selamat membaca~
Ibu Veornica duduk bersimpuh di tepi kasur yang masih terlihat sangat acak-acakan, akibat pergulatan panas yang baru saja dilakukan oleh Pandu bersama Aden. Selain itu, sobekan kertas kado juga masih berserakan di atas kasur, lantaran mereka belum sempat membereskan nya. Di depan ibu Veronica, ada Pandu sedang duduk bersila, dan ada Aden juga duduk bersila disebelah nya.
Aden dan Pandu saling bersitatap saat ibu Veronica sedang mengedarkan pandangannya di sekitar kamar. Mereka merasa sangat lega lantaran apa yang meraka lakukan barusan, tidak sampai kepergok sama ibu Veronica. Enatah apa yang akan terdi jika Pandu dan Aden tidak mengunci pintu kamar kosnya. Mereka tidak sanggup membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang pasti akan terjadi, jika ibu Veronica melihat adegan panas yang mereka lakukan barusan.
Rasanya lega sekali. Pandu dan Aden tidak henti-hentinya mengucap syukur di dalam hatinya.
Meskipun mereka merasa lega, tapi tetap saja, kepala Aden dan Pandu menjadi terasa sangat pening. Tidak hanya kepala atas saja yang terasa ngilu, kepala bagian bawah-pun rasanya ikut nyut-nyutan. Bagaimana tidak, gairah yang memuncak dan sudah di ubun-ubun, terpaksa harus dihentikan lantaran kehadiran ibu Veronica yang tiba-tiba. Jika yang di dalam celana sana bisa bersuara, pasti milik mereka sudah berteriak-teriak emosi, lantaran gagal mendapatkan pelampiasan yang tinggal beberapa langkah lagi. Rasanya benar-benar dongkol.
Pandu menoleh ke arah ibunya, keningnya berkerut melihat ibu Veronica yang tidak berhenti melihat-lihat kamar kos mereka. "Mami..!" Tegur Pandu, lantaran ibu Veronica belum memberi tahu maksud kedatangannya, sejak masuk kedalam kosan mereka, sampai ia duduk di tepi kasur.
Yang dipanggil sedikit tersentak, lalu menoleh ke arah putranya, "hem?" Ucapnya.
"Mami mau ngapain ke sini? kok nggak ngabarin dulu." Kesal Pandu.
Senyum keibuan terbit di bibir ibu Veronica, manik matanya menatap putranya dan Aden secara bergantian.
"Oh... mami liat instastory kamu, Aden katanya ulang tahun. Makanya mami ke sini, sekalian ngasih kejutan."
Kejutan. Ya, Ibu Veronica tidak sedang berbohong. Kehadirannya yang tiba-tiba memang benar-benar membuat Pandu dan Aden sangat terkejut. Hampir saja membuat jantung mereka berdua loncat dari tempatnya, lantaran saking terkejutnya.
Ibu Veronica mengalihkan pandangannya ke arah Aden, seraya berkata. "Bener Den, kamu ulang tahun?"
Aden tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. "Iya bu."
"Kalo gitu selamat ulang tahun ya, makin dewasa, do'a ibu semoga apa yang kamu cita-citakan dapat tercapai."
"Aamiin, teriama kasih bu," jawab Aden.
Mata Pandu menyipit, ia menatap ibu Veronica dengan tatapan heran, tidak biasanya ia melihat ibunya bersikap ramah sama teman-temannya. "Tumben mami care sama temen Pandu? Biasanya mami nggak pernah peduli."
Pertanyaan Pandu membuat ibu Veronica sedikit gugup, "oh... ya peduli dong, Aden kan temen satu kos sama kamu, pasti kamu udah banyak ngerepotin dia. Makanya mami spesial dateng ke sini." Kilah ibu Veronica. "Sebenarnya mami mau kasih kejutannya sama kamu." Lanjut ibu Veronica mengalihkan pembicaraan.
"Kejutan apa??" Tanya Pandu heran. Ia langsung tidak memikirkan sikap ramah ibu Veronica kepada Aden.
"Papi kamu nanti malam pulang dari luar negeri, nanti malam kamu tidur di rumah aja ya. Ajak Aden juga boleh."
"Serius mi?" Serga Pandu girang. Ia memang sudah sangat rindu sama ayahnya, jadi wajar saja jika kepulangan pak Arlan membuat Pandu sangat senang.
