"Kenapa tiba-tiba lu berubah pikiran? Bukannya lu kemaren kabur habis lu nonjok gue." Entahlah, meski sangat senang dengan pernyataan Aden, tapi Pandu masih belum yakin. Ada sesuatu yang ia rasa seperti mengganjal di hatinya.
"Udah Pandu, aku teh beneran minta maaf. Kan aku udah bilang aku nyesel." Aden menghela napas panjang sebelum akhirnya ia melanjutkan. "Yaudah sekarang biar kamunya puas, kamu boleh gantian mukul aku."
"Nggak perlu," tolak Pandu. "Gue nggak mungkin nyakitin lu. Gue sayang sama lu." Suara Pandu benar-benar terdengar sangat tulus. Tiba-tiba saja bola matanya berkaca.
Aden mengulurkan tangannya, ibu jarinya menyentuh bagian kelopak mata Pandu lalu mengusap air mata Pandu yang hampir jatuh. "Kamu nggak pantes nangis." Ucapnya lembut.
Ini pertama kalinya Aden melihat Pandu mengeluarkan air mata. Tiba-tiba dadanya terasa sangat sesak, karena ia merasa bahwa air mata Pandu diperuntukan hanya untuk dirinya. "Pandu yang aku kenal tu enggak kayak gini. Pandu yang aku kenal itu kuat, di takutin sama temen-temen."
"Lu belum tau gimana gue, gue nggak sekuat yang orang liat. Lu tau kan? Gak ada yang sempurna di dunia ini. Semua pasti punya kekurangan. Orang yang kuat pasti punya titik kelemahan. Dan titik kelemahan gue itu elu." Aku Pandu dengan tulus.
Bola mata Aden melebar, mulutnya terbuka. Ada rasa nyeri yang menjalar di dalam hatinya. Pengakuan Pandu membuatnya menjadi serba salah, ia merasa ragu untuk melanjutkan niatnya.
Aden menghela napas lembut, semua sudah terlanjur, setidaknya ia bisa memberikan kebahagian buat Pandu walaupun tidak bisa membalas cintanya.
"Gue nggak bisa kalo udah menyangkut lu, gue lemah." Lanjut Pandu. "Gue juga nggak tau kenapa gue bisa sayang banget sama lu."
Bibir Aden mencoba tersenyum, tapi tipis. Ia kembali menyentuh pergelangan tangan Pandu. "Yaudah sekarang kamu kasih tau sama aku. Apa kamu lagi sakit?"
"Lu beneran peduli sama keadaan gue?"
Berdiri dari duduknya, Aden berjalan mengitari meja mendekati Pandu, kemudian ia duduk di dekat Pandu. "Aku kan sayang sama kamu, jelas aku perduli."
"Tapi kenapa lu jadi berubah gini sih?" Pandu menoleh ke arah Aden yang sudah duduk di samping sambil merangkul pundaknya. "Lu nggak lagi mainin perasaan gue kan?" Selidik Pandu.
Aden mendengus lelah, rasanya sulit sekali meyakinkan Pandu supaya percaya padanya. Aden membusungkan dada, lalu memukul dadanya sendiri sebanyak dua kali seraya berkata, "belahla... dadaku."
Akhirnya tingkah konyol Aden sukses membuat bibir Pandu meneribitkan senyum, meski masih ada sisa air di mata Pandu. Menggunakan punggung tangannya Pandu menghapus air matanya sendiri. "Bisa aja lu."
Lalu dengan sangat lembut telapak tangan Aden mengusap puncak kepala Pandu. "Yaudah sekarang kasih tau sama aku, apa kamu lagi sakit?"
"Lu beneran pingn tau?" Tanya Pandu yang dijawab anggukan kepala sama Aden.
Menarik napas panjang, kemudian Pandu lepaskan secara perlahan. Ia merunduk dan wajahnya berubah murung. "Lu inget pas lu keluar dari kosan? Nggak lama setelah itu nyokap gue dateng ke kosan."
"Hah!? Trus?" Potong Aden pura-pura terkejut.
"Tapi gue selamet, untungnya nyokap gue dateng pas lu pergi. Jadi dia nggak tau kalo kita berantem gegara gue nyium lu trus lu mukul gue."
Aden hanya biasa menelan ludah susah payah mendengar penuturan dari Pandu. Rasanya bener-bener aneh, soalnya Aden sudah tau semuanya.
"Tapi_" Pandu menggantungkan kalimatnya. Ia merasa berat memberitahu kepada Aden soal penyakit nya.
"Tapi apa?" Tanya Aden.
"Kata nyokap, gue di vonis ginjal kronis." Akhirnya Pandu bisa menghela napas lega setelah berhasil mengatakan yang sebenarnya kepada Aden.
Bingung. Ya Aden bingung bagaiman ia harus berekspresi. Pura-pura terkejut lagi rasanya terlalu berlebihan. Tapi ia merasa lega akhirnya Pandu mau menceritakan semuanya. Jadi dari situ, Aden jadi bisa tahu dari mana ia harus memulai. Telapak tangan Aden menyentuh bagian samping kepala Pandu, lalu menidurkan kepala Pandu di pundaknya.
"Jangan sedih, kamu pasti sembuh kok. Yang penting kamu mau berjuang." Hibur Aden.
"Gue nggak akan bisa sembuh kalo belum dapet donor. Tapi gue bisa tetep kelihatan sehat asal gue rutin terapi cuci darah." Jelas Pandu yang masih menidurkan kepalanya di pundak Aden.
"Kalo gitu sambil nunggu dapet pendonor kamu bisa rutin cuci darah. Pokonya mah harus yakin, pasti kamu bakal dapet pendonor." Hibur Aden sambil jari-jari tangannya dengan lembut menyisiri rambut Pandu.
"Dapet pendonor ginjal itu nggak semudah membalikan telapak tangan. Dan gue nggak mau terapi cuci darah." Ujar Pandu.
Aden melepaskan rangkulannya, ia mendorong tubuh Pandu pelan, lalu menatapnya lekat. "Kenapa gitu?"
"Percumah, setelah lu kabur dari kosan, gue udah nggak punya semangat lagi buat hidup. Kebahagiaan gue cuma deket sama lu. Jadi kalo lu ninggalin gue, gue nggak akan bisa bahagia. Jadi buat apa gue hidup."
Ternyata ada hikmanya juga Pandu pernah mencium dan mengungkapkan perasaannya kepada Aden. Ia jadi bisa blak-blakkan membongkar perasaannya yang lebih dalam lagi sekarang.
Aden menelan ludahnya susah payah. Ia tidak menyangka sebegitu berartinya ia buat Pandu. "Tapi sekarang kan aku udah di deket kamu, jadi kamu teh harus sehat." Bujuk Aden. "Kamu mau yah cuci darah."
"Lu emang di deket gue, tapi kalo gue nggak bisa milikin lu, percumah." Ucap Pandu.
Aden terdiam, sambil berpikir. Matanya tidak berkedip menatap wajah pucat Pandu. Tidak ada pilihan lain lagi bagi Aden, akhirnya kedua tangannya memegang kepala Pandu, sambil menariknya pelan. Aden mendaratkan bibirnya di kening Pandu dan mendiamkannya selama beberapa detik di sana.
Ciuman dari Aden sukses membuat Pandu terdiam, matanya kembali berkaca dan jantungnya berdetak lebih kencang. Rasanya seperti mimpi, ciuman itu membuat Pandu menjadi yakin pada semua yang dikatakan Aden barusan.
Aden melepaskan ciumannya, bibirnya tersenyum simpul, dan tatapan matanya lurus ke arah mata Pandu. "Demi aku, kamu harus tetep sehat ya." Bujuk Aden dengan lembut.
Pandu merasakan hatinya mulai menghangat, dan semangat hidupnya kembali bangkit. Ia hanya mampu menganggukkan kepala untuk mengiyakan permintaan Aden, karena mulutnya tidak mampu berkata-kata lagi.
Senyum nyengir terbit di bibir Aden saat melihat kepalanya Pandu mengangguk. Rasanya sangat lega sekali. Aden menarik punggung Pandu lalu memeluknya erat.
Perpustakaan yang sangat sepi, menambah suasana menjadi terasa romantis bagi Pandu. Tidak seorangpun melihat adegan ciuman dan pelukan yang mereka lakukan di sana. Hanya buku-buku yang tersusun rapi di rak, yang menjadi saksi bisu suasana romantis yang Pandu rasakan.
"Gue sayang banget sama lu." Ucap Pandu tulus.
