana.

"Ngomong-ngomong tuh anak bikin kangen juga ya?" Cletuk Roby. "Cari tau dong, dia kan udah jadi temen kita."

Meski sedang fokus bermain game, tapi Jonathan, Alex, dan Lukman mereka menyimak kata-kata Roby barusan. Sehingga mereka menanggapinya, walaupun cuma memanggut-manggutkan kepala saja.

Pandu kembali menghela napas panjang, kemudian ia berdiri, lalu berjalan ke arah gerbang, "gue duluan." Pamit Pandu.

Aldo yang duduk di dekat Pandu hanya diam sambil menatap punggung Pandu, dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara Lukman dan yang lainnya kembali fokus menyelesaikan permainan game mereka.

Beberapa saat kemudian terdengar bel masuk sudah berbunyi.

Di kelasnya, Pandu sudah duduk dibangkunya, ia masih terlihat sangat tidak bersemangat. Pandu menidurkan kepalanya di meja, menggunakan pergelangannya sebagai bantalan.

Sedangkan Lukman yang duduk di belakang Pandu terlihat ia sedang asik chatingan sama Tristant, sambil menunggu guru jam pelajaran pertama masuk ke kelasnya.

"Selamat pagi anak-anak...!"

"Selamat pagi pak..." balas murid-murid secara serempak.

Sementara Pandu masih pada posisinya, tiduran tanpa menjawab salam, meski yang masuk ke kelasnya itu kepala sekolah sekaligus pemilik yayasan.

Terlihat Lukman langsung menyimpan HPnya di saku saat mendengar suara berat ayahnya. Kemudian Ia terkejut karena ayahnya masuk kelas tidak seorang diri, melainkan bersama guru jam pelajaran pagi itu, dan seorang murid baru.

Mata Lukman melebar, dan mulutnya terbuka. Ia seperti tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Ndu...!" Panggil Lukman sambil mendorong punggung Pandu. "Pandu...!" Ulang Lukman marena Pandu masih enggan menoleh ke arahnya.

"Pandu...!"

Kali ini Lukman mendorong punggung Pandu lebih kuat, dan menaikan nada suaranya. Sehingga mau tidak mau membuat Pandu harus menoleh ke arah Lukman meski dengan rasa malas.

"Apaan?" Ketus Pandu.

"Itu," ucup Lukman sambil menunjuk ke arah depan kelas.

Dengan wajah jutek secara perlahan Pandu menoleh ke arah telunjuk Lukman, di depan kelas.

"Hah!!" Ucap Pandu yang lebih terkejut dari Lukman. Matanya melebar, mulutnya terbuka, dan jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang.

"Silahkan perkenalkan diri kamu sama teman-teman baru kamu," perintah ayahnya Lukman kepada murid baru itu.

Semantara Pandu masih bengong, dan diam seribu bahasa. Ia masih belum yakin dengan apa ia lihat di depan matanya.

"Halo teman-teman," ucap murid baru itu mulai memperkenalkan diri. "Mungkin kalian udah sering liat saya, tapi mungkin belum tau siapa nama saya. Nama saya Haris aden sanjaya, panggil saja Aden. Saya yang sering jualan cilok di dekat gerbang sekolah."

"Ooh Aden namanya, nama yang ganteng seganteng orangnya." Cletuk seorang siswi yang duduk paling depan.

"Huuuuuuu, garing Lu," olok beberapa teman sekelas.

Aden hanya tersenyum menanggapi candaan teman-teman sekelas.

"Trus udah nggak jualan cilok lagi dong?" Tanya salah seorang murid.

"Kalo hari ini libur, tapi mulai besok saya jualan lagi pas jam istirahat aja." Jawab Aden.

Kemudian terdengar pemilik yayasan atau ayahnya Lukman mulai menjelaskan kenapa Aden bisa berada di yayasannya. "Jadi anak-anak mulai hari ini Aden menjadi siswa di sekolah kita, dan belajar di kelas kalian. Dan perlu diketahui Aden bisa berada di sekolah ini itu karena beasiswa yang bapak berikan sama Aden."

Pandu kembali menoleh ke arah Lukman saat ia mendengar kata beasiswa. Sorot matanya penuh dengan pertanyaan, mengenai beasiswa itu. Karena Pandu ingat bahwa Lukman pernah menyuruh ayahnya untuk menyekolahkan Aden di sekolahnya.

