Pandu dan Aden sudah berada di pojok sekolah, tempat dimana Lukman dulu pernah mengungkapkan perasaannya kepada Tristan. Tepatnya di dekat toilet yang sudah tidak pernah digunakan lagi.
Tempat itu memang paling sepi, paling aman untuk membicarakan sesuatu yang penting supaya tidak didengar oleh orang lain.
Pandu menyandarkan punggungnya di tembok. Ia berdiri menggunakan satu kaki, karena kaki sebelahnya ia tekuk, menempelkan telapak kakinya di tembok.
"Mau jelasin apa lagi lu?" Tanya Pandu. Wajahnya masih terlihat sinis. Telapak tangannya merogoh kantung serangamnya, guna mengambil sebungkus rokok yang ia simpan disana. Mengambil sebatang rokok, lalu menyalakan menggunakan pematik.
Pandu sengaja melakukan itu di depan Aden, sebagai bentuk perotes. Ia ingin menunjukan kepada Aden bahwa ia tidak mau lagi mendengarkan kata-kata atau nasehat Aden, yang menurutnya hanya sandiwara semata.
Untuk kali ini Aden hanya bisa diam, ia sengaja membiarkan Pandu merokok di depannya. Ia tidak mau menambah keributan yang pasti akan membuat kesalahpahaman tidak kunjung usai.
Jadi biarkan saja dulu Pandu melakukan apa yang ia mau, karena yang terpenting baginya masalahnya harus cepat diselesaikan.
"Buruan ngomong," tegur Pandu lantaran Aden masih saja diam sambil menatapnya teduh. "Gue nggak ada waktu buat lama-lama sama lu."
Pandu mengeluarkan asap rokok tepat di wajah Aden, membuat Aden harus menggunakan telapak tangannya untuk menyingkirkan asap-asap rokok yang beterbangan tepat di depan wajahnya.
Menarik napas dalam-dalam, Aden menghembuskan secara perlahan. "Ndu aku mau minta maaf sama kamu, aku ngerti aku salah, tapi aku cuma pingin kamu sehat. Kamu juga nggak harus marah sama mami kamu, dia itu sayang banget sama kamu. Dia nggak mau kehilangan kamu."
Pandu mendesis, tersenyum sinis ke arah Aden. Menghisap rokoknya yang masih panjang, lalu menggunakan jari tengah dan ibu jari, untuk menyentil putung rokok hingga terpental entah kemana. "Trus gue musti gimana? bilang makasih sama nyokap gue? bilang makasih juga ke elu karena udah ngasih gue kesempatan buat bertahan hidup sampai sekarang?"
Mendongakkan kepala, Pandu menyembunyikan bola matanya yang hampir berkaca-kaca. Ia mengkerjab - kerjabkan matanya supaya air yang akan membuat bola matanya berkaca tidak jadi keluar. Pandu tidak ingin terlihat lemah dihadapan Aden.
Tapi kenyataannya ia tidak mampu, hatinya terlalu sakit, membuat air matanya tidak mau diajak bekerja sama agar tidak keluar dulu. Oleh sebab itu ia pasrah, membiarkan air matanya yang bandel, memenuhi bola matanya.
"Makasih lu udah kasih kesempatan buat bikin gue seneng. Makasih lu udah mau gue peluk_" ucapan Pandu terjedah, ia menelan ludahnya susah payah, sambil menahan sesak di dadanya. "- Makasih juga lu udah rela ngasih bibir lu buat gue cium. Se genggaknya gue udah bisa ngerasain itu sebelum gue mati."
Pandu memejamkan mata, sehingga genangan air yang terkumpul di bola matanya, lolos begitu saja menerobos pelupuk mata.
Ada rasa nyeri di hati Aden, kala ia melihat air mata Pandu mengalir begitu saja. Aden tidak ingin melihat Pandu menangis.
"Ndu..." ucap Aden dengan lembut, tangannya mengulur untuk meraih pergelangan Pandu. Tapi sayang, Pandu menepisnya.
"Udah cukup, jangan sakitin gue lagi," ucap Pandu setelah menepis tangan Aden. "Nggak usah drama depan gue, nggak ngaruh!" Tegas Pandu, setelah itu ia mengusap air matanya menggunakan punggung tangan.
"Tapi kamu mau maafin aku kan?" Mohon Aden.
"Bayaran dari nyokap gue cukup kan?" Ucap Pandu tanpa menjawab permintaan maaf Aden. "Kalo kurang ntar gue tambahin." Sindir Pandu, dengan nada meremehkan.
"Kamu ngomong apa sih Ndu? aku nggak kayak gitu. Kamu udah salah paham sama aku." Jelas Aden. Tuduhan Pandu memang benar-benar menusuk jantungnya.
Penjelasan dari Aden sama sekali tidak berpengaruh apapun buat Pandu. Ia sudah melihat, dan mendengar semuanya. Justru penjelasan Aden membuat Pandu tertawa singkat, tertawa dengan nada mengejek.