Beberapa saat kemudian senyum Aden memudar, dan hatinya tiba-tiba merasa gelisah. Entahla, semoga apa yang ia lakukan tidak salah. Untuk saat ini yang penting bagi Aden adalah bisa melihat Pandu agar tetap sehat. "Maafin aku ya Ndu..." ucap Aden di hatinya.
MV. Setatus Palsu
By. Vidi Aldiano.
~♡♡♡~
You have slain an enemy...
Double kill...
Triple kill...
Maniac...
"Mantaaaaaaap....!" Teriak girang dari Alex ketika ia mampu membunuh empat musuh dalam permainan gamenya. "Kasih gue Savage... bantu gue savage..." perintah Alex kepada teman-temannya supaya membantunya agar ia bisa membunuh musuh yang masih tersisah. Jari-jarinya dengan lincah menari-menari di atas layar HPnya sambil meneriakan kata 'savage'.
"Mati lu... lu... mati... lu, savege gue, gue savage..." Alex masih berteriak sambil menjalankan hero yang ia gunakan dalam permainan game tersebut. "Mati... lu," teriak Alex kembali yang ia tujukan kepada hero lawan yang masih tersisa.
An enemy has been slain
"Anjeeeeeeeer... Lukman bangsat...!" Umpat Alex lantaran mendengar suara dari Announcer Mobile Legends, memberitahukan hero yang sedang ia incar untuk dibunuh, agar mendapatkan savage, ternyata telah terbunuh oleh team. Alex mengumpat karena kesal, lantaran bukan ia yang membunuh hero ke lima itu, melainkan Lukman. Sehingga ia gagal mendapat savage seperti yang diinginkannya. Rasanya gondok sekali hati Alex.
"Asaw... bangsat... anjirr Lukmaaaaan... monyeeeeet..!" Alex tidak henti-hentinya mengumpat, hampir semua penghuni kebun binatang keluar dari mulutnya untuk menghujat Lukman. Melampiaskan kekesalannya.
Lukman cuek aja, soalnya ia sengaja melakukannya. Mulutnya nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih dan bersih, tersenyum puas melihat kekesalan Alex. Dengan santainya ia menyelesaikan permainan yang tinggal menunggu menang, sambil tiduran menggunakan punggung Tristant sebagai bantalan.
VICTORY!!
Suara Announcer Mobile Legends, tanda kemenangan, mengakhiri game yang mereka mainkan.
"Main lagi gak?" Ajak Lukman.
"Ogah...!" Tolak Alex ia masih kesal sama Lukman.
"Yaudah," ucap Lukman santi dan tanpa dosa. Lukman menggeliat merenggangkan otot-ototnya yang kelelahan karena bermain game.
"Gue juga capek," imbuh Jonathan.
Saat ini Lukman, Aldo, Alex, Jonathan dan Roby sedang berkumpul di kamar Tristant. Mereka masih memakai seragam sekolah karena setelah pulang sekolah mereka langsung meluncur ke rumah Tristant.
Sejak Lukman dan Tristant meresmikan hubungan mereka menjadi 'pacar', Lukman memang lebih sering ke rumah Tristant. Aldo terkadang ikut karena ia ingin sekalian meminjam buku komik Tristant yang masih banyak belum dibaca olehnya. Kemudian Jonathan, Alex, dan juga Roby juga ikut bersama mereka.
Lukman tidak perlu lagi menutupi hubungannya dengan Ttistant dari teman-temannya. Mau bagaimana lagi, teman-temannya sudah terlanjur tahu.
Awalnya Tristant memang merasa terkejut, dan merasa keberatan jika hubungannya dengan Lukman diketahui sama Aldo, Jonathan, Alex, Roby, dan Pandu. Tristant malu. Tapi karena ternyata mereka sudah tahu, ya sudahlah, tidak ada lagi yang perlu ditutupi. Toh hanya teman-teman Lukman saja yang tahu, jadi tidak ada masalah.
Selain itu teman-teman Lukman juga cuek, mereka tidak pernah urusan dan ikut campur. Mereka pandai menjaga rahasia, dan mereka tidak pernah menyinggung hubungan Lukman dan Trsitant di tempat umum. Itu hak Lukman dan Tristant, yang penting tidak merugikan dan mengganggu kesenangan mereka. Jadi mereka santai.
