~selamat membaca~
Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Aden menghembuskan secara perlahan. "Maaf Nin, aku nggak bisa," tolak Aden, suaranya terdengar pelan namun tegas.
Jawaban Aden membuat Nina terdiam, mulutnya seperti digembok, tidak mampu berkata apapun. Ternyata menaklukan Aden tidak semudah yang ia bayangkan. Ia nekat, rela merendahkan dirinya sebagai seorang cewek, dengan menembak seroang cowok, namun sayang hasilnya ia ditolak.
Bahkan Aden berani terang-terangan menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak menyukai Nina. Aden juga seperti memasang dinding untuk Nina agar tidak lagi berharap padanya. Bukannya Aden sombong, tapi ia memang sama sekali tidak menyukai dara cantik yang sudah terang-terangan menyatakan cinta kepadanya.
Memang rumit, sebagai seorang laki-laki tentu saja Aden senang ada seorang cewek yang berani menembaknya. Jika boleh jujur, hasrat syahwat Aden sebagai laki-laki normal, tentunya lebih tinggi kepada seorang wanita, dari pada ke sesama pria. Tapi sayang, hatinya seperti tidak mengijinkan jika tubuhnya harus diberikan kepada orang yang tidak ia cintai.
Hatinya sudah terlanjur sangat menyayangi sesorang, meskipun yang disayanginya itu mempunyai jenis kelamin yang sama dengannya.
Aden tidak mau menyakiti 'dia' lagi. Ia lebih mengikuti kata hatinya, karena ia merasa, hatinya lebih tahu siapa yang lebih pantas untuk mendapatkan cintanya.
Sementara Nina hanya bisa bengong, sambil menelan mentah-mentah rasa kecewanya.
Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur ia katakan, merunduk guna menyembunyikan wajahnya dari Aden adalah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk menutupi rasa sedih bercampur sakit hati.
Aden terlalu ganteng, tapi sangat pendiam, dan tidak peka. Jadi jangan salahkan Nina jika ia terpaksa harus lebih agresif untuk memulai lebih dulu. Meskipun Nina sadar, jika ia adalah seorang wanita yang harusnya pantang untuk menyatakan cinta lebih dulu kepada seorang pria. Tapi Nina gadis yang berpikiran moderen, ia tidak mau memakai cara seperti itu.
Tapi jangan salahkan Aden juga jika tidak bisa menerima cinta Nina. Mau bagaimana lagi? hatinya sudah ia berikan hanya untuk Pandu seorang.
"Aku cuma enggak mau nyakitin kamu Nin. Buat apa aku maksain pacaran sama kamu kalo aku nggak cinta. Nanti ujung-ujungnya bakal nyakitin kamu, aku juga nggak akan bisa tenang."
Apa yang sudah pernah Aden lakukan sama Pandu, ternyata menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga. Aden tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Lagipula Aden juga sudah sangat menyayangi Pandu sekarang. Meskipun itu berawal dari kepura-puraan, tapi tidak bisa ia pungkiri jika sekarang hatinya itu sudah mentok sama Pandu. Tidak mau berpaling lagi.
Suara isakkan mulai terdengar pelan dari mulut Nina. Secara perlahan ia mengangkat wajahnya, bola matanya yang sudah berkaca ia beranikan menatap Aden yang berada tepat di depan wajahnya.
"Apa... lu udah punya pacar?" Tanya Nina ditengah isakkannya. "Sehingga lu nolak buat jadi pacar gue?" Nina menggunakan punggung telunjuk nya untuk menyeka air mata yang hampir lolos melewati pelupuk matanya.
Pertanyaan Nina membuat Aden menghela napas, Aden bingung apa ia harus bicara jujur sama Nina kalau ia sangat menyayangi Pandu. Ia terdiam, memikirkan kosakata yang tepat untuk menjelaskan nya kepada Nina. Tapi ternyata meskipun polos, Aden masih bisa berpikir jernih untuk tidak terang-terangan memberitahu Nina tentang siapa yang sudah membuat dirinya menolak gadis secantik Nina.
