Chereads / Rahim Untuk Anakku / Chapter 22 - Layaknya Pena

Chapter 22 - Layaknya Pena

Kamu...

Tak terlupakan bagiku

Karna kamu...

Punya hutang padaku

KAPAN BAYAR?

*****

"Tentu tidak saya jawab." Embun menatap Pandu tepat di lingkaran hitam bola matanya.

Tatapan teduh yang bisa seketika berubah tajam dan menusuk. Rupanya seperti inilah cara gadis ini melindungi diri. Dia bisa sekejap berubah. Dari seekor angsa putih yang rupawan, menjadi seekor harimau yang siap untuk melawan.

Suasana menjadi sedikit kikuk karena pertanyaan Pandu tadi. Untunglah pelayan segera datang membawa pesanan mereka.

"Silahkan, Mbak. Kita sambil makan, sambil berdiskusi." Pandu mencoba mencairkan suasana.

Embun hanya membalas dengan anggukan dan mulai menyantap makanan, sembari menunggu Pandu melanjutkan pembicaraan. Ia memutuskan untuk berhenti berbicara.

Biar pria ini yang menjelaskan semuanya, batin Embun.

Pandu seolah mampu membaca maksud dan pikiran gadis itu. Ia segera menceritakan tujuannya menemui Embun.

"Apakah orang yang menyewa rahim saya adalah owner perusahaan tempat Anda bekerja?" Embun berusaha setenang mungkin mengucapkan kalimat. Hatinya berontak, terkejut, tapi juga ingin tahu lebih banyak tentang urusan ini.

"Saya tidak bisa mengatakan apa-apa. Kebetulan saya memang kerja di PT tersebut. Tapi urusan ini di luar urusan pekerjaan. Saya sengaja menyebutkan perusahaan tempat saya bekerja, hanya sebagai pertimbangan saja untuk Mbak Embun bahwa saya bukan orang yang tidak jelas. Tentang saya, juga bisa diakses atau diselidiki dengan sangat mudah. Tapi sekali lagi, ini tidak ada urusan dengan pekerjaan dan perusahaan tempat saya bekerja."

Pandu memberikan penjelasan dengan tegas. Tentu saja, ia harus melindungi kerahasiaan identitas kedua bosnya, Kala dan Lady.

"Jadi, saya tidak boleh tahu siapa yang bekerja sama dengan saya?"

"Tentu tidak, Mbak. Untuk menghindari semua resiko. Ini saya bawakan salinan perjanjiannya. Mbak Embun bisa membaca dan mempelajari pelan-pelan." Pandu mengulurkan sebuah amplop coklat.

Embun menerima amplop itu, mengeluarkan tiga lembar kertas putih di dalamnya, lalu membaca pasal demi pasal perjanjian yang tertulis berderet rapi.

"Mbak bisa sampaikan pasal-pasal mana yang keberatan, perlu dikurangi atau ditambahi." Pandu sedikit kelu menyampaikan kalimatnya.

Gadis ini sangat cantik. Semoga mau menerima perjanjian ini, lalu menikah denganku. Aku tidak keberatan menerima dia sebagai istriku. Pandu berharap dalam hati.

"Boleh saya bawa pulang, untuk saya pelajari?" Tatapan Embun masih belum beralih dari kertas di tangannya.

"Maaf, tidak bisa. Mbak Embun bisa membaca sambil saya tunggu. Lama juga nggak papa kok," ucap Pandu.

Lumayan, bisa liatin wajahmu yang cantik di depanku, ucap Pandu dalam benaknya.

Pandu mengulurkan pena pada gadis itu. "Mungkin butuh untuk coret-coret, atau apa."

Benar saja, Embun terlihat menulis beberapa hal dan memberi tanda pada bagian-bagian tertentu perjanjian itu.

Cukup teliti juga rupanya si cantik ini, batin Pandu yang matanya tak pernah lepas menatap Embun.

"Saya belum bisa memberikan jawaban setuju atau tidak, karena ada beberapa hal yang saya perlu tanyakan. Pertama, saya terima uang satu milyar. Saya maunya lima milyar. Karena resiko dan kerugian saya cukup besar." Embun memulai negosiasi.

Pandu segera merekam yang Embun sampaikan.

"Sebentar, Mbak. Biar saya rekam sebagai bukti dan bahan diskusi dengan si penyewa." Pandu menyetel telepon genggamnya ke perekam audio dan meletakkan di atas meja, dekat ke arah Embun.

"Diulangi lagi, Mbak," perintah Pandu.

"Pertama, saya mau lima milyar imbalan atas kesediaan saya bekerja sama. Kedua, saya harus mengasingkan diri di villa? Kenapa?"

"Saya bantu jawab ya, Mbak. Agar urusan ini tetap jadi rahasia kita. Tidak ada yang boleh tahu." Pandu menegaskan.

"Kalau kalian membunuh saya setelah melahirkan?"

