Chereads / Rahim Untuk Anakku / Chapter 28 - Tak Bisa Memilih

Chapter 28 - Tak Bisa Memilih

Keduanya berbeda rasa

Saling melengkapi dan memberi sensasi

Perpaduan menjadikannya sempurna

Mustahil memilih satu sisi

******

"Kita pulang sekarang? Atau mau makan malam dulu?" Broto membelai rambut Lady yang sedang rebahan di dadanya. Tiga kali mereguk cinta, cukup membuat perut berteriak meminta asupan.

"Makan dulu, yuk. Baru kita pulang. Kala juga sepertinya makan di luar kok. Tadi siang dia sibuk banget," jawab Lady bangkit dari tempat tidur menuju ruang santai sambil memutar-mutar leher menghilangkan penat. Dia memungut pakaian yang tadi dilempar begitu saja. Broto menyusul di belakangnya.

Lady membantu Broto berpakaian, baru dirinya sendiri.

"Gue pengen makan mie." Tangan Lady bergayut manja di leher Broto.

"Ya sudah. Ke Depot Gajah Mada aja. Searah lo pulang." Broto mendaratkan ciuman di dahi, kedua pipi, dan tentu saja berakhir di bibir Lady untuk beberapa saat.

"Yuk, daripada batal makan, balik lagi ke kamar." Lady tertawa kecil.

Keduanya mematut diri sebentar di sebuah cermin yang terletak di atas wastafel, memastikan pakaian mereka sudah rapi.

Jangan sampai terlihat acak-acakan, batin Lady.

Mereka melangkah bersama meninggalkan unit apartemen.

"Mau gue anterin pulang? Biar nggak capek," ucap Broto sambil melangkah menuju lift, melihat wajah Lady penuh lelah.

"Nggak usah. Lo tahu kan gue ini wonder woman. Bahkan kalau Kala minta jatah malam ini, gue masih kuat kok," jawabnya sambil tersenyum simpul.

Ekspresi wajah Broto sedikit berubah. Rahangnya mengetat dan terlihat sekali memendam suatu perasaan.

"Lo kenapa? Cemburu? Wajar kan gue layani Kala. Dia itu suami gue, don't forget about it, Broto."

Broto terdiam. Semua yang dikatakan Lady memang benar. Tak pantas bagi dia yang hanya berstatus selingkuhan untuk merasa cemburu apalagi marah tentang kemesraan mereka. Bukankah mereka adalah pasangan yang sah, bahkan diakui seluruh dunia, termasuk Tuhan?

Tetap saja rasa sakit itu hinggap dan terasa nyeri di dada Broto. Kesadaran akan kenyataan memang sangatlah pahit.

Lady menggamit lengan Broto ketika pintu lift terbuka, mengajaknya masuk dan berusaha menenangkan kecamuk dalam diri pria itu.

"Jangan terlalu baper dengan hubungan kita, Broto. Just enjoy it. Sama-sama senang, sama-sama happy, sama-sama puas. Sebatas itu yang bisa kita nikmati. Kita harus berbagi. Begitupun lo yang masih harus bercinta dengan Ningrum." Lady mengusap lengan atas pria itu beberapa kali.

"Gue nggak akan lakukan apapun dengan Ningrum. Gue cuma mau bercinta sama lo. Gue udah punya anak, dan itu cukup," jawab Broto menahan gusar di hatinya.

Lady memandang mimik muka lelaki di sampingnya. Ada rasa kasihan menyelinap tanpa harus meminta ijin. Pria ini terlalu buta karena cinta.

"Jangan bucin, Broto. Tidak baik. Hanya akan membuat situasi jadi kacau. Dari awal, kita sudah sepakat untuk seperti ini, kan? Come on. Lo pengen bikin gue nggak nyaman?"

"No. Of course not. Baiklah. Gue akan berusaha kendalikan diri dan perasaan gue. Gue tahu dan sadar sepenuhnya, bahwa semua ini adalah perselingkuhan. Tapi gue mohon sama lo, Lad. Cintai gue. Belajarlah untuk itu," pinta Broto memelas.

"Tentu saja. Gue sedang belajar untuk itu. Syaratnya cuma satu kok, nyamankan gue. Kalau lo terlalu baper dan bucin kayak gini, jujur gue nggak nyaman."

Pintu lift terbuka dan mereka melangkah keluar, menuju tempat parkir.

"Oke, gue janji bakal berubah. Lo parkir di mana?" tanya Broto.

"Di samping. Lo?" Lady menunjuk arah parkir.

"Sama kok. Kan gue ngikutin instruksi lo tadi," jawab Broto.

Keduanya masuk ke mobil masing-masing dan melaju menuju depot mie.

"Gue makan malam sama Broto dulu ya. Persiapan rencana kita." Lady menyempatkan diri menelepon Kala.