"Iya... aku udah punya pacar," Aden hanya bisa menjawab sekenanya. Ia berharap Nina bisa mengerti.
Bodoh. Nina merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia tidak menyelidiki Aden terlebih dahulu sebelum ia memutuskan untuk menembak Aden. Hasilnya, sakit hatinya jadi bertambah sekarang. Tapi sejauh ini Nina memang tidak pernah melihat Aden dekat dengan cewek manapun.
"Siapa? apa anak sekolah sini juga? apa dia lebih cantik dari gue?" Cecer Nina.
Aden tersenyum, tapi sangat tipis dan hampir tidak terlihat. Pertanyaan Nina membuat ia menertawakan dirinya sendiri, lantaran orang yang ia sayangi sama sekali tidak cantik, tapi ganteng, sama seperti dirinya. Aneh, tapi itu kenyataannya. Lucu memang, disaat ada cewek cantik yang terang-terangan menginginkan jadi pacarnya, tapi hatinya justru malah lebih condong memilih cowok yang sebelumnya tidak pernah Aden bayangkan sama sekali.
"Kayaknya aku nggak bisa kasih tau sama kamu siapa dia. Maaf," jawab Aden.
"Tapi gue penasaran, secantik apa sih orang itu. Gue pingin tau kenapa lu lebih milih dia ketimbang gue." Nina tidak sedang sombong. Ia memang cantik, bahkan sangat cantik. Nina juga salah satu wanita yang sering digoda sama anak-anak cowok. Dulu Lukman juga sempat naksir sama Nina, cuma karena Nina tidak mengejar-ngejar Pandu, sehingga Lukman tidak mau mendekatinya.
Jadi wajar saja jika Nina terlalu percaya diri untuk menyatakan cinta sama Aden. Ia merasa punya modal untuk itu.
"Dia enggak cantik kok. Malah kamu lebih cantik dari dia, pokoknya dia nggak ada apa-apanya dibanding kecantikan kamu." Jelas Aden.
Jawaban Aden tentu saja membuat Nina menjadi semakin penasaran. Tidak cantik, dan bahkan tidak lebih cantik dari Nina. Lalu apa yang membuat Aden mempertahankan 'dia'? hal itu yang membuat Nina menjadi tidak terima sama keputusan Aden.
"Trus kalo gue lebih cantik dari dia, kenapa lu nolak gue? Kenapa lu nggak mau terima gue?"
"Soalnya aku sayang banget sama dia," jawab Aden. Raut wajahnya juga terlihat sangat tulus saat ia mengatakan itu. Nina juga bisa melihat ketulusan itu diraut wajah Aden. "Dia udah banyak berkorban sama aku, dia juga rela ninggalin semua demi aku. Yah walopun sekarang dia lagi marah sama aku, tapi aku yakin kok, dia masih sayang sama aku."
"Oh... lu lagi marahan sama pacar lu?" Tanya Nina, tatapan matanya menatap Aden dengan tatapan penuh selidik.
Aden menganggukan kepalanya seraya berkata, "Iya dia lagi marah sama aku." Jawab Aden, wajahnya berubah menjadi sedih saat teringat kembali kemarahan Pandu.
Menggunakan kedua telapak tangannya, Nina membersihkan sisa-sisah air mata di wajahnya. Senyum simpul terbit dari bibir merah alaminya. "Jangan sedih, gue bisa hibur elu. Plis kasih kesempatan buat gue. Gue bisa buktiin sama elu, gue bisa kok gantiin dia, dan gue nggak akan pernah marah sama elu."
Ternyata Nina bukan type gadis yang gampang menyerah. Ia masih berusaha supaya Aden bisa menerimanya menjadi pacar. Curahtan Aden yang secara tidak langsung barusan, Nina jadikan kesempatan untuk kembali masuk, menggantikan posisi pacar Aden yang sedang marah.
"Maaf Nin, aku nggak bisa. Kan aku udah bilang aku udah punya pacar. Aku sayang banget sama pacarku." Tolak Aden kembali.