Tapi kadang tetep aja sih, Alex dan Roby suka ngomel-ngomel kalau Lukman seperti dengan sengaja memarkan kemesraannya dengan Tristant di hadapan Alex dan Roby. Sementara Lukman sendiri tetap cuek, dan tidak perduli dengan kejengkelan Alex dan Roby.
Aldo dan Jonathan mereka tidak pernah komentar apapun jika melihat Lukman sedang bermesraan dengan Tristant. 'Suka-suka elu'. Pikir Aldo dan Jonathan.
"Lukman ngomong-ngomong Pandu sama Aden tadi mau kemana sih? Kayaknya mereka nggak balik lagi ke sekolah pas keluar jam istirahat." Tanya Aldo sambil menutup komik yang sudah selesai ia baca.
"Entah, nggak tau gue," jawab Lukman tanpa menoleh. Ia sedang melihat komik yang sedang dibaca Tristant sambil dagu nya ia tumpangkan di pundak Tristant.
Hari itu adalah hari pertama Pandu melakukan terpai cuci darah. Meski diantar sama sopir tapi Aden sengaja ikut menemani. Pandu juga belum memberitahu sama teman-temannya tentang keadaannya yang sebenarnya.
"Kok lu nggak nanya sih? Kan lu se kelas ama mereka." Ujar Alex sambil melempar bantal ke arah Lukman. Alex kesal, soalnya Lukman dengan cuek menciumi leher Tristant. Tidak perduli ada teman-temannya di sana.
"Monyet lu sialan...!" Umpat Lukman lantaran bantal yang di lempar Alex tepat mengenai wajahnya yang sedang menempel di leher Tristant.
Lukman melempar kembali bantal itu ke arah Alex yang masih duduk di atas ranjang bersama Jonathan dan Roby.
"Makanya lu kalo mesum tau tempat, najis gue liatnya." Roby mendukung Alex.
"Halah, bilang aja lu iri, lu pinginkan?" Ledek Lukman. Kemudian ia kembali mencium leher Tristant.
"Iih... apaan sih kak?" Protes Tristant. Ia juga kadang malu kalau Lukman bersikap seperti itu di hadapan teman-temannya.
"Anjir! Gue? Pingin? Ogah...!" Tegas Alex dan Roby secara bersamaan.
"Mending gue ciuman sama kebo, dari pada ciuman sama cowo." Lanjut Alex.
"Sembarangan lu ya, masak pacar gue di samain sama kebo." Protes Lukman.
Tristant hanya memutar bola matanya. Pertengkaran itu sudah beberapa kali terjadi, sehingga ia malas menanggapi. Nanti juga baikan lagi.
"Emang gue nyebut nama Tristant? Enggak kan? Gue cuma bilang cowok." Ucap Alex menegaskan kata-kata yang ia ucapkan barusan.
"Halah itu belum seberapa," cletuk Aldo yang membuat semua pasang mata tertuju ke arahnya. "Gue pernah liat lebih dari itu."
"What...? emang lu pernah liat mereka ngapain Do?" Tanya Jonathan. Ia merasa penasaran.
"Ngapain mereka Do?" Alex juga ikutan kepo.
"Critain ke kita Do." Roby mengimbuhi.
"Aaaa... kak Aldo liat apaan?" Wajah Tristant mendadak pucat. Tristant belum tahu kalau Aldo pernah nelihat aktivitas panasnya dengan Lukman sewaktu di kamar mandi.
"Bacot awas Lu Do..." ancam Lukman.
"Nggak gue bercanda, gue nggak pernah liat apa-apa." Aldo tidak mungkin membeberkan aib temannya sendiri. Tadi Aldo cuma mengetes Lukman saja. Supaya Lukman panik, dan berhenti mesum di depan teman-temannya.
"Huu sialan lu Do..." kesal Jonathan lantaran dibuat penasaran, namun tidak mendapatkan apapun buat menjawab rasa penasaran.
"Huuft..." akhirnya Tristant bisa bernapas dengan lega. Padahal wajahnya sudah memucat. Tristant tidak bisa membayangkan bagaimana malunya dirinya, jika Aldo memang benar pernah melihat adegan intimnya bersama Lukman.
Lukman memasukan HP yang dari tadi ia pegang ke dalam saku celana abu-abunya. Ia berdiri lalu melenggang ke arah kamar mandi.
"Mau kemana Luk?" Tanya Aldo.
"Kencing," jawab Lukman.
