Hari sabtu, sekolah dipulangkan lebih pagi dari hari-hari yang lainnya. Pemilik yayasan memang tidak meliburkan sekolah di hari sabtu, tapi sebagai gantinya, siswa diberi waktu belajar selama setengah hari saja.
Keputusan pemilik yayasan, tidak ada yang bisa mengganggu gugat.
Lantaran Aden sudah tinggal di tempat kos, tugas Dadang menjadi bertambah sejak Aden berjualan cilok di dalam kantin sekolah. Pagi hari, ia harus mengantar cilok sekalian membawa Anis ke kantin, lalu sorenya selepas berjualan Dadang harus menjemput Anis kembali. Tapi Dadang tidak merasa keberatan, karena hasil yang didapat dari hasil penjualan di kantin sangat sebanding dengan rasa lelah nya.
Baru beberapa hari ini Aden memang sudah menempati atau tinggal di tempat kosnya. Tapi ia masih sendiri, soalnya Pandu belum meminta ijin kepada ibu Veronica agar bisa tinggal lagi satu kos bersama Aden.
Pandu sedang mencari alasan yang tepat, supaya bu Veronica bisa memberi ijin.
Kemudian sesuai yang sudah dibicarakan sebelumnya, hari ini Pandu dan teman-temannya akan melakukan latihan basket di rumah Pandu. Namun karena keadaan Pandu yang kurang baik, Lukman dan yang lain terpaksa harus ikhlas, mengijinkan Pandu untuk tidak bermain basket bersama mereka. Mereka menyadari akan kondisi Pandu yang tidak boleh melakukan kegiatan, yang mungkin akan memperburuk kesehatan Pandu. Sebagai gantinya, atas usul dari Pandu, Aden masuk kedalam anggota team mereka untuk mengisi posisi yang kosong.
Sedangkan posisi kapten basket diambil alih sama Lukman.
Awalnya Aden menolak untuk bergabung bersama mereka, selain tidak percaya diri, Aden tidak pernah bermain basket. Aden lebih sering dan suka bermain sepak bola sewaktu di kampung. Jika bergabung bersama mereka, Aden tidak ingin mengecewakan Pandu dan yang lain. Tapi karena bujukan dan dipaksa sama Pandu, akhirnya Aden pun tidak bisa menolak.
Demi Pandu.
Di parkiran sekolah, Aden sudah duduk di atas motornya yang belum lunas. Masih kredit tinggal beberapa bulan lagi. Di belakang Aden, ada Pandu sedang berdiri sambil memasang pengait helm.
Selesai dengan urusan memakai helm, Pandu naik di atas motor duduk di belakang Aden. Mereka akan menuju ke rumah Pandu untuk latihan basket bersama.
"Mau berangkat bareng ama yang lain? Apa kita duluan?" Tanya Aden sebelum menghidupkan mesin motornya.
"Kita duluan aja, yang lain pada mau pulang dulu. Mereka nggak bawa kaos basket." Terang Pandu.
"Yaudah," ucap Aden sambil menghidupkan mesin motornya. Setelah suara mesin motor menyala, Aden tidak langsung menarik gas, ia melihat Pandu yang duduk di belakang melalaui spion. Melihat Pandu tidak memakai jaket, Aden melepas jaket miliknya lalu diserahkan kepada Pandu.
"Kamu yang pake jaket, panas soalnya."
"Udah nggak papa, kan lu yang di depan, ntar lu kepanasan, jadi item lagi." Tolak Pandu beralasan. Pandu juga tidak ingin Aden kulitnya terbakar sama matahari, lagi pula Pandu bisa berlindung di balik tubuh Aden.
"Nggak papa, kan emang udah item. Cowok nggak boleh takut item." Aden kekeh memberikan jaketnya untuk Pandu.
"Gue juga nggak takut item. Lagian gue nggak bakal bisa item, biar kepansan seharian juga." Ucap Pandu sedikit membanggakan dirinya.
Aden memajukan kedua bibirnya, "hem... sombong." Ledek Aden sambil menaru jaketnya di pundak Pandu. "Pake... aku nggak mau kamunya kepanasan."
Perhatian Aden secara otomatis membuat bibir Pandu tersenyum nyengir. Rasanya bahagia sekali mendapat perhatian dari orang yang sangat disayangi. Rasanya itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Yaudah kalo lu maksa..." ucap Pandu sambil memakai jaket Aden yang diberikan kepadanya.