"Iya gue tau, tapi lu lagi marahan sama pacar lu. Elu butuh gue buat ngehibur elu. Gue rela kok jadi pacar kedua elu," sebenarnya itu hanya trik Nina saja, tidak apa-apa menjadi yang kedua, tapi ia akan berusaha agar selalu di nomor satukan sama Aden.
Nina memang sudah lama naksir sama Aden, cuma dulu ia masih merasa gengsi lantaran Aden tukang berjualan cilok dan tidak sekolah. Tapi sekarang keadaan sudah berbeda, Aden sudah jadi anak sekolahan, meski masih berjualan cilok, tapi di dalam kantin. Kastanya beda. Pikir Nina. Selain itu Aden juga terlihat jauh lebih ganteng sekarang. Nina tidak mau menyerah begitu saja. Ia sudah terlanjur basah menyatakan cinta, jadi sekalian saja nyebur biar semakin basah.
Pernyataan Nina membuat Aden menelan ludahnya susah payah. Kenapa ada cewek semacam ini? Nekat, dan sangat berani. Di kampungnya ia tidak pernah melihat cewek seagresif Nina.
"Maksudnya selingkuh gitu?" Tanya Aden polos.
"Gue cuma pingin buktiin ke elu kalo gue beneran suka sama elu. Gue janji, gue bakal bikin elu seneng." Jawab Nina penuh kesungguhan.
Aden mendengkus, ia terlihat putus asa menghadapi cewek seperti Nina. "Maaf Nin, aku bener-bener nggak bisa_" Aden menggantungkan kalimatnya, ia terlihat sedang mengingat sesuatu.
Sedangkan Nina menatap Aden dengan tatapan penuh harap. Ia sedang menunggu Aden supaya menyerah lalu mengatakan 'iya'.
"Lagian juga aku denger kamu masih pacaran sama anak kelas dua belas kan?" Tandas Aden. Ya, Aden baru ingat, ia tahu jika Nina sedang dekat dengan anak kelas dua belas, bahkan kedekatan Nina itu sering menjadi bahan gosip anak-anak perempuan. Lagipula mana mungkin cewek secantik Nina tidak punya pacar. Lalu apa maksudnya ia mendekati Aden?
"G-gue udah putus!" Jawab Nina gugup. "Gue lebih milih elu, elu baik dan nggak pernah aneh-aneh. Elu apa adanya, cowok model elu udah hampir punah di dunia ini. Dan gue beruntung kalo bisa deket sama elu." Ujar Nina.
Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Aden keluarkan secara secara perlahan. Astaga, Aden benar-benar lelah menghadapi Nina. Apa kata 'tidak' yang ia katakan berulang-berulang itu tidak bisa membuat Nina mengerti? harus dengan cara apa lagi Aden meyakinkan Nina jika ia benar-benar tidak bisa.
"Aku udah bilang berapa kali Nin? Aku enggak bisa." Tegas Aden.
"Tapi gue akan berusaha Den, gue nggak mau nyerah," Nina juga mengatakan itu dengan tegas. Penolakan Aden semakin membuat Nina penasaran dan tertantang. "Gue bakal bikin lu jadi suka sama gue."
Perjuangan Nina membuat Aden terbengong-bengong, ludahnya sampai habis ia telan karena heran dengan sifat Nina.
Bengongnya Aden dijadikan kesempatan sama Nina untuk mendekatkan wajahnya di pipi Aden. Beberapa detik kemudian cup bibir tipis Nina mendarat di pipi Aden, mendiamkannya beberapa detik di sana.
Deg!
Ciuman yang tiba-tiba membuat Aden terkejut. Bola matanya melebar, dan tubuh nya seperti tidak mampu digerakan lagi. Nina benar-benar membuktikan kalau ia tidak akan menyerah dan berhenti sampai di situ. Bahkan saat Nina sedang mencium pipi Aden suasana kantin masih sangat ramai. Beberapa pasang mata sempat melihat Nina saat sedang mencium Aden.
