Chereads / Rahim Untuk Anakku / Chapter 20 - Melepas

Chapter 20 - Melepas

Hati memiliki nalarnya sendiri,

sedangkan nalar tak pernah memiliki hati.

******

Embun mencoba menyamankan diri ketika sepanjang perjalanan balik ke Jakarta, Al terus saja menggenggam tangannya sembari satu lagi berkonsentrasi dengan setir mobil.

Aku mencoba, Al. Membiasakan diri, kata Embun dalam hati.

Mereka memang tetap bercanda dan tertawa seperti biasa. Tapi ada sedikit hal yang berubah. Nada itu tak lagi sama. Kini lebih lembut dan siapapun yang mendengar pasti bisa menebak bahwa mereka adalah pasangan kekasih, bukan sebatas teman.

Kalau selama ini orang hanya memandang curiga pada mereka, atau berspekulasi dengan mengatakan bahwa Embun dan Al adalah TTM alias Teman Tapi Mesra, sekarang pasti tidak lagi.

Alaska tak akan mampu lagi menutupi kilatan netra penuh cinta ketika ia memandang Embun, wanita tercintanya.

Rasa sayang Embun memang meningkat pada pria ini dibanding sebelumnya. Ibarat menaiki tangga menuju pelaminan, dia beringsut setapak demi setapak. Tak bisa terlalu cepat, karena masih terjerat dengan hiruk pikuk jeritan hati sendiri.

Seribu keraguan coba ditepis dan digantikan dengan sejuta harapan. Memang tidaklah mudah, tapi Embun mencoba keras untuk itu. Bayangan lelaki brengsek yang ia kenal selalu melintas. Pria-pria itu membuatnya benci pada makhluk berjenis kelamin laki-laki.

Dua lelaki yang pernah ada dalam kehidupan Embun. Keduanya hadir hanya untuk menorehkan luka yang teramat dalam dan sulit tersembuhkan. Ayah, dan Bara.

Ayah yang dulu memang baik dan sangat perhatian. Kemudian ia berubah seperti serigala kejam yang tak bosan mengoyak jiwa dan raga Embun. Derita tak hanya dialami oleh fisik, tapi juga hatinya. Sembilu tajam terlanjur ditancap, digores dan dikoyakkan.

Saat hidup terombang-ambing itulah, Bara hadir dalam kehidupan Embun. Dia adalah satu-satunya adik kandung almarhum ibunya.

Bara seolah hadir sebagai super hero yang selalu siap mendekap saat ia butuh pelukan. Pria ini satu-satunya tempat berkeluh kesah bagi Embun yang memang tidak memiliki teman dalam kesehariannya.

Bara sering datang mengunjungi Embun. Tentu saja siang atau sore hari sebelum ayahnya pulang. Karena lelaki itu juga tidak cocok dengan ayah Embun. Selalu saja cekcok dan timbul pertengkaran kalau dua manusia itu bertemu.

Tak jarang Bara datang sambil membawa teman, wanita tentunya. Setelah berbincang sebentar, mereka akan masuk ke kamar tamu dan mengunci pintu. Entah apa yang dilakukan, Embun tidak pernah mau tahu.

Satu atau dua jam, Bara akan keluar kamar. Biasanya langsung pergi dengan teman wanitanya itu, yang selama ini selalu berganti-ganti. Tapi tak jarang pula si wanita pergi dan ia masih di rumah Embun untuk berbincang-bincang.

Setidaknya ia tidak sendirian. Masih ada keluarga yang bisa dia ajak bicara, walaupun mungkin bukan orang yang sepenuhnya baik. Begitu yang ada dalam pemikiran Embun. Makanya ia tak pernah mau peduli dengan apa yang dilakukan pamannya di kamar tamu.

Sudah beberapa hari Bara tidak muncul di rumah Embun. Tidak seperti biasa, paling lama 3 hari, laki-laki itu pasti menampakkan batang hidungnya. Ini sudah hampir sepuluh hari.

Embun tidak mau menghubungi Bara, karena takut mengganggu. Siapa tahu lagi sibuk dengan pekerjaan.

Setahu Embun, pria itu bekerja di sebuah perusahaan kontraktor. Bara lebih sering melakukan pekerjaannya di rumah. Dia bilang sesekali saja ke kantor untuk setor kerjaan dan meeting. Embun juga tidak terlalu paham, jadi iya-iya saja mendengar penjelasan Bara.

Semalam, ayah Embun membuat ulah. Pria itu memukulinya sampai babak belur di sekujur tubuh. Memang tidak sadar, karena sedang dalam pengaruh alkohol yang sudah beberapa botol dia tenggak.

Embun menjadi pelampiasan kemarahan dalam diri yang tak pernah bisa ia ungkapkan pada siapapun. Rasa sepi yang merongrong hati, kekosongan yang memilukan, yang selama ini dipendamnya sendiri.