Mencium leher Tristant ternyata membuat senjatanya yang masih bersarang di dalam celana berkedut-kedut. Sebenarnya sejak dari tadi ia sudah merasakan alat vitalnya sudah mengeras dan meronta-ronta meminta pelampiasan. Cuma karena masih ada teman-temannya di tempat itu, sehingga Lukman terpaksa harus menahan, dan itu membuat ia menjadi terus-terusan ingin buang air kecil di kamar mandi.
"Halah paling mau coli," tuduh Alex.
Lukman memutar tubuhnya ke arah Alex, kemudian memberikan acungan jari tengah ke arah Alex. Setelah itu ia kembali melanjutkan perjalanannya ke kamar mandi.
Di atas ranjang terlihat Jonathan mendongakan kepala, memastikan Lukman sudah masuk ke kemar mandi. Melihat Lukman sudah menutup pintu, kemudian ia loncat dari ranjang mendekati Tristant yang sedang tengkurap di lantai beralaskan permadani.
Aldo yang duduk di dekat Tristant mengerutkan kening, heran melihat tingkah Jonathan.
"Eh Trist, gue mau tanya," ucap Jonathan setelah ia sudah duduk di dekat Tristant.
Tristant menunda aktivitasnya membaca komik, ia memutar kepalanya ke arah Jonathan. "Tanya apaan kak?"
"Gue heran, emang lu ngasih apaan sih ke Lukman? Kok dia bisa ngebet banget sama lu?" Tanya Jonathan. Kepalanya mendongak ke arah kamar mandi, kawatir jika Lukman tiba-tiba nongol.
"Nanya apaan si lu kak? Nggak ngasih apa-apa?" Jawab Tristant.
"Masak sih? Kok aneh ya?" Ucap Jonathan. Wajahnya terlihat penasaran.
"Dikasih enak kali." Cletuk Aldo.
"Hah? Emang lu bisa Trist? Lu kan cowo juga, emang bisa bikin enak cowo?" Tanya Jonathan kembali.
"Ya bisa lah," jawab Aldo "dia bisa bikin enak, tapi nggak akan bisa jadi anak." Imbuhnya.
"Lu diem Do," protes Jonathan. "Gue tanya ama Tristant kenapa lu yang jawab."
"Lagian lu aneh? Dia mana mungkin mau jawab. Makanya gue wakilin." Jawab Aldo.
"Gue kan cuma penasaran, aneh aja gitu. Emang gimana caranya Tristant bikin enak cowok." Aku Jonathan, sambil sesekali mendongak ke arah kamar mandi.
"Ooh lu penasaran kasih Trist." Ledak Aldo.
"Aah kalian apa-apaan sih kak nggak lucu." Kesal Tristant.
Glek!!
Suara pintu kamar mandi yang dibuka serta ditutup kembali oleh Lukman, lantas membuat Jonathan gugup dan langsung loncat kembali ke atas ranjang.
"Jangan coba-coba berniat menjadi pihak ketiga diantara orang-orang yang sedang pacaran, kalo nggak pingin nambah koleksi musuh." Ledek Aldo yang ia tujukan kepada Jonathan saat Lukman baru saja menempelkan pantatnya di dekat Tristant.
"Ngomong apa lu Do?" Tanya Lukman.
"Nggak ni gue lagi baca komik, gue suka sama kalimatnya." Kilah Aldo.
"Oh..." ucap Lukman.
Bibir Jonathan memicing ke arah Aldo.
~♡♡♡~
Istirahat pagi ini suasana kantin terlihat sangat ramai. Aden tidak berhenti menebarkan senyum kepada para siswa yang sedang membeli ciloknya.
Aden memang sudah mulai berjualan lagi. Cuma tidak lagi di depan gerbang sekolah. Atas permintaan ibu Veronica, ayahnya Lukman menyediakan tempat untuk Aden di kantin sekolah. Hari itu Aden tidak sendiri, ia dibantu sama Anis, karena ternyata jualan di dalam kantin jauh lebih rame dari pada di luar sekolahan.
Tidak jauh dari Aden dan Anis yang sedang berjualan, ada Pandu yang tidak berhenti tersenyum sambil sesekali mencuri pandang ke arah Aden.
"Eh gila ya itu kelas 12, niat banget mau tanding basket sama kita." Ucap Alex yang baru saja sampai di dalam kantin.