Termasuk Pandu, yang baru saja sampai di meja kantin kekuasaan mereka. Pandu juga dapat melihat dengan jelas adegan ciuman itu. Detik itu juga senyum Pandu memudar, dunianya seakan runtuh. Baru saja hatinya sudah melunak, dan merasa bahagia, tapi ada saja pemandangan yang mampu memporak-porandakan perasaannya kembali. Tubuh Pandu menjadi gemetaran, jemarinya mengepal bersamaan dengan rahangnya mengeras.
Pandu benar-benar Ingin marah, tapi sama siapa? sama Aden? tidak! itu hak Aden untuk suka sama siapapun. Atau marah sama Nina? itu juga tidak mungkin. Apa yang ia lakukan sama Nina? apa iya Pandu harus menyeret Nina, memaki dengan kata-kata kasar lalu menjambak rambut Nina. Itu juga tidak mungkin Pandu lakukan. Ia tidak akan mempermalukan dirinya sendiri di depan umum. Lagipula wajar saja jika Aden diam saja dicium sama Nina. Aden laki-laki normal, dan Nina gadis yang cantik. Aden pasti tidak kuasa menolak ciuman itu. Terkecuali jika Pandu juga berjenis kelamin wanita, maka akan lain ceritanya. Mungkin wajah mulus Nina sudah penuh dengan cakaran saat itu juga. Tapi Pandu laki-laki, ia bisa apa?
Yang bisa dilakukan Pandu saat itu hanya diam, menikmati rasa sakit di hatinya. Pandu mematung, tubuhnya terasa lemas, seperti tidak bertenaga.
Untuk melampiaskan sakit hatinya, Pandu hanya bisa mengumpat, memaki dirinya sendiri yang terlalu bodoh karena sudah diperbudak sama yang namanya cinta, dan rasa sayang yang terlalu berlebihan.
Bola matanya yang sudah berkaca, tidak berkedip menatap adegan ciuman yang sedang dilakukan Nina kepada Aden.
Pandu juga sepertinya sudah lelah marah-marah, energinya sudah habis terbuang.
"Bentar lagi kita jadian," bisik Nina di telinga Aden. Kemudian ia berjalan menjauh meninggalkan Aden sendirian.
Sementara Aden masih bengong sambil memegangi pipinya yang baru saja dicium sama Nina. Bola mata Aden menatap heran punggung Nina yang sudah berjalan menjauh setelah memberikan kecupan mesrah di pipinya.
Deg!
Jantung Aden hampir saja lepas dari tempatnya, saat bola matanya tidak sengaja melihat Pandu yang sedang berdiri menatapnya sambil di tepuk-tepuk lengannya sama Aldo dan juga Lukman. Aden sangat yakin sekali jika Pandu melihat adegan ciuman barusan. Tubuh Aden mendadak lemas, dan sepertinya kiamat sudah didepan mata, masalahnya akan semakin rumit.
"Ka... kalian liat sendiri kan?" Ucap Pandu dengan susah payah karena menahan rasa sakit bercampur kecewa di hatinya. "Makasih ya kalian udah repot-repot buat bikin aku seneng. Walapun cuma sementara."
Menggunakan telapak tangannya, dengan kasar Pandu mengusap air mata yang sulit sekali untuk dibendung. Pandu memutar tubuhnya, kakinya melangkah berjalan cepat meninggalkan Lukman dan yang lainnya.
"Pandu..." panggil Aldo.
Namun sayang Pandu tetap melanjutkan perjalanannya, ia pergi dengan membawa banyak rasa di hatinya. Rasa yang sama sekali tidak enak, dan membuat sakit.
Lukman dan Aldo juga hanya diam, ingin mengejar Pandu tapi mereka bingung. Apa yang harus dijelaskan lagi? bukti sudah di depan mata. Mengejar Pandu juga rasanya percuma, pasti akan membuat keadaan Pandu semakin tidak bagus. Mereka mematung dan hanya bisa diam, sambil menghela napas kecewa. Kecewa terhadap Aden.
~♡♡♡~
Bell tanda jam istirahat sudah berbunyi, semua murid-murid berhamburan, masuk ke kelasnya masing-masing.