Lukman juga tidak tahu apa-apa soal itu, ia hanya menggelengkan kepala untuk menanggapi tatapan mata Pandu.

"-Harusnya Aden ini masih di kelas 10, tapi karena setelah dewan guru melihat nilai Aden ternyata di atas KKM, jadi bapak memberi kebijakan pada Aden agar bisa langsung loncat di kelas 11. Seperti semacem akselerasi atau kelas SKS 4 semester. Sebenarnya Itu hanya kebijakan bapak saja." Lanjut kepala sekolah. Kemudian ia menoleh ke arah Aden.

"Tapi tetep saja Aden, kamu harus lebih ekstra belajarnya, karena kalo semester ini nilai kamu tidak bagus, terpaksa kamu harus turun di kelas 10."

Aden tersenyum simpul sambil mengangguk takjim.

Setelah menyelesaikan penjelasannya terlihat ayahnya Lukman melihat arloji di pergelangannya. "Yaudah kalau gitu, karna jam pelajaran sudah dimulai Aden bisa langsung duduk dan mengikuti pelajaran." Kemudian ayahnya Lukman pandangannya menatap lurus ke arah Arlan, teman sebangku Pandu. "Arlan kamu pindah ke depan bersama Nanda, jadi biar Aden duduk satu bangku bersama Pandu."

Deg!!

Jantung Pandu berdetak kecang saat mendengar Aden disuruh duduk dengannya.

"Trima kasih Pak," ucap Aden sambil membungkuk di hadapan pemilik yayasan itu.

Pandu menelan ludahnya susah payah, dan bola matanya melebar saat melihat Aden sedang berjalan mendekat ke arahnya.

Flash back.

Senyum keibuan terbit dari bibir ibu Veronica, sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan Aden. "Kamu mau ya jadi pacarnya Pandu."

"Hah?" Permintaan ibu Veronica membuat mata Aden melebar, dan mulutnya terbuka. Aden bengong dan diam seribua bahasa.

"Maksudnya?" Tanya Aden.

"Ibu minta tolong Den, kamu bisa kan pacaran sama Pandu," ucap ibu Veronica menegaskan permintaannya.

"Tapikan bu... saya laki-laki. Saya enggak suka sama laki-laki. Saya cuma anggep Pandu temen. Saya nggak bisa bu pacaran sama cowok." Jelas Aden.

Bu Veronica membuat Aden semakin bingung. Aden mengira ibu Veronica pasti akan marah, atau sedih jika bu Veronica mengetahui bagaimana Pandu. Tapai yang ia lihat kini benar-benar diluar dugaan. Justru malah ibu Veronica mendukung.

Apa ibu Veronica sudah gila?

Enatahlah, Aden sangat bingung dibuatnya.

"Iya... ibu tahu kamu nggak suka sama laki-laki, dan kamu juga cuma anggep Pandu sebagi sahabat. Itu sebabnya ibu minta kamu supaya jadi pacarnya Pandu." Ibu Veronica mengambil napas sebelum ia melanjutkan, "tapi ini cuma pura-pura saja Aden." Imbuhnya menjelaskan, dengan raut wajah memohon.

Penjelasan bu Veronica tentu saja membuat Aden tidak mengerti, hingga keningnya sampai berkerut. Aden menelan ludahnya susah payah sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Saya nggak ngerti bu." Ucap Aden.

Terlihat ibu Veronica memejamkan mata sambil mengehela napas panjang. Setelah ia membuka mata, terlihat bu Veronica menatap Aden dengan tatapan yang sulit di artikan. Ibu Veronica terdiam, ia sedang berpikir bagaimana caranya menjelaskan kepada Aden.

Kemudian ibu Veronica mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lalu ia memberikan amplop coklat besar yang barusan ia ambil kepada Aden. "Tolong Aden baca ini," ucap ibu Veronica, dan tiba-tiba saja bola matanya menjadi berkaca.

"Ini apa bu?" Tanya Aden masih dengan wajah bingungnya.

"Itu diagnosa dari dokter, hasil tes terbaru kesehatan Pandu. Ibu baru dapat itu beberapa hari lalu. Ibu pikir Pandu udah sembuh soalnya di depan ibu dia nggak pernah ngeluh sakit pinggang lagi."