Ibu Veronica mengangguk pelan seraya menjawab, "iya."
"Pandu udah kangen banget sama papi," aku Pandu. Ia menoleh ke arah Aden yang masih duduk disebelah nya. "Lu mau kan Den ikut pulang bareng gue?"
Sebelum menjawab permintaan Pandu, terlebih dahulu Aden menatap sekilas ke arah ibu Veronica. Tatapan matanya seolah meminta pendapat dari ibu Veronica.
Peka dengan maksud Aden, ibu Veronica mengganggukkan kepalanya agar Aden mengabulkan permintaan Pandu.
Aden menoleh ke arah Pandu, seraya berkata, "iya udah, mau."
Ibu Veronica melihat arloji yang melingkar di pergelangannya, "Kalo gitu kalian siap-siap dulu, kita berangkat ke Bandara sama-sama buat jemput papi kamu." Usul ibu Veronica.
"Yaudah Pandu cuci muka dulu," Pandu bangkit dari duduknya sambil tangannya meraih pergelangan Aden. "Bareng aja ke kamar mandinya biar cepet." Usul Pandu.
Tarikan tangan Pandu secara otomatis membuat Aden juga berdiri dari duduknya. Ia menatap sekilas ke arah ibu Veronica seraya berkata. "Aden juga ke kamar mandi ya bu," pamit Aden yang dijawab dengan anggukan kepala sama ibu Veronica.
"Mami tunggu sini." Ucap Pandu yang sudah berdiri bersama Aden.
"Yaudah sana, mami tunggu."
Ibu Veronica tersenyum senyum simpul, melihat Pandu dan Aden yang sedang berjalan keluar kamar. Keduanya akan menuju kamar mandi yang letaknya berada di luar kamar kos mereka.
Setelah Aden dan Pandu sudah tidak terlihat lagi, ibu Veronica bangkit dari duduknya. Ia kembali mengedarkan pandangannya di sekitar kamar kos. Ibu Veronica menggeleng heran saat melihat keadaan kamar kos anaknya yang sangat berantakan. Kertas kado berserakan di mana-mana, dan beberapa hadiah pemberian dari teman-teman Pandu juga masih tergeletak di sembarang tempat.
Ibu Veronica menyipitkan mata, kedua alisnya menyatu kala pandangannya menangkap benda kecil berbentuk kotak. Benda itu membuat perhatian ibu Veronica langsung terfokus ke arah benda yang aepertinya ia tahu itu apa. Ibu Veronica berjongkok, tangannya mengulur untuk meraih benda yang menurutnya aneh, jika benda itu berada di dalam kosan anaknya.
Deg!!
"Ah," Ibu Veronica terkejut, telapak tangannya memegangi dada, dan wajahnya berubah menjadi tegang, saat benda yang membuatnya penasaran itu sudah berada di tangannya.
"Astaga! Apa ini?" Ucap ibu Veronica saat ia yakin jika benda itu adalah alat kontrasepsi.
Bagaimana mungkin benda seperti itu ada di kamar mereka? apa yang sudah mereka lakukan? apa Aden kebabalasan? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di pikiran ibu Veronica.
Ibu Veronica menelan ludahnya susah payah, barang bukti yang sudah ia pegang, kondisi kamar yang acak-acakkan membuat otaknya sulit untuk tidak berpikiran negative. Ibu Veronica memejamkan mata sambil berpikir, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya ia hembuskan secara kasar. Ibu Veronica kemudian buru-buru memasukan benda itu kedalam tas jinjingnya. Sepertinya, wanita elegan itu butuh penjelasan.
~♡♡♡~
Saat ini Aden, Pandu, pak Arlan dan ibu Veronica sedang menyantap makan malam di ruang makan milik keluarga ibu Veronica. Sejak makan malam itu berlangsung, tidak ada satupun dari mereka yang membuka suara, hanya pergulatan antara piring dan sendok saja yang terdengar di ruang makan itu. Mereka nampak fokus menikmati menu makanan, hingga makan malam mereka selesai.
Pandu meletakan sendok dan garpu di atas piring, meneguk segelas air mineral hingga tandas, untuk mengakhiri makan malamnya.
Hal serupa pun dilakukan oleh Aden. Ia juga sudah menghabiskan makan malam dan diakhiri dengan meminum segelas air mineral.