Berbeda dengan Pandu dan Aden yang justru malah keluar halaman sekolah. Pandu berjalan cepat sambil mencangkolkan tas gendong di sebelah pundaknya. Ia memutuskan untuk pulang, tidak melanjutkan jam pelajaran berikutnya, lantaran ia tidak ingin melihat Aden lagi.
Sedangkan Aden berusaha untuk mengejar Pandu, wajahnya terlihat sangat panik.
Saat ini keduanya sudah berada di depan gerbang sekolah mereka. Suasana terlihat sepi karena semua siswa sudah masuk ke kelasnya masing-masing.
"Ndu... tolong berhenti dulu," ucap Aden sambil memegang lengan Pandu, lalu menariknya.
Tanpa menoleh ke arah Aden, dengan kasar Pandu mengibaskan telapak tangan Aden menggunakan lengannya. Ia kembali merapihkan tali tas gendongnya karena sempat tertarik sama Aden. Wajahnya terlihat angkuh, penuh kemarahan bercampur sedih.
"Pandu tolong dengerin aku, aku mau jelasin sama kamu." Mohon Aden sambil terus berjalan, mengekor di belakang Pandu, yang sama sekali tidak mempedulikannya.
Pandu menghentikan langkahnya, tapi bukan untuk mendengarkan Aden, melainkan untuk memanggil taksi yang tidak jauh dari tempatnya.
"Ndu... aku minta maaf, tolong jangan marah, aku sayang sama kamu." Ucap Aden dengan tulus. Wajahnya terlihat penuh harap supaya Pandu mau mendengarkannya. Aden memanfaatkan waktu yang sedang digunakan sama Pandu untuk menunggu taksinya sampai.
"Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Nina, tolong jangan salah paham. Aku nggak suka sama dia. Aku sayangnya sama kamu," aku Aden, ia berbicara sepelan mungkin.
Pandu memutar kepalanya, menoleh ke arah Aden yang sedang berdiri disampingnya. Ia membuka mulutnya, mencoba mengatakan sesuatu namun terasa sangat sulit, karena tertahan sama rasa sesak bercampur sakit di dadanya. Hanya wajah angkuh dan air mata yang sudah mengalir untuk mewakili kata-kata yang tidak mampu ia ucapkan. Lagi pula, tidak ada gunanya lagi berbicara sama Aden, semua sudah sangat jelas.
Secara perlahan Aden mengulurkan tangannya, meraih pergelangan Pandu. Namun sayang Pandu menepisnya.
"Aku harus gimana sih Ndu? supaya kamu percaya sama aku?" Dada Aden juga terasa sangat sesak, ia sudah kehabisan cara untuk membuktikan bahwa ia benar-benar sangat menyayangi Pandu. "Aku itu capek, apa kamu udah enggak sayang lagi sama aku?" Bola mata Aden mulai berkaca. Ia benar-benar lelah, kenapa sangat sulit sekali membuat Pandu agar percaya padanya.
Pandu hanya diam, ia menatap Aden dengan tatapan yang sulit diartikan. Air mata Aden yang sudah lolos melewati pelupuk mata Aden, tidak mampu membuat Pandu luluh. Ia sudah terlalu sakit, bisa saja itu air mata buaya atau akting. Pandu tidak mau tertipu lagi.
Tidak lama kemudian mobil taksi yang dipanggil sama Pandu barusan, sudah berhenti tepat di hadapan Pandu dan juga Aden. Kedatangan mobil taksi itu seperti akan membawa pergi harapan Aden.
Menggunakan kedua telapak tangan, Pandu membersihkan air mata yang sudah membasahi wajahnya. Tanpa berkata apapun, Pandu berjalan mendekati pintu taksi, meninggalkan Aden yang masih berharap banyak padanya.
"Pandu...!" Panggil Aden ditengah isakkannya.
Namun sayang, Pandu tidak mau menghiraukannya. Pandu membuka pintu taksi saat ia sudah berada persis di samping mobil taksi itu.
Aden berusaha mencegah Pandu, ia masih berusaha menahan Pandu agar tidak pergi. Adegan rebutan pintu mobil pun terjadi beberapa saat.