Keesokan harinya, Embun tak bisa masuk sekolah. Tidak mungkin ia datang dalam keadaan penuh lebam serta luka. Dia juga jengah karena pasti akan menjadi pusat perhatian dan gunjingan di sekolah, baik di kalangan para guru maupun murid.

Tubuh terasa sakit semua, bahkan untuk berjalan saja susah. Ayahnya seolah tak peduli, pagi-pagi buta sudah pergi lagi meninggalkan rumah. Entah kemana.

Embun terpaksa menghubungi pamannya, karena ia benar-benar kesakitan untuk bangkit dari tempat tidur. Pagi itulah Bara datang menjenguk ke rumah.

"Kamu nggak papa, Mbun? Ke dokter aja yuk, cek semuanya," ajak Bara.

Tentu saja Embun menolak. Buat makan aja susah, boro-boro ke dokter, pikir Embun.

"Nggak usah, Om. Udah dikasih obat juga. Besok juga sembuh," kata Embun menyembunyikan rasa pilu.

"Om ada uang kok. Ayo kalau mau ke dokter." Bara memegang tangan Embun, mencoba mengajaknya bangkit.

"Nggak usah, Om. Beneran nggak papa kok." Embun memaksakan diri untuk tersenyum dan terlihat baik-baik saja.

"Lukamu sudah dikasih obat semua? Ada yang belum?" Bara memandang keponakan semata wayangnya dengan khawatir.

"Tinggal yang di bahu sama punggung, Om. Susah." Embun menunjuk bagian bahunya.

"Ya sudah, sini om olesin," ujar Bara.

Embun sedikit terkejut. Walaupun pria ini adalah adik kandung ibunya, tetap saja mereka adalah manusia dengan jenis kelamin yang berbeda.

Melihat ekspresi wajah Embun, Bara tersenyum.

"Kenapa? Malu sama om sendiri? Santai aja. Kayak sama orang lain aja," kata Bara dengan tenang.

Melihat sikap Bara yang tenang, tentu saja Embun jadi tidak berpikir macam-macam. Apalagi ia tahu, pamannya ini punya banyak stok wanita yang lebih cantik dan seksi dibanding dia yang hanya anak ingusan kelas 3 SMP.

Sedikit ragu ia menggeser duduknya membelakangi Bara yang sedang mengambil obat luka di meja kamar.

"Angkat kaosnya sampai leher. Kalau kamu malu, belakangnya aja yang diangkat," ujar Bara masih dengan tenang.

Bara segera mengoles obat luka di punggung Embun yang penuh lebam dan luka menggunakan kapas. Gadis itu meringis menahan sakit.

"Tahan sebentar ya. Biar cepet kering lukanya." Dengan lembut Bara mengoleskan obat.

Kelembutan dan ketenangan Bara membuat rasa perih yang menyapu kulit punggung Embun sedikit mereda.

Beruntung masih ada Om Bara, kata Embun dalam hati.

Tiba di area bahu, agak kesulitan untuk melihat luka Embun karena terhalang kaos yang ia kenakan.

"Udah sih Mbun, dibuka aja. Sebentar ini. Nggak sampai 5 menit deh. Habis itu pake lagi kaosnya," kata Bara yang memang kesulitan mengoleskan obat.

Akhirnya Embun mengalah, membuka kaos dan menutupkannya pada area dada.

Bara masih sibuk mengoleskan obat di bahu Embun. Tapi kali ini, gadis itu merasakan ada sesuatu yang lain dari sikap pamannya.

Nafas Bara terdengar keras dan terasa sangat dekat dengan leher, membuatnya merinding. Sontak, gadis itu menoleh.

Bara tiba-tiba membekap mulut Embun, dan adegan selanjutnya sudah bisa ditebak.

Ya, pagi itu Embun diperkosa pamannya sendiri. Teriakan dan tangisan tertahan gadis itu sama sekali tidak dipedulikan oleh Bara.

Rasa sakit di tubuh kini semakin bertambah. Ulah ayahnya, dan sekarang Bara ikut andil menyumbangkan rasa nyeri serta ngilu.

Bukan badan yang sebenarnya remuk redam, tapi hati. Dihancurkan oleh orang-orang yang seharusnya Embun sayang dan sebaliknya menyayangi dia. Dua pria yang sama-sama tak bisa lagi ia percaya.

"Sudah lama aku nunggu-nunggu. Sengaja aku bawa cewek-cewek ke sini, sebagai pelampiasan. Selalu nggak tahan tiap kali lihat kamu." Bara masih bisa berkata dengan tenang setelah memperkosa keponakannya sendiri.

Pria itu mengenakan pakaian, melemparkan beberapa lembar uang ratusan ribu.

"Pesan makan aja lewat online. Tuh duitnya. Om mau ke kantor dulu, ada meeting." Pria itupun berlalu, seolah tak pernah terjadi apa-apa.