Kedua telapak tangan Pandu mendorong piring yang baru saja ia gunakan untuk makan. Ia beranjak dari duduknya seraya berkata, "pi... mi... Pandu sama Aden ke kamar ya, papi istirahat aja dulu, pasti capek kan?" Ucap Pandu sambil menatap ayah dan ibunya secara bergantian.
"Ndu... Den..." ucap pak Arlan yang membuat Pandu dan Aden mengurungkan niatnya untuk meninggalkan meja makan.
Ngomong-ngomong soal pak Arlan, ia sudah mengenal baik siapa Aden. Ibu Veronica sudah banyak bercerita tentang siapa penjual cilok itu, saat pak Arlan masih berada di luar negeri. Hanya saja pak Arlan masih berpura-pura tidak mengenali Aden, saat mereka bertemu di bandara. Tujuannya supaya tidak membuat Pandu menaruh curiga.
"Nanti dulu lah ke kamarnya, papi mau bicara sebentar," pinta Pak Arlan yang langsung dituruti oleh Pandu dan juga Aden.
"Mau ngomong apaan sih pi?" Tanya Pandu setelah ia sudah duduk kembali di tempatnya. Begitupun dengan Aden.
Pak Arlan dan ibu Veronica meneguk air mineral yang ada di hadapan mereka, selesai menghabiskan segelas air, pak Arlan melipat kedua tangannya di atas meja. Manik matanya melirik sekilas ke arah Aden, lalu berhenti ke arah putra kesayangannya.
"Kamu nggak kangen sama papi? hampir satu bulan lho kita nggak ketemu. Kalo diajak video call alasan mu selalu saja sibuk." Gerutu pak Arlan yang ditanggapi nyengir kuda sama Pandu.
Pandu memang begitu, boro-boro video call, pesan whatsapp pak Arlan juga jarang dibalas. Tapi meskipun begitu, sebagai anak, Pandu tetap menyayangi ayahnya. Ia juga sangat kangen sama pak Arlan lantaran hampir sebulan mereka tidak bertemu.
"Sory pi, Pandu kan bukan anak kecil lagi, malu lah, lagian papi kalo ngajak VC nggak tau tempat." Ujar Pandu beralasan.
Aden yang duduk di sebelah Pandu hanya diam saja, ia juga bingung mau ngomong apa. Diam adalah pilihan yang tepat buat Aden. Tapi ia menyimak.
"Alasan aja kamu itu, ohiya malam ini kamu tidur sama papi sama mami ya? papi masih kangen sama kamu. Papi pingin ngobrol banyak sama kamu." Ucap pak Arlan dengan santainya.
"Ah, nggak usah lebay deh pi," protes Pandu, menolak keinginan ayahnya. Pandu sekilas melirik ke arah Aden yang masih anteng di sebelahnya, lalu kembali menoleh ke ayahnya. "Pandu udah gede pi, masak masih dikelonin? kan malu. Lagian juga udah ketemu ini."
Sebenarnya kalimat itu hanya alasan Pandu saja, cuma untuk menggagalkan rencana ayahnya yang ingin mengajaknya tidur bersama. Pandu sudah terbiasa tidur dalam pelukan Aden, dan kecupan di keningnya dari Aden sudah menjadi kebiasaan wajib untuk mengantarkannya tidur. Tanpa itu, Pandu tidak akan bisa tidur nyenyak.
"Ada temen Pandu juga pi, nggak enak kalo disuruh tidur sendiri," lanjut Pandu memperkuat alasannya.
Pak Arlan bangkit dari duduknya, ia menarik lengan Pandu, memaksanya untuk berdiri. "Nggak ada alasan, pokonya malam ini papi pingin tidur sama kamu." Tegas pak Arlan. Ia menoleh ke arah Aden yang masih duduk di tempatnya, "Aden nggak papa kan tidur sendiri di kamar Pandu? Om masih kangen sama anak om."
"I-iya nggak papa pak," jawab Aden gugup. Aden tidak mungkin berani mencegah keinginan ayahnya Pandu. Walaupun sebenarnya ia juga sudah terbisa tidur sambil memeluk Pandu.
"Tuh kan, Aden nya juga nggak papa. Cuma malam ini saja," pak Arlan mengalukan tangannya di pundak Pandu, lalu menyeretnya supaya berjalan mengikuti langkahnya.
"Tapi pi_" protes Pandu.