"MINGGIR!!" Bentak Pandu sambil mendorong kuat tubuh Aden, hingga mundur sampai beberapa langkah. Tidak mau menyiakan kesempatan, Pandu bergegas membuka pintu mobil dan menutup nya kembali saat ia sudah berada di dalam taksi.
"Pandu..." panggil Aden sambil berjalan cepat mendekati mobil taksi tersebut. Tapi sayang, saat ia sudah sampai di dekat taksi, taksinya sudah berjalan dengan cepat. Aden tidak mampu mengejar lantaran tubuhnya terasa sangat lemas. Ia hanya bisa mematung, punggungnya naik turun, dan bola matanya yang masih berkaca, menatap taksi yang sudah menjauh, membawa pergi harapannya.
Di dalam taksi, Pandu tidak henti-hentinya mengusap air mata yang tidak mau dibendung lagi. Kalau sudah menyangkut soal Aden, Pandu memang lemah dan cengeng.
~♡♡♡~
Di ruang makan, Ibu Veronica berpindah tempat duduk, mendekati Pandu yang sedang menikmati sarapannya.
"Ndu.... bukanya hari ini sekolah kamu libur ya, kenapa kamu pake seragam sekolah?" Tanya ibu Veronica. Ia merasa heran, beberapa hari setelah Pandu melihat Aden berciuman dengan Nina, Pandu memang tidak masuk sekolah, tapi giliran sekolahnya diliburkan kenapa Pandu malah berangkat sekolah?
"Mami mohon, kamu jangan kemana-mana, nanti sore jadwal kamu chek up," bujuk ibu Veronica selembut mungkin. "Nanti mami mau ketemu sama orang yang mau menjual ginjalnya, kamu mau kan ikut mami ketemu sama dia?"
Pandu menghentikan aktifitas sarapannya, ia mengambil segelas air mineral di depannya lalu meminumnya hingga tandas. Kepalanya menoleh ke arah wanita yang ia panggil mami.
"Pandu mau cuci darah, Pandu juga mau operasi ginjal, tapi ada syaratnya." Ucap Pandu.
Bibir ibu Veronica mengusung senyum, bola matanya terlihat berkaca. Ia benar -benar terharu mendengar keputusan Pandu. Setelah beberapa hari ia sempat khawatir lantaran Pandu selalu menolak melakukan terapi dan operasi ginjal. Tapi hari ini ia benar-benar terkejut. Itu adalah kabar yang sangat membahagiakan bagi ibu Veronica.
"Apa syaratnya?" Tanya ibu Veronica.
"Hari ini sekolah emang sengaja diliburin, soalnya ada pertandingan basket perpisahan yang diadaain sama anak kelas 12. Pandu pingin liat temen-temen Pandu main basket. Soalnya diliput sama mendia juga. Pandu pingin liat mereka menang."
Ibu Veronica terdiam, ia menatap wajah Pandu dengan tatapan penuh selidik. "Cuma liat doang kan?"
Pandu mengangguk pelan, "Iya mi, cuma liat. Lagian udah ada yang gantiin Pandu buat main basket."
Telapak tangan lembut ibu Veronica mengusap puncak kepala anaknya. "Yaudah kalo cuma liat aja, nanti mami sama papi jemput kamu di sekolah. Mama mohon, jangan bikin mami sedih ya."
Pandu menatap teduh wajah ibunya, ada rasa nyeri saat melihat bola mata ibu Veronica yang berbinar karena rasa bahagia.
"Iya mi," jawab Pandu pelan.
Senyum simpul terbit dari bibir bergincu milik ibu Veronica, rasa haru membuat ia tidak tahan untuk memeluk putra semata wayangnya.
"Terima kasih sayang, mami seneng dengernya." Ucap Ibu Veronica. Setelah itu ia memberikan ciuman di penuh kasih di puncak kepala anaknya.
Sementara Pandu hanya diam, wajahnya terlihat datar. Entah kenapa tiba-tiba saja bola matanya berkaca-kaca.