"Iya. Aku juga masih banyak kerjaan. Kamu tidur duluan aja. Besok pagi sekalian kita ke kantor untuk bicara dengan Pandu tentang hasil pertemuannya dengan Embun. Hati-hati, Honey."

Tut....

Seperti tadi siang, panggilan ditutup begitu saja oleh Kala.

Lady menghela nafas panjang. Bagaimanapun dia manusia biasa, yang masih memiliki rasa bersalah.

Tak dapat dipungkiri, dia mulai menikmati hubungannya dengan Broto. Namun saat pikiran teringat pada Kala, masih ada rasa bersalah menelisip di relung hati.

Berada dalam pelukan dua pria berbeda seperti ini memang menyenangkan. Lalu bagaimana cara gue menghapus rasa bersalah ini? Gue pengen totalitas menikmati keduanya.

Rasa nyaman ia dapatkan dari kedua pria itu. Kala mampu memberikan rasa aman dan kepastian dalam ekonomi. Pria itu juga mampu memberikan rasa tenang serta damai setiap tatapan, tutur kata juga sikap. Dia ibarat sungai yang gemericiknya menenangkan.

Sementara Broto mampu memberikan kepuasan dengan perhatian, obsesi, rengkuhan dan keinginan menguasai yang kuat. Pria itu memenuhi kebutuhan psikologis Lady sebagai seorang wanita untuk diinginkan, dilindungi, dilayani, diperhatikan juga dimanjakan. Hal yang tak ia dapat dari seorang Kala.

Broto ibarat pantai di selatan Pulau Jawa, yang ombaknya meledak-ledak, menghempas dengan kuat. Seperti itu juga puncak kenikmatan yang ia rasakan saat bercinta. Membuatnya berteriak dan seluruh tubuh meregang dengan sangat.

Beda hal dengan Kala, yang membawanya perlahan menuju puncak. Bahkan acapkali, dia yang harus menguasai dan mendominasi. Ujung perjalanan selalu berakhir dengan rasa lega dan ketenangan, penuh kelembutan.

Mendominasi dan didominasi. Menguasai dan dikuasai. Keduanya sama-sama memabukkan. Keduanya sama-sama menggairahkan.

Jika harus memilih, Lady tak tahu lagi harus memilih yang mana. Ia ingin merengkuh keduanya. Menggenggam dan memeluk semuanya.

Could marry your daughter....

Telepon genggam Broto melantunkan sebuah lagu, yang khusus ia pasang sebagai nada dering dari Ningrum, istrinya.

"Halo." Entah kenapa lidah Broto menjadi kelu untuk mengeluarkan kata lebih banyak lagi.

"Lagi di mana, Mas?" tanya sebuah suara di seberang sana.

"Perjalanan ke depot mie. Lagi pengen makan mie. Kamu mau dibawain?"

"Oh, nggak usah, Mas. Ningrum masak kok. Tadinya kupikir Mas bisa makan di rumah. Tapi kalau memang lagi pengen mie, ya nggak papa." Suara itu terdengar datar. Namun tetap saja ada nada kecewa di dalam ucapannya.

"Ya udah, Mas makan sebentar. Terus segera pulang, makan bareng kamu. Tapi kalau kamu kelamaan, makan dulu juga nggak papa kok." Mau tidak mau, Broto kasihan juga pada Ningrum.

Dia juga seorang dokter dan sama-sama sibuk. Pasti ia sudah bersusah payah menahan lelah hanya untuk memasak makan malam.

"Ningrum belum terlalu lapar kok. Nunggu Mas nyampe rumah aja, biar bisa makan bareng. Makan mie jangan banyak-banyak ya, Mas," ucap Ningrum girang. "Ya udah, hati-hati di jalan ya, Mas. Da."

"Da," jawab Broto singkat dan memutuskan panggilan.

Kasihan juga, pikir Broto.

Kriuk....

Perut Ningrum berbunyi. Rupanya dia sudah kelaparan.

Makan apel dulu ah, ganjel perut, katanya dalam hati.

Ningrum rindu untuk duduk bersama, satu meja dengan sang suami. Kebahagiaan seorang istri itu sangatlah sederhana. Mengambilkan makan untuk suami tercinta, dan melihatnya lahap menyantap masakan yang telah dibuat, sudah seperti menang lotre milyaran rupiah.

Sayangnya, tidak banyak para suami yang menyadari itu. Seperti Broto, yang malah asyik memadu kasih dengan wanita lain.

Dua mobil tiba hampir bersamaan di area parkir depot mie yang memang cukup terkenal di Jakarta. Broto menghampiri Lady yang menunggunya di ambang pintu depot.

"Lad, gue nggak bisa lama-lama ya. Soalnya Ningrum udah terlanjur masak makan malam untuk kami, dan dia-"