"Nggak ada tapi-tapian," sergah pak Arlan.
Akhirnya, meski dengan terpaksa Pandu mengikuti keinginan pria yang ia panggil papi tadi, untuk tidur bersamanya.
Sementara Aden hanya bisa diam, wajahnya yang datar menatap tidak ikhlas ke arah Pandu yang sedang berjalan sambil dirangkul oleh ayahnya.
"Kalian duluan, nanti mami nyusul." Ucap ibu Veronica setengah berteriak, lantaran suami dan anaknya sudah berjalan melewati anak tangga.
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, mau tidak mau malam ini Pandu harus bisa diajak tidur bersama ibu Veronica, dan Pak Arlan. Sementara pak Arlan mengajak Pandu mengobrol sebelum mereka tidur, ibu Veronica akan mengajak Aden berbicara soal alat kontrasepsi yang ia temukan di kamar kos anaknya.
Ibu Veronica menatap lurus kearah Aden yang masih duduk di tempatnya, membuang napas lembut sebelum akhirnya ia mulai berbicara.
"Den..." panggil ibu Veronica selembut mungkin. "Kamu belum ngantuk kan?"
"Em... belum bu, kenapa emangnya?" Tanya Aden heran.
"Nggak papa, ada yang pingin ibu bicarakan sama kamu."
"Apa soal Pandu?" Tebak Aden.
Ibu Veronica berusaha bersikap sebijak mungkin supaya tidak membuat Aden canggung. Senyum keibuan terbit di bibir merahnya.
"Aden tunggu dulu di ruang keluarga, nanti ibu nyusul kesana." Pinta ibu Veronica.
Aden mengerutkan wajah, entah kenapa? tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak. "Iya bu."
~♡♡♡~
Deg!!!
Aden terkejut, raut wajahnya menjadi pucat, dan sekujur tubuhnya terasa sangat lemas. Bagai mana tidak? alat kontrasepsi, atau kado pemberian dari Lukman, saat ini sudah berada di atas meja, persis di hadapannya Aden terkejut lantaran yang meletakan alat kontrasepsi di atas meja itu adalah ibu Veronica. Bagaimana benda itu bisa berada di tangan ibu Veronica?
"Den, kamu tau itu apa?" Ibu Veronica mengangkat kaki kiri, lalu meletakan di atas kaki kaki kanannya. Duduk bersilang menatap lurus ke arah Aden yang sedang duduk di depannya, di sofa berbeda dan terhalang oleh meja pendek berbentuk persegi empat. "Tadi ibu nemu itu di kamar kos kalian, pas kalian lagi ke kamar mandi." Ujar bu Veronica menjawab pertanyaan Aden yang masih dalam pikirannya, sepertinya ibu Veronica tahu apa yang sedang dipikirkan sama Aden.
"I-itu... itu..." ucap Aden gugup, kedua telapak tangannya ia satukan untuk mengurangi rasa gugupnya. Ia benar-benar terpojok, meski ia belum memakai alat itu, tapi tetap saja Aden tidak bisa menutupi salah tingkahnya.
"Sekarang coba kamu jelasin sama ibu, gimana benda seperti itu bisa ada di kosan kalian?" Cecar ibu Veronica, akan tetapi ia berusaha berbicara sepelan mungkin. Ibu Verronica sudah hapal bagaimana polosnya Aden, sehingga ia ingin suapaya Aden bisa tenang menjelaskan semuanya.
Aden merunduk, ia belum berani menatap ibu Veronica, sebenarnya banyak sekali yang ingin Aden jelaskan, tapi sayang lidahnya terasa keluh saat berhadapan dengan ibu Veronica.
Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya ibu Veronica menghembuskan secara perlahan. Sedikitpun ibu Veronica tidak ada perasaan marah terhadap Aden. Justru ia merasa bersalah kepada penjual cilok itu. Karena bagaimanapun ibu Veronica lah yang sudah melibatkan Aden dalam masalahnya, niatnya hanya untuk berpura-pura supaya anak kesayangannya bahagia dan mempunyai semangat hidup. Jadi kalau sampai Aden terbawa arus, atau lebih tepatnya jadi belok seperti Pandu, maka ibu Veronica tidak akan memafkan dirinya sendiri.
Ibu Veronica hanya mencoba untuk berpikir bijak.
"Aden... kamu enggak kelepasan kan?"
"Kelepasan gimana bu?" Tanya Aden. Ia mulai berani mengangkat wajahnya, bertatapan dengan ibu Veronica.
Perasaan Aden mulai membaik saat ia melihat tidak ada tanda-tanda ke marahan di raut wajah ibu Veronica.
"Eum... maksud ibu itu benda seperti itu kenapa bisa ada di kamar kalian? ibu cuma khawatir kamu kebalabasan." Jelas ibu Veronica. "Kamu harus inget Aden, kamu cuma pura-pura. Kamu nggak boleh kelewat batas, jangan sampai kamu juga suka sama Pandu. Kamu juga jangan kasih Pandu harapan." Imbuh ibu Veronica memperjelas maksdunya.
"Sebenarnya itu temen Aden yang iseng bu, ngasih itu buat kado ulang tahun. Tapi Aden belum make kok bu_"
"Maksudnya belum make?" Potong ibu Veronica, ia terkejut dengan pernyataan polos Aden.
"Maksudnya Aden nggak mungkin make." Ralat Aden. Setelah itu ia membuang napas lega.
Menarik napas dalam-dalam, lalu ibu Veronica hembuskan secara perlahan. Kepolosan Aden membuat ia merasa lega. "Tapi kamu enggak suka suka sama Pandu kan?" Selidik ibu Veronica.
"Ah...?" Pertanyaan ibu Veronica membuat Aden sedikit gugup. Karena sebenarnya ia sudah merasa yakin bahwa dirinya menyayangi Pandu. Ia baru menyadari setelah prank dari Pandu. Aden sadar kalau ia takut kehilangan Pandu. "Eng... enggak kok bu."
Tentu saja Aden berbohong, ia tidak mungkin mengakui, ia khawatir jika ibu Veronica tahu kalo Aden juga mulai menyukai Pandu. Bahkan sangat sayang.
Ibu Veronica menarik kedua ujung bibirnya, menerbitkan senyum kelegaan setelah mendengar pengakuan Aden.
"Syukurlah, ibu seneng dengernya. Jangan berubah ya... tetep jadi Aden yang dulu. Jangan kecewakan ibu. Ibu janji bakal sekolahkan kamu sampai perguruan tinggi. Ibu juga udah bilang sama papi nya Pandu."
Ucapan ibu Veronica benar-benar membuat Aden merasa sangat bahagia, hingga ia tidak mampu untuk menahan senyum. Rasanya seperti mimpi. "Terima kasih bu."
Ibu Veronica hanya tersenyum simpul.
"Ohiya bu, Aden mau tanya."
"Tanya apa Den?"
"Kalo nanti Pandu sudah sehat, udah dapet pendonor apa saya masih sama Pandu terus?"
Kalo boleh jujur Aden merasa gelisah dengan jawaban yang akan diberikan Veronica.
"Kamu tenang aja, ibu sama papi nya Pandu sudah mikirin ini jauh-jauh hari. Rencana kalau nanti Pandu sudah benar-benar sehat, kami akan pindah keluar negeri."
Deg!
Apa? Luar negeri? Yang Aden takutkan ternyata benar, jawaban dari ibu Veronica seperti mendung yang tiba-tiba menyelimuti hatinya, terasa gelap dan hampa.
Menelan ludahnya susah payah, Aden menegaskan pernyataan ibu Veronica, "lu... luar negeri?" Ucap Aden gugup.
Ibu Veronica mengangguk, dan bibirnya tersenyum simpul. "Iya... tapi inget, jangan beritahu soal ini sama Pandu. Tapi Aden jangan khawatir meski kami nanti di luar negeri, ibu sama papinya Pandu bakal tetep kuliahin kamu."
Kabar bahagia soal kuliah, tiba-tiba saja menjadi kabar yang sangat menyedihkan. Tidak apa-apa tidak kuliah, yang penting bisa selalu dekat dengan Pandu. Tapi sayang keinginan Aden sepertinya hanya sebuah harapan yang akan menjadi asa.
Namun meskipun begitu, di hadapan ibu Veronica, Aden berusaha untuk tetap bisa tersenyum, meskipun senyuman itu palsu. "Iya... bu, Aden nggak akan bilang Pandu." Ucap Aden lesu, dan lambat laun senyum palsu Aden memudar, hingga akhirnya senyum itu benar-benar menghilang dari bibirnya.