Sudah ada Pandu, Lukman, Aldo, Jonathan dan Roby di sana.
Pandu langsung mengalihkan perhatiannya ke arah Alex. "Emang kenapa?"
"Tadi gue liat di mading, mereka pasang pengumuman. Masak semua sekolah minta diliburkan supaya bisa liat kita tanding." Jelas Alex setelah duduk di dekat Roby.
"Yaudah besok mulai latihan." Usul Jonathan.
"Eh... gue mau ngomong." Cletuk Pandu yang langsung menjadi pusat perhatian teman-temannya.
"Apaan?" Tanya Lukman yang duduk di sebelah Pandu.
"Kalian boleh latihan basket di rumah gue."
"Hah?! Serius_" serga Alex girang.
Anggukan kepala Pandu membuat teman-temannya bersorak senang.
"Mantap kalo gitu dong..." ujar Roby.
"Tapi_" uacp Pandu menggantungkan kalimatnya. Ia memandang teman-temannya satu persatu. Wajahnya berubah murung.
"Tepi kenapa?" Tanya Aldo.
"Gue nggak bisa ikut."
"Yaaaaah...!" Ungkapan kecewa keluar dari mulut temannya.
"Sama aja dong, kalo gitu latihan di sekolah aja lah, nggak papa gantian sama anak kelas 12, yang penting Pandu bisa ikut." Usul Jonathan yang langsung disetujui sama teman-teman yang lain.
"Di manapun latihannya, gue juga tetep nggak bisa ikut." Jelas Pandu.
Semuanya terdiam, sorot mata teman-temannya menatap Pandu dengan tatapan penuh tanya.
"Emang kenapa sih Ndu, lu mau keluar dari team basket. Lu kan kaptennya. Ngursak mood kita-kita aja tau nggak." Kesal Lukman.
"Sorry, bukan gitu. Mulai sekarang gue nggak akan main basket lagi."
"Iya tapi kenapa?" Lukman semakin penasaran.
Menarik napas dalam-dalam kemudian Pandu hembuskan secara perlahan. Pandu merundukan kepala seraya berkata, "gue ginjal kronis."
"Whaaat!" Teriak Lukman. Ia benar-benar terkejut mendengar pengakuan Pandu. "Jangan bercanda deh Ndu, nggak lucu." Protesnya.
"Iya emang nggak ada lelucon lain yang bisa bikin kita ketawa apa? Walopun lu nggak bisa nglawak sih. Muka lu kan datar." Ujar Alex.
Plak!
Roby memukul pelan kepala Alex yang otomatis membuat Alex mengaduh kesakitan.
"Apaan sih lu Rob?" Protes Alex sambil memegang kepalanya yang bekas dipukul sama Roby.
Pandu hanya tersenyum tipis melihat kelakuan kedua temannya.
"Lu yang apaan, lagi serius juga." Kata Roby memasang wajah kesal kepada Alex.
"Lu serius Ndu?" Kali ini Aldo yang bertanya dengan gaya tenangnya.
"Gue seirus." Tegas Pandu.
Terlihat Lukman langsung menghamburkan tubuhnya, memeluk erat Pandu. "Kok bisa gitu sih Ndu? Pantes nyokap lu bawel banget ya..." ucapnya dan bola matanya tiba-tiba berkaca.
Tidak hanya Lukman, Jonathan dan yang lainpun ikut berkaca-kaca. Semuanya menatap iba kepada Pandu, ternyata Pandu tidak seberuntung yang mereka kira.
"Maafin gue ya Ndu..." ucap Lukman sambil menambah erat pelukannya.
"Apaan sih, lepas ah..." keluh Pandu. "Jangan pada lebay kali, gue belum mau mati besok. Gue bakal sehat terus. Yang penting gue jangan telat cuci darah." Jelas Pandu, mencoba menghibur teman-temannya.
"Tetep aja kita nyesek dengernya..." celetuk Aldo yang mendapat tanggapan anggukan kepala dari teman-temanny.
"Lebay... gue aja biasa." Ucap Pandu. "Eh kalian setuju nggak kalo Aden masuk team basket kita gantiin gue." Pandu mencoba mengalihkan pembicaraan supaya suasana haru menyingkir dari perasaan teman-temannya.
Tapi teman-teman Pandu tidak ada yang menjawab. Mereka masih merasa shock dengan kabar mengejutkan yang barusan mereka dengar.