"Udah nggak usah akting lagi depan gue. Muka polos lu udah nggak bisa nipu gue lagi," tandas Pandu.
"Aku nggak lagi akting, aku serius. Kamu salah paham sama aku." Tegas Aden.
"Munafik lu, lu nggak ngerti gimana sakitnya hati gue akibat akting lu. Lu udah mainin perasaan gue! Di saat gue lagi seneng-seneng nya karena gue kira lu beneran suka sama gue, tapi lu sama orang tua gue hancurin gitu aja kebahagiaan gue. Disaat lu udah bikin gue melambung tinggi, trus tanpa punya perasaan, lu main banting gitu aja. Sakit tau nggak sih?!" Pandu menghela napas panjang sebelum akhirnya ia melanjutkan.
Sementara Aden baru bisa diam, sambil memikirkan cara supaya Pandu percaya dengannya. Tapi tidak bisa dipungkiri, semua tuduhan Pandu membuat hatinya terasa sakit.
"-Buat lu mungkin itu biasa, mungkin juga aneh, soalnya lu kan nggak sakit kaya gue, lu normal! Tapi buat gue, itu sakit banget tau nggak sih. Gue emang gay, tapi gue punya perasaan yang pingin dihargai, gue juga bisa sakit hati kalo lu permainin. Gue pernah bilang sama elu, kalo lu enggak suka sama gue lu ngejauh dari gue, itu lebih baik dari pada elu permainin perasaan gue. Se enggaknya gue jadi bisa mati dengan tenang, nggak barus ke siksa dulu kayak gini. Dan gue udah pernah bilang sama elu kan? kalo sampe itu terjadi, gue nggak akan bisa maafin elu, dan diri gue sendiri!"
Mendengar penuturan Pandu bola mata Aden melebar, ia menelan ludahnya susah payah.
"Udah cukup!" Potong Aden, " jangan ngomong terus. Aku capek dengernya." Ucapnya dengan punggung yang naik turun. Kata-kata Pandu membuat dadanya terasa sangat sesak. "Aku... beneran suka sama kamu, aku sayang sama kamu, aku nggak mau kehilangan kamu." Ungkap Aden, raut wajahnya terlihat sangat tulus.
"Belum selesai dramanya?" Cibir Pandu. Ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan sama Aden barusan. "Dikasih duit berapa lagi sama nyokap gue? yang kemaren masih kurang? Lu tau nggak sih? gue ngerasa nggak punya harga diri. Orang tua gue sendiri yang nyewa pelacur buat anaknya, bayarin pelacur buat kesenangan gue. Jadi ngerasa punya simpanan gue, keluarain duit buat kesenangan gue." Pandu terdiam, ia menatap Aden dengan tatapan penuh selidik. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu.
"Jangan-jangan, lu juga pernah dibayar sama tante Inggrid, lu pernah layanin tante Inggrid trus dibayar sama dia?" Astaga! Demi apapun, Pandu sangat sakit mengatakan itu. Sekedar membayangkan pun Pandu tidak akan pernah sudi.
Aden melepas kancing seragam bagian atas, lehernya seperti tercekik mendengar semua tuduhan Pandu yang membuat ia semakin sulit untuk bernapas, Aden benar-benar membutuhkan napas bantuan.
"Jawab! Lu pernah kan sama tante Inggrid?" Tanya Pandu dengan nada tinggi.
"Enggak!" Tegas Aden, ia juga menaikan nada suaranya. Hatinya sudah tidak mau diajak bersabar lagi. "Harus gimna sih aku jelasin sama kamu? Kamu mau bukti apa biar kamu percaya kalo aku beneran, suka sama kamu?! Kamu itu ngayel keras kepala? Aku suka sama kamu!! Aku nggak pernah hubungan sama tante Inggrid." Jelas Aden. Ia masih berbicara dengan nada suara yang tinggi.
"Atau jangan-jangan nyokap gue yang udah nolongin elu dari tante Inggrid." Selidik Pandu tanpa mendengarkan kata-kata Aden barusan.
Deg!!
Masih ada satu kebohongan yang Aden lupakan, dan itu membuat Aden tercekat, saat Pandu menanyakan nya.
"Jawab!!" Bentak Pandu.
Aden hanya bisa melebarkan mata, menelan ludahnya susah payah. Aden terdiam dan tidak mampu mengatakan apapun.
Fix! Diamnya Aden membuat Pandu semakin yakin, kalau tuduhannya itu benar adanya.
"Niat banget ya kalian buat nyakitin gue! Lu itu TAI!! BERENGSEK!!" Murka Pandu sambil mendorong tubuh Aden hingga jatuh tersungkur.
Tanpa memperdulikan Aden, Pandu berlalu, pergi meninggalkan Aden dengan membawa rasa ke kecewaannya.