"Wah, nggak bakal, Mbak." Pandu sangat terkejut. Tidak menyangka pertanyaan itu akan terlontar dari bibir manis dan menggiurkan itu.

"Bisa saja kan. Toh nggak ada yang tahu. Sepertinya kalian sangat ingin merahasiakan ini. Membunuh saya, tentu jadi jalan terbaik," ucap Embun seraya menatap penuh selidik.

"Yang kami inginkan hanya sewa rahim. Kalau niat membunuh, sekalian saja kami culik Mbak Embun dari awal. Tidak perlu negosiasi seperti ini." Pandu tidak kalah akal untuk menjawab.

Hmmm, betul juga, pikir Embun.

"Setelah melahirkan, saya tidak boleh sama sekali melihat bayi saya?"

"Tidak sama sekali. Untuk menjaga resiko Mbak Embun tidak tega dan lain-lain," ucap Pandu.

Gila, ternyata gadis ini bisa tenang dan sepertinya berminat untuk bekerja sama. Tidak kusangka akan semudah ini.

"Semua kebutuhan saya dicukupi selama hamil. Tidak boleh keluar sama sekali dari villa?" Tatapan Embun masih tetap berkutat di deretan huruf, tanpa mempedulikan Pandu yang menatapnya dengan penuh kekaguman.

"Stres harus dihindari oleh ibu hamil. Jadi Mbak Embun diijinkan keluar jalan-jalan. Tapi tidak boleh bertemu dan berkomunikasi dengan siapapun yang Mbak kenal. Akan ada orang yang menemani Mbak Embun selama di villa, juga untuk jalan-jalan."

"Kalau gitu, saya minta villa yang disiapkan untuk saya di luar pulau Jawa. Untuk menghindari tanpa sengaja saya bertemu dengan orang yang saya kenal."

Embun berpikir, jika ia menerima tawaran ini, Alaska pasti akan jadi penghalang utama. Kalau harus terjun, maka terjunlah dengan sungguh-sungguh. Tak boleh kepalang tanggung.

"Tapi dokter yang akan menangani Mbak Embun di Jakarta. Tapi coba saya bicarakan lagi nanti dengan penyewa." Pandu semakin kagum dengan pemikiran teliti gadis ini.

"Lampung bukan tempat yang jauh dari Jakarta. Naik pesawat nggak sampai sejam. Sepertinya lampung akan jadi pilihan lokasi yang paling tepat. Saya mau villa di tepi pantai, di Lampung." Embun memberikan usul.

"Baik, Mbak. Nanti saya sampaikan."

Ya, beberapa kali Embun berbincang ringan dengan tamu di tempat kerjanya yang berasal dari Lampung. Jadi ia tahu bahwa waktu yang ditempuh untuk perjalanan menggunakan pesawat tidaklah lama.

Lampung memiliki beberapa area villa yang sepi dan sangat privacy. Cocok untuk mengasingkan diri untuk sesaat tanpa perlu merasa bosan. Bukan mall atau tempat lain yang ingin Embun datangi.

"Syarat terakhir saya, saya mau bicara dulu dengan dokter yang akan menangani masalah ini," ujar Embun sembari memasukkan kembali kertas perjanjian itu ke dalam amplop.

Diulurkannya amplop itu kembali pada Pandu.

"Kenapa harus bertemu dengan dokter?" Pandu heran dengan permintaan terakhir Embun.

"Saya mau memastikan tubuh saya sehat, dan berkonsultasi. Saya ingin bicara berdua dengan dokternya. Hanya berdua. Kalau dokter menyatakan saya layak untuk perjanjian ini, insya Allah saya akan tanda tangani perjanjian. Setelah saya menandatangani, saya minta uang muka pembayaran sebesar satu milyar. Sisanya setelah saya melahirkan."

Pandu terkesiap memandang Embun. Gadis ini bisa melontarkan semua kalimat dengan sangat tenang, seolah sedang berbicara tentang kisah dalam novel. Padahal ini adalah keputusan besar tentang hidupnya.

"Uang muka?"

"Ya. Kalian sudah menyelidiki saya. Pasti sudah tahu bahwa saya punya banyak hutang yang harus dilunasi. Saya perlu uang muka itu untuk menyelesaikan semuanya, sebelum saya menghilang. Saya harus jadi orang yang bertanggung jawab. Tidak mungkin lari dan melupakan hutang begitu saja."

"Saya paham. Hutang itu bukan mantan. Jadi tidak boleh dilupakan seenaknya. Saya rasa, penyewa pasti menyetujui itu. Saya berani garansi," ucap Pandu.

"Untungnya saya belum pernah punya mantan." Embun tersenyum simpul menanggapi omongan Pandu.

"Wah, belum pernah pacaran berarti ya, Mbak. Syukurlah. Nggak ngerasain kehilangan. Pacar itu seperti bolpen di kelas. Kalau nggak hilang, ya diambil teman." Pandu terkekeh.

Gadis ini masih bisa santai dan berkelakar di situasi seperti ini. Gadis yang kuat walau sudah cukup banyak hidup susah.