Pandu memang jarang membawa jaket, ia berangkat sekolah tadi diantar sama sopir. Di dalam mobil Alphard tidak akan kepanasan jadi Pandu tidak perlu jaket.
"Nah gitu, harus nurut..." Aden mulai narik gas motornya perlahan.
"Lu nyuruh gue ke neraka juga pasti gue nurut." Goda Pandu saat motor yang mereka naiki baru saja berjalan perlahan.
Meskipun sepertinya Pandu bercanda dengan kata-katanya barusan, tapi berhasil sedikit menyentuh relung hati Aden yang terdalam. Se-sayang itukah Pandu padanya? Aden terdiam, bibirnya tersenyum tipis. Wajahnya berubah datar memikirkan kata-kata Pandu.
~♡♡♡~
Inggrid menyandarkan tubuhnya di kepala dipan. Tubuhnya yang telanjang bulat ia tutupi menggunakan selimut tebal sampai kebagian dadanya. Tangannya yang mulus mengulur ke arah meja kecil yang ada di samping dipannya, mengambil segelas air mineral, lalu meneguk nya.
Dua kali melakukan hubungan intim bersama laki-laki yang usianya lebih muda, membuat Inggrid kehausan. Satu gelas air mineral tandas dalam sekali tegukan.
Sebuah kepala muncul dari balik selimut yang menutupi tubuhnya, lalu nampaklah wajah pria yang diperkirakan usianya sekitar dua puluh tahun. Lalu brondong yang baru saja memasukan mr. P miliknya, ke dalam miss V milik Inggrid, ikut menyandar di kepala dipan. Disamping tante Inggrid. Pria itu juga masih telanjang bulat. Selimut yang tebal hanya menutupi di bagian intim sampai ke kakinya saja. Sehingga perutnya yang empat kotak dan dadanya yang bidang dapat terlihat dengan jelas.
"Dua kali tante, durasinya 4 jam lagi. Kayaknya pantes dapet hadia ni." Ucap brondong yang memakai anting magnet berwarna hitam di sebelah kupingnya.
"Kamu mau minta apa?"
Brondong yang diketahui bernama Andre diam sambil memainkan mulutnya, tapi otaknya sedang memikirkan sesuatu yang ia inginkan. "Aku pingin punya iPhone x 11 pro tante."
"Gampang," ucap Inggrid dengan entengnya.
"Serius nih?" Girang Andre seakan tidak percaya.
"Kapan tante pernah bohong?" Kata Inggrid dengan gayanya sombong. Inggrid menidurkan kepalanya di pundak brondong yang pernah menjadi pacar Desma. Cuma karena Inggrid mampu memberikan segalanya, sehingga Andre dengan mudahnya berpaling kepada Inggrid.
"Trus kapan nih mau beli iPhone nya?" Andre sudah tidak sabar ingin segera memiliki HP canggih itu.
"Kamu maunya kapan?" Jari-jari Inggrid menari-nari dibagian puting Andre.
"Malam ini?" Tantang Andre.
"Oke... malam ini kita ke Central Park nyari iPhone buat kamu, sekalian tante mau nyari sesuatu di sana."
Inggrid tidak pernah sayang menghamburkan uangnya demi kepuasan batin dan kepuasannya di atas ranjang. Inggrid juga tidak pernah merasakan gimana pusingnya mencari transferan sepuluh ribu, supaya bisa menarik saldo lima puluh ribu di ATM. Sehingga Inggrid dengan mudahnya memberikan uang kepada pria yang ia sukai, dan dapat membuatnya mendesah ke enakan di atas ranjang.
Andre mencium pipi mulus Inggrid seraya berkata. "Love you tante."
"Gombal," ucap manja Inggrid. "Eh ngomong-ngomong temen kuliah kamu nggak ada yang masih perjaka apa?"
"Mana saya tau, emang gimana caranya suapaya bisa tau perjaka apa enggak?" Tanya Andre.
"Yah kamu tanya lah? Tante butuh perjaka nih. Kamu bisa kan cariin buat tante?" Bujuk tante Inggrid.
"Emang sama saya masih kurang puas?" Kesal Andre. Harga dirinya merasa seperti dilecehkan sama Inggrid.
"Bukan gitu, tante pingin sensasi yang beda. Kalo kamu bisa cariin brondong SMA perjaka buat tante, nanti tante kasih hadiah. Kalo bisa jangan tampang kota ya, yang kelihatan kampung sama masih polos. Tante pingin banget ngerasain brondong model gitu."
Sejak bertemu dengan Aden, Inggrid memang sangat terobsesi sama remaja kampung itu. Apalagi setelah melihat tubuh Aden hanya memakai celana dalam. Ia sering membayangkan bisa bercinta dengan remaja yang memiliki gundukan besar di dalam CDnya. Yang membuat Inggrid semakin ingin mencoba Aden, lantaran Aden terlihat polos dan masih perjaka. Belum pernah terjamah. Sudah gitu Aden ganteng dan tidak bikin bosan kalau sedang dipandang mata. Bahkan saat sedang bercinta dengan Andre pun, Inggrid membayangkan jika Aden yang sedang menggagahi nya.
Andre dari tadi hanya diam, ia sedang memikirkan hadiah yang dijanjikan sama Inggrid barusan. Ia sangat paham, Inggrid tidak pernah memberikan Andre barang murah. "Oke deh, nanti saya usahain." Andre menyanggupi Meski permintaan Inggrid aneh, dan sulit didapatkan.
Senyum merekah mengembang di bibir merah Inggrid, ibu jari dan telunjuknya menjepit hidung Andre, lalu menariknya pelan. "Tante tunggu lho..."
~♡♡♡~
Setelah memarkirkan motor, Aden dan Pandu jalan beriringan menuju rumahnya Pandu yang terlihat sangat mewah dari luar. Sesampainya di depan pintu, Pandu menekan bel. Tidak harus menunggu lama, pintu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga.
"Lho... mas Pandu sudah pulang?" Ucap Wati yang kebetulan membukakan pintu untuk Pandu dan Aden.
"Sudah bi." Jawab Pandu setelah ia berada di dalam rumahnya. "Yuk..." Pandu menarik pergelangan Aden, lalu membawanya masuk berjalan ke arah tangga.
Aden pasrah mengikuti Pandu. Tapi sebelum itu ia sempat menyapa Wati dengan senyum simpul sambil mengangguk takjim. Wati pun membalas penuh sopan.
"Ndu... udah pulang?"
Suara ibu Veronica, membuat dua remaja yang masih memakai seragam putih, abu-abu lantas menghentikan perjalanannya, lalu memutar tubuh mereka, dan mendapati ibu Veronica yang sedang menaiki anak tangga dengan langkah anggun.
"Udah mi, semua guru lagi ada pertemuan sama para donatur sekolah, oh iya emang mami nggak ikut ?" Tanya Pandu setelah ibu Veronica sudah berada di depan mereka.
Ibu Veronica harus mendongakan kepala, untuk menatap Pandu dan Aden, lantaran mereka berada satu tingkat di atas tangga dari ibu Veronica berdiri.
"Oh iya mami lupa, tapi mami udah bilang sama ayahnya Lukman kalo mami nggak bisa dateng. Tapi kan sumbangannya pasti sampe."
"Emang mami nyumbang apaan?"
"Bukan mami sih, tapi papi kamu yang nyuruh mami supaya ngirim 250 unit komputer LED ke sekolah kamu."
"Oh..." Pandu mengangguk-anggukan kepalanya.
"Lho... ini bukannya yang pernah bawa cilok di arisan mami ya?" Ibu Veronica sedang berakting, berpura-pura baru menyadari keberadaan Aden.
Akting ibu Veronica terlalu natural, sehingga Aden sulit mengimbangi. Lantaran takut salah menjawab Aden hanya tersenyum simpul sambil menganggukan kepalanya.
"Iya mi," sahut Pandu. "Aden ini dapet beasiswa dari ayahnya Lukman. Trus dia satu kelas sama Pandu."
"Oh... bagus deh kalo gitu," ibu Veronica menoleh ke arah Aden. "Yang rajin belajarnya..." ibu Veronica tidak sedang berakting menasehati Aden. Ia juga ingin Aden menjadi anak yang pintar dan sukses.
"Pasti bu."
Aden dan Ibu Veronica saling bersitatap, memberikan senyum khasnya masing-masing.
"Mi... mulai hari ini temen-temen Pandu mau latihan basket di sini."
Pandangan ibu Veronica langsung beralih ke arah Pandu, "tapi kamu nggak ikut main basket kan sayang."
"Enggak mi, tenang aja. Nanti Aden yang gantiin Pandu."
"Syukur deh kalo gitu," helaan napas lega yang berasal dari hati ibu Veronica keluar melalui mulut dan hidungnya. Lega sekali rasanya mendengar Pandu tidak akan bermain basket lagi. Aden melakukan tugasnya dengan baik. Pikir ibu Veronica.
"Mi, tapi Pandu boleh minta ijin sama mamai?"
"Ijin apa?"
"Em..." Pandu bergumam, ia terlihat ragu ingin menyampaikan niatnya. Apalagi dengan kondisi kesehatannya yang sedang tidak bagus, Pandu yakin wanita yang ia panggil mami itu, pasti tidak akan mengijinkannya.
"Pandu minta apa?" Tanya ibu Veronica tidak sabar.
"Pandu pingin kos lagi, boleh ya?" Wajah Pandu terlihat memohon penuh harap.
"Lho kok gitu?"
Awalnya sih, ibu Veronica yang menyuruh Aden supaya mengajak Pandu agar tinggal satu kosan lagi dengan Aden. Meyakinkan Pandu jika Aden benar-benar tidak akan pergi dari Pandu. Ibu Veronica merasa yakin dengan Aden mengajak putranya tinggal satu kos lagi, pasti akan membuat Pandu senang. Tapi setelah melihat Pandu mau berjuang untuk kesehatannya tanpa harus kos bersama Aden, ibu Veronica mengurungkan niatnya.
Yang penting bagi ibu Veronica, Aden satu sekolah dan satu kelas dengan Pandu. Dan Aden harus tetap memberi semangat atau menyenangkan hati Pandu supaya mau berjuang untuk kesembuhannya.
Tapi bukan Pandu namanya, kalau ia tidak mau berjuang untuk sesuatu yang ia inginkan.
"Iya mi, biar kata kosan Pandu sempit, kumuh, tapi itu letaknya strategis mi. Dari sekolah deket, mau ke kantor agency model juga deket. Kalo Pandu nggak kos, bisa telat nanti kalo pas ada pemotretan. Tau sendiri Jakarta macetnya kayak apa?" Ujar Pandu beralasan.
Pandu memang masih tergabung dalam manajemennya Beni, lantaran kontrak yang sudah ia tanda tangani belum sampai pada waktu yang sudah disepakati sebelumnya.
"Tapi kan_?"
"Tenang aja mi, Pandu akan baik-baik saja. Semua peraturan dari mami bakal Pandu turutin." Janji Pandu.
Bagi Pandu selama masih berada di dekat Aden, semangat untuk menjaga kesehatan akan selalu ada. "Pandu kosannya bareng sama Aden kok, boleh ya?" Bujuk Pandu.
Aden hanya diam saja, tugasnyanya hanya membuat Pandu senang. Aden hanya memperhatikan interaksi antara Pandu dan ibu Veronica. Ia tidak mau salah berucap, karena tidak ingin berbuat kesalahan.
"Oh, sama Aden?" Ucap bu Veronica yang ditanggapi dengan anggukan kepala sama Pandu. Menarik napas dalam-dalam, ibu Veronica lalu menghembuskan secara perlahan, tidak ada pilihan lain selain harus menganggukkan kepala seraya berkata, "yaudah kalo itu mau kamu, mami nggak bisa mencegah. Tapi ingat jangan sampai telat chek up."
Akhirnya Pandu bisa tersenyum girang, kemudian ia menghamburkan tubuhnya memeluk erat ibunya. "Siap mi, Pandu nggak akan telat."
Saat ini yang penting bagi ibu Veronica adalah membuat Pandu bahagia. Mau menjalani perawatan jalan, sampai ia sudah menemukan pendonor untuk anaknya. Selain itu, ibu Veronica sudah sangat percaya sama Aden, ia yakin Aden akan menjalankan tugasnya dengan baik.
Ibu Veronica menoleh ke arah Aden, "ibu titip Pandu ya Den." Ucapnya.
Aden tersenyum simpul sambil mengangguk patuh.
~♡♡♡~
Pandu menutup pintu kamar setelah ia dan Aden berada di dalam kamarnya.
Dua kata yang Aden bisikan dalam hati, saat ia baru saja memasuki kamar milik Pandu. Luar Biasa. Ya, kata itu yang otomatis keluar dari hatinya untuk mengapresiasi kan betapa megah dan besarnya kamar milik Pandu. Luasnya dua kali lipat lebih besar dari rumahnya yang berada di kampung.
Tempat tidurnya sangat besar, lalu ada beberapa pendingin ruangan yang menempel di dinding kamar. Selain itu fasilitasnya juga sangat lengkap, lemari pakaian yang sangat besar, home teater yang berada di dekat meja belajar Pandu, lemari ES, dan TV LED yang biasa Pandu gunakan untuk bermain game. Lengkap dengan PS edisi terbaru. Dan yang membuat kamar Pandu terasa sangat nyaman dan semakin betah berada di sana, pada saat keluar ke arah balkon mata kita langsung disuguhi dengan pemandangan taman yang sangat indah lengkap dengan kolam renangnya.
Dengan langkah ragu Aden berjalan mengekor di belakang Pandu. Matanya melirik ke arah ring basket yang sengaja Pandu pasang di dinding kamarnya. Ring basket itu membuktikan bahwa sang pemilik kamar pasti memilik hoby bermain bola basket. Bukan bola bakel.
Aden berdiri mematung, menatap teduh ke arah Pandu yang sedang membuka lemari pakaiannya. Tiba-tiba saja rasa haru menghampiri perasaanya, dan hatinya-pun kemudian berkata; Pandu mau tinggal di tempat yang kumuh, sempit, panas, dan rela meninggalkan kamar se mewah ini, cuma demi bisa tinggal bareng sama saya?
Tiba-tiba bola mata Aden berkaca-kaca saat ia juga teringat perjuangan Pandu menjadi seorang model hanya untuk membantu dirinya. Padahal, sekalipun Pandu tidak pernah bekerja keras, semua yang Pandu ingin, bisa dengan mudah Pandu mendapatkannya. Tapi hanya demi rasa sayangnya terhadap Aden, Pandu rela meninggalkan semuanya.
Apa yang dilakukan Pandu, lantas membuat Aden merasa ada sesuatu, seperti sedang menyentuh relung hatinya yang paling dalam. Desiran aneh seperti sedang menjalar dan bermain-main di hati dan perasaannya.
"Den lu kenpa? Kok nglamun."
Teguran Pandu mengagetkan Aden yang sedari tadi melamun, lalu menariknya kembali ke dunia nyata.
"Eh, nggak papa." Ucap Aden gagap.
Ia berusaha menetralisir perasaannya, sambil mengmkerjap-kerjapakan mata supaya air yang membuat bola matanya berkaca bisa cepat hilang.
Aden memandang Pandu yang sudah mengganti seragam sekolahnya dengan kaos dan celana kolor, sedang berjalan mendekatinya. Aden tidak menyadari, dan tidak tahu kapan Pandu mengganti pakaiannya.
"Ni lu pake seragam basket gue," titah Pandu saat ia sudah berada di depan Aden.
Aden hanya sekilas memandang sergam basket yang sudah di tangannya, lalu meletakan di sebelah pundaknya, tanpa ada keinginan untuk segera memakainya. Dengan langkah yang pelan Aden berjalan ke arah tempat tidur Pandu, lalu menjatuhkan pantatnya di tepi dipan.
Mengerutkan kening, Pandu menatap heran sambil berjalan mendekati Aden.
"Lu kenapa sih? Kok aneh." Tegur Pandu setelah ia duduk di samping Aden.
"Nggak papa." Jawab Aden pelan. Ia mengedarkan pandangannya di sekitar kamar Pandu. Pandangan Aden berhenti di depan wajah Pandu yang sedang menoleh ke arahnya. Aden terdiam, memandang lekat wajah Pandu.
Yang dipandang kembali mengerutkan kening, menjadi salah tingkah dibuatnya. "Aden... lu kenapa?" Kali ini Pandu bertanya dengan sangat lembut.
"Apa kamu yakin, mau tinggal lagi satu kos sama saya?" Tanya Aden tanpa menjawab pertanyaan Pandu.
"Kok lu tiba-tiba nanya gitu?"
Aden kembali mengedarkan pandangannya di kamar Pandu, "kamar kamu bagus, kosan kita nggak ada apa-apanya." Ucapnya tanpa melihat ke wajah Pandu. Matanya masih sibuk mengagumi semua isi yang berada di dalam kamar Pandu. Bukan norak sih, Aden cuma sedang bingung dengan Pandu, kenapa hanya demi Aden, Pandu rela meninggalkan semua ini.
Membuang napas lembut, Pandu merebahkan tubuhnya di atas dipan. Tidur terlentang menghadap langit-langit. "Kurang yakin gimana? Buktinya kemaren-kemaren gue bisa tinggal di kosan itu." Pandu menatap punggung Aden yang masih duduk di tepi dipan. "Buat gue Yang penting bisa bareng sama elu."
Aden memutar tubuhnya ke belakang melihat ke arah Pandu yang sudah terlentang di sana. Kemudian Aden merangkak, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Pandu. Ia tiduran tengkurap, menggunakan kedua sikutnya untuk menyangga dada, suapaya kepalanya bisa berada di atas wajah Pandu.
"Makasih yah... kamu teh udah baik banget sama aku." Ucap Aden dengan logat sundanya.
"Lu ngomong apa? Gue nggak nglakuin apa-apa buat lu." Ujar Pandu.
"Kamu rela ninggalin kamar bagus begini, cuma demi aku kan?"
Pandu tersenyum simpul mendengar kata-kata Aden barusan. "Gue kan sayang sama lu. Gue cuma berusaha pingin dapetin apa yang gue cinta, apa yang gue sayang." Jelas Pandu.
"Apa yang kamu pingin harus kamu dapetin ya?" Tanya Aden.
"Ya nggak semua lah, gue juga tau diri kali. Nggak semua yang kita pingin pasti bakal jadi milik kita. Tapikan kita nggak boleh menyerah gitu aja. Seenggaknya kita sudah berjuang, berusaha meraihnya. Gue tipe orang yang harus berusaha dulu sebelum akhirnya gue nyerah kalo itu emang nggak bisa gue dapetin. Apalagi kalo urusan cinta, gue bakal berjuang sampai titik darah penghabisan."
Aden terdiam menatap lekat wajah Pandu, ia sedang memikirkan dan mencerna kata-kata Pandu barusan. "Jadi yang kamu cintai harus jadi milik kamu gitu?"
"Apa salah kalo gue berjuang buat depetin cinta gue?"
"Nggak salah sih."
Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Pandu hembuskan secara perlahan. "Tapi gue juga nggak bisa maksa orang yang gue cinta, harus cinta juga sama gue. Gue mau orang yang gue cinta tulus bales cinta gue. Tanpa ada paksaan. Gue juga nggak mungkin bikin orang yang gue suka, harus menderita karena terpaksa cinta sama gue."
Penuturan Pandu membuat Aden menelan ludahnya susah paya. "Maksudnya kalo yang kamu cinta nggak bisa cinta sama kamu, kamu enggak papa gitu?"
Pandu mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaan Aden. "Tapi gue nggak akan bisa hidup."
"Kok gitu?" Tanya Aden.
"Bingung gue jelasinya," Pandu membuang napas berat, ia diam sambil berpikir mencari kalimat yang pas supaya Aden bisa mengerti akan maksudnya. "Gue kasih contoh. Gue kan suka sama lu, jadi gue berusaha gimana caranya supaya lu bisa suka sama gue. Tapi kalo lu nggak bisa suka sama gue, gue nggak akan maksa. Dari pada lu terpaksa pura-pura suka sama gue, kan nantinya malah bikin gue sakit hati. Udah gue sakit karena dibohongi, trus gue jadi merasa bersalah karena lu harus ngorbanin perasaan lu demi gue. Jadi kalo misal lu emang enggak suka sama gue mending lu ngejauh dari gue, jadi lu nggak perlu tau apa yang bakal gue lakuin. Toh nggak ada ngaruhnya buat lu, meskipun gue bunuh diri. Kan lu nggak suka sama gue_"
"Hah? Kamu mau bunuh diri kalo aku nggak suka sama kamu?" Potong Aden yang langsung bergidig merinding mendengar kalimat terahir Pandu.
"Itu contoh, toh nggak perlu bunuh diri juga penyakit gue bakal bunuh gue. Lu semangat hidup gue, kalo ada elu di deket gue, gue bakal berjuang supaya gue bisa bertahan hidup. Tapi jangan jadi beban yah, gue nggak mau penyakit gue jadi alasan buat lu jadi terpaksa suka sama gue. Soalnya kalo beneran gitu, gue akan bisa maafin lu dan diri gue sendiri."
Aden terdiam, penjelasan Pandu yang panjang lebar membuat ia harus kembali menelan ludahnya susah payah. Tiba-tiba saja hatinya merasa gelisah.
"Tapi lu nggak gitu kan?" Imbuh Pandu bertanya.
Aden langsung tersentak dengan pertanyaan Pandu yang seolah tahu dengan keadaan yang sebenarnya. Padahal Pandu tidak tahu apa-apa. Dan anehnya kenapa obrolannya jadi mengarah kesana?
"Eh... ya enggak lah," jawab Aden gugup. "Kan aku suka sama kamu, sebelum aku tahu kamuny sakit." Imbuhnya berbohong.
Pengakuan Aden membuat Pandu tersenyum simpul, tatapannya teduh penuh kasih sayang kepada Aden. Suara bunyi pesan disertai dengan getaran dari HP membuat tangan Pandu meraba-raba tempat tidurnya. Mencari HP yang sebelumnya sudah ia taruh di dekat ia tiduran. Setelah benda berbentuk persegi itu sudah ia pegang, Pandu langsung melihat layar HPnya, dan melihat ada pesan whatsapp yang ternyata dari Lukman.
Pandu membuka pesan masuk untuknya, sedangkan Aden memperhatikan wajah Pandu tidak berkedip. Ia masih memikirkan semua kata-kata Pandu yang ia dengar barusan.
Pesan dari Lukman.
Ndu... Jo, Alex sama Roby udah sampai di rumah lu belum mereka udah otw dr tadi. Gue lagi di jalan naik mobil Aldo.
Blm
Oh... ya udah. Eh Tristant ngajakin gue nonton nanti malam. Gue udah ngajak ngajak yang lain tapi nggak pada mau. Lu mau ikut nggak. Kalo mau biar gue sekalian nyuruh Trsitant sekalian boking tiketnya.
Yaudah, gue mau.
Pesenin 1 lg buat Aden.
Oke, nanti gue bilangin sama pacar gue, suruh pesen tiket juga buat Pandu.
Y
keypad hp lu rusak ya Ndu? Kesel gue.
Gx
Dmna nntonnya?
CGV Cinemas Central Park.
Pandu menekan tombol power untuk mematikan HPnya setelah selesai melakukan chating singkat dengan Lukman. Ia menoleh ke arah Aden yang kepalanya masih setia di atas wajahnya. "Ntar malem Lukman ngajakin nonton."
"Nonton apa?"
"Bioskop."
"Yaudah," jawab Aden. Telapak tangannya tanpa sengaja membelai puncak kepala Pandu. Tatapan matanya lurus menatap mata Pandu. Kemudian Aden menurunkan wajahnya lalu mendaratkan bibirnya di pelipis Pandu. Aden memejamkan mata, mendiamkan bibirnya selama beberapa detik di pelipis Pandu. Sebenarnya ia sudah sangat ingin melakukan itu sejak tadi, sejak Pandu selesai menceritakan panjang lebar tentang perjuangan cintanya. Cuma tertunda karena Pandu harus membalas pesan dari Lukman.
Dan anehnya apa yang sedang Aden lakukan sekarang, itu bukan karena semata-mata ingin membuat Pandu senang. Bukan karena untuk memperkuat akting yang sedang ia mainkan. Tapi lantaran hatinya yang tergerak ingin melakukan itu. Maksudnya apa coba?
"Ndu...!! Den...!!"
Aden langsung melepas bibirnya dari pelipis Pandu. Kemudian Aden dan Pandu langsung bangkit dari tidurannya dan menatap terkejut saat melihat, Jonathan, Alex, dan Roby sudah berdiri di depan pintu kamar sambil terbengong-bengong.
"Kalian lagi ngapain?" Tanya Jonathan.