Chereads / Rahim Untuk Anakku / Chapter 23 - Pintu Hati

Chapter 23 - Pintu Hati

Hidup adalah mimpi untuk orang bijak

Permainan bagi orang yang tolol

Komedi bagi yang kaya

Dan tragedi untuk si miskin

******

"Kenapa saya yang dipilih sama penyewa, dan mereka tahu soal saya dari mana?" Embun tentu saja penasaran.

"Mbak pasti menebak, bahwa penyewa pasti bukan orang sembarangan. Jadi apa yang tidak bisa dilakukan dengan uang? Mengumpulkan informasi, sampai di titik terdalam sekalipun, hingga akhirnya memang Mbak Embun yang dirasa cocok sebagai kandidat. Kami sudah melakukