Chereads / Rahim Untuk Anakku / Chapter 30 - Drama Queen

Chapter 30 - Drama Queen

Janji hati

telah lama kau ingkari

aku sibuk menjaga hati

kau malah sigap berpindah hati

*****

Keesokan paginya, Broto sudah bersiap diri di kamar. Ketika sedang mematut diri di depan cermin, menoleh ke kanan, ke kiri, dia melihat ada hal janggal di belakang telinga.

Oh, sh*t.

Ada bekas ciuman di belakang telinga kanannya. Memang kecil, tapi terlihat sangat menyolok.

Jangan-jangan Ningrum melihat ini, pikir Broto.

Pria itu mencari cara agar Ningrum tidak mencurigai macam-macam. Segera dia menuju ruang makan.

"Ningrum, punya obat anti alergi nggak?" Broto melihat Ningrum sedang menyuapi anak mereka.

"Nggak ada, Mas. Kenapa?" Ningrum menjawab tanpa menoleh. Hatinya masih kesal karena melihat bekas ciuman semalam.

"Beberapa hari ini sering muncul ruam di badanku. Hilang, muncul lagi. Terus kayak gitu. Ini sekarang muncul lagi di belakang telinga. Kemarin di dada," kata Broto sambil memalingkan muka agar Ningrum bisa melihat tanda merah itu.

Ningrum melihat ke arah suaminya dengan heran dan sedikit bimbang.

"Itu ... ruam alergi?" katanya sedikit tidak yakin.

"Ya kalau digigit serangga juga nggak mungkin gini kali. Pasti juga ada bentol." Broto menjawab dengan santai dan sangat datar. Ia berusaha tenang, padahal hatinya menyimpan ketakutan bahwa perselingkuhannya akan terbongkar.

Ningrum mengamati ekspresi Broto yang terlihat tenang. Tak ada bayangan kecemasan atau menutupi suatu hal besar, apalagi sebuah perselingkuhan.

"Mas, maafin Ningrum ya. Sebagai istri, malah nggak tahu kalau Mas beberapa hari ini mengalami ruam karena alergi," ucapnya penuh sesal.

"Maksudmu? Biasa aja kali, Ningrum. Kan memang kita juga sibuk dengan kerjaan masing-masing. Kamu sudah jadi istri dan ibu yang baik kok. Selalu bisa meluangkan waktu untuk keluarga di tengah menjalani profesi. Buktinya semalam aja masih sempat masak buatku, kan," jawab Broto tenang.

"Semalam Ningrum malah mencurigai Mas selingkuh. Ningrum pikir, itu bekas ciuman." Ningrum menunduk malu.

Wajah Broto nampak terkejut.

Hufffff, untung gue cepat tanggap, batinnya.

"Kamu ini ada-ada aja, Ningrum. Selama ini aku cuma tahu rumah sakit sama rumah. Mana pernah aku pergi ke tempat lain. Aku ketemu banyak wanita, tapi ya di tempat praktek."

Memang selama menikah, Broto hanya menjalani hidup dengan hambar. Kerja, pulang, tidur. Dia memang sudah tidak memiliki gairah. Semua telah dibawa pergi oleh Lady, beserta mimpi, harapan dan keceriaan.

Ningrum sendiri tipe wanita rumahan yang hanya tahu tempat kerja, dan yang mereka tinggali saat ini. Kalaupun pergi, berkunjung ke orang tua dan mertua, supermarket. Sesekali berbelanja baju dan kebutuhan lain.

Nongkrong? Bersantai di kafe? Tak pernah ada dalam kamus kehidupan mereka berdua. Ditambah lagi pekerjaan yang sangat menyita waktu, membuat tubuh dan pikiran sudah teramat lelah. Istirahat menjadi satu-satunya keinginan terkuat setiap hari menjelang petang.

Di rumah, mereka juga jarang berbincang lama. Biasanya hanya perbincangan singkat tentang hal-hal penting dan pokok saja. Bahkan kehadiran si kecil pun ternyata tak mampu memperbaiki kualitas maupun kuantitas komunikasi mereka.

Rumah tangga yang damai, tak ada perselisihan, tapi teramat dingin untuk dijalani. Seringkali Ningrum menangis, karena merasa hidup dengan orang asing yang dengan terpaksa harus ia panggil suami.

Broto seolah bercinta hanya karena menginginkan anak. Itupun bukan karena dia memimpikan momongan, tapi sebatas memenuhi tuntutan orang tua dan mertua, juga pandangan masyarakat terhadap mereka.

Sejak hamil tua, Broto tak pernah lagi menyentuh Ningrum. Si kecil hanyalah simbol dan pembuktian pada semua orang, bahwa dia seorang lelaki sejati. Tidak lebih. Sangat menyedihkan.

"Iya, Mas. Maafin Ningrum. Mas mau dibelikan obat anti alerginya?"

"Nggak usah. Nanti aku minta ke rumah sakit." Broto merapikan kemejanya dan mengambil sepatu.

Ningrum datang mendekat dan ingin membantu suaminya mengenakan sepatu.

"Nggak usah, Ningrum. Kayak jaman feodal aja. Udah urus aja si kecil," tolak Broto.

Ningrum diam dan duduk di samping Broto. Dipandanginya lelaki ini. Pria yang sudah membuat dia jatuh cinta sejak awal bertemu. Cinta sebelah sisi.

"Aku berangkat ya. Da." Broto bangkit dan berlalu begitu saja. Tak ada kecupan mesra, ataupun cium tangan layaknya pasangan lain. Bahkan pada buah hati yang sedari tadi memandang polos, tak ada usapan sayang sebagai seorang ayah.

"Iya, hati-hati." Ningrum menjawab lirih. Keras juga nggak akan dijawab, jadi percuma.

Seperti inilah cara mereka menjalani hari demi hari kehidupan rumah tangga. Orang luar melihat adem ayem. Benar juga. Adem itu dingin. Ayem itu melempem.

*****

"Jadi bagaimana hasil pertemuanmu dengan Embun?" Kala sudah duduk bersama Lady dan Pandu di ruangannya.

"Sejauh ini semua berjalan lancar, Pak. Embun akan mempertimbangkan semuanya dalam beberapa hari ini. Ada beberapa poin yang sudah dia ajukan. Pertama, uang jasa lima milyar. Kedua, villa minta di Lampung. Ketiga, minta ketemu dan bicara dulu dengan dokter yang akan menangani semua ini. Mungkin dia juga ingin memastikan keselamatannya, bahwa dokternya profesional, atau mungkin meminta dokter itu mengawasi semua proses, termasuk menjamin keselamatan dia pasca melahirkan. Embun punya kekhawatiran bahwa kita akan membunuh dia setelah melahirkan. Mungkin karena semua proses ini dilakukan secara rahasia dan tidak ada yang boleh tahu selain dari pihak kita. Wajar dia berpikir sejauh itu." Pandu memberikan penjelasan.

"Smart girl. Cerdas, tapi rasional. Dan dia tidak menentang rencana ini, itu bagian terpentingnya," ucap Kala kagum.

"Poin pertama dan kedua, setujui saja. Uang tidak masalah. Villa cari yang sesuai dengan kriteria dan keinginan dia. Pastikan dia nyaman. Ketemu dokter, boleh juga. Kabari, dan akan saya aturkan jadwalnya. Jangan mendadak, karena dokter juga padat jadwalnya." Lady angkat bicara. Wanita itu tersenyum puas. Intuisi dia mengatakan bahwa Embun pasti menerima tawaran itu.

Gadis secerdik Embun tentu tidak akan melewatkan kesempatan baik seperti ini. Hanya menerima beberapa tetes cairan untuk disematkan dalam rahim, bersantai selama sembilan bulan, selesai. Tak perlu susah payah cari uang.

"Bodoh kalau ada orang miskin menolak tawaran seperti ini. Jadi dia pasti menerima tawaran kita," ucap Lady penuh keyakinan.

Kala memandang istrinya. Dia percaya penuh pada intuisi wanita ini.

"Semoga, Bu. Hari ini saya coba temui Embun untuk menyampaikan kabar bahwa kita menyetujui semua permintaannya," kata Pandu.

"Harus ketemu? Jaman sudah modern, telepon saja. Untuk apa menghabiskan waktu," tegas Lady.

"Sekalian mendorong dia untuk segera menandatangani perjanjian, Bu. Negosiasi akan jauh lebih efektif dengan tatap muka." Pandu memberikan alasan logis pada bosnya.

Lumayan bisa ketemu Embun. Enak aja mau menghalangi, pikir Pandu.

"Betul juga. Pastikan dia tidak berpikir terlalu lama." Kala sependapat dengan Pandu.

"Oke, terserah kalian. Tapi menurutku, Embun bukan tipe yang bisa dibujuk. Beri dia alasan yang masuk akal, itu jauh lebih efektif." Lady bangkit berdiri. "Saya masih banyak urusan lain. Bee, gue cabut dulu ya. Bye."

"Hati-hati, Honey."

"Selamat jalan, Bu," ucap Pandu sembari bangkit berdiri dan menunduk hormat.

"Kamu pikir saya mau mati? Pakai selamat jalan segala." Wanita itu berlalu meninggalkan ruangan.

Salah lagi, batin Pandu.

Dia menyesal harus menyapa dengan cara seperti itu.

"Hahaha. Kamu sudah hafal sifat istri saya, kan? Jangan diambil hati. Ada beberapa hal saya perlu diskusi denganmu." Kala melihat semburat masam di wajah Pandu karena ucapan istrinya. Berdua melanjutkan diskusi dan perbincangan terkait pekerjaan.