Karena penasran dengan penjelasan ibu Veornica, sehingga Aden mengambil kertas yang ada di dalam amplop besar itu. Kemudian ia membaca dengan teliti isi yang tertulis pada kertas tersebut. Aden sempat mengerutkan kening karena masih belum bisa memahami hasil diagnosis itu. Tapi ada satu kalimat di ditulis dengan huruf tebal berwarna hitam, yang membuat ia bisa tahu inti dari kertas itu.

Setelah membaca tulisan itu, Aden menatap ibu Veronica seraya berkata, "Pandu terkena ginjal kronis stadium lima?" Ucapnya.

Terlihat bola mata ibu Veronica mulai berkaca-kaca, ia hanya menganggukan kepala untuk menjawab pertanyaan Aden.

Tiba-tiba saja dada Aden terasa sesak, karena ia sudah menganggap Pandu sebagai sahabat. Selain itu ia sudah pernah tinggal bersama selama beberapa hari. Oleh sebab itu Aden sempat terpukul saat mengetahui sebenarnya.

"Ibu masih waras Den, ibu nggak mungkin rela anaknya punya prilaku menyimpang. Ibu melakukan ini bukan tanpa tujuan." Jelas ibu Veronica sambil sesekali mengeluarkan isakan.

"Tapi bu?" Aden menggantungkan kalimatnya. Ia benar-benar bingung memberi keputusan.

"Ibu nggak maksa kamu Den, ibu ngerti. Ibu cuma lagi berusaha gimana caranya supaya anak ibu satu-satunya mau bertahan hidup." Ujar ibu Veronica. "Ibu cuma minta tolong sama kamu, tapi kalo kamu nggak bersedia ibu nggak akan maksa."

"Tapi kalo saya jadi pacar boongannya Pandu, apa nanti bisa sembuh Pandunya?" Tanya Aden polos.

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya ibu Veronica hembuskan secara perlahan. Ibu Veronica memang harus ekstra sabar menghadapi anak sepolos Aden.

"Aden...," ucap ibu Veronica dengan lembut. "Mulai minggu ini, Pandu harus rutin cuci darah dua kali dalam seminggu. Itu supaya Pandu bisa terlihat sehat, kalo enggak melakuan cuci darah kesehatan Pandu akan semakin memburuk. Kemaren ibu udah ngasih tahu semuanya sama Pandu, kamu tahu tanggapan Pandu gimana? Pandu enggak mau melakukan cuci darah." Ibu Veronica kembali mengambil napas sebelum melanjutkan penjelasanya.

"-Pandu sayang sama Aden, Pandu juga suka sama Aden, kali aja kalo Aden yang bujuk Pandu, Pandu nggak akan nolak," lanjut ibu Veronica sambil mengusap air mata di bawah kelopak matanya.

"Apa ibu yakin?" Tanya Aden.

"Ibu cuma sedang berusaha Den, sementara ini cuma cara ini yang ibu tau." Jawab ibu Veronica.

Aden terdiam, wajar kalau ia merasa sulit menentukan pilihan. Berpura-pura menjadi pacar dan pura-pura mencintai, adalah suatu hal yang sangat sulit dilakukan. Apalagi yang ia bohongi seorang laki-laki, Aden tidak bisa membayangkan bagaimana hari-harinya nanti hidup dengan sebuah kebohongan. Kalau sampai Pandu tahu soal ini, apa tidak akan menambah sakit hatinya. Tapi di sisi lain ia juga tidak tega melihat Pandu akan menderita dengan penyakitnya. Ditambah dengan ibu Veronica yang menaruh harapan besar padanya.

Aden terdiam dan terlihat ia sedang berpikir sangat keras.

Ibu Veronica kembali mengusap air mata di sekitar wajahnya, dan sepertinya ia sudah merasa putus asa karena tidak melihat respon kesidaan dari Aden.

"Yaudah kalo Aden nggak bisa, ibu paham," ibu Veronica melihat arloji yang melingkar di pergelangannya. "Sudah malam, ibu harus pulang, nanti ibu pesankan taksi buat antar kamu pulang." Ucap bu Veronica kemudian ia berdiri duduknya.

"Bu...!" Panggil Aden yang membuat ibu Veronica membatalkan niatnya untuk berdiri. "Kira-kira Pandu cuci darahnya sampe kapan?"

"Sampe kami menemukan pendonor yang cocok," jawab ibu Veronica. "Kami akan berusaha mencari secepat mungkin."

Menarik napas dalam-dalam, kemudian Aden hembuskan secara perlahan. "Yaudah bu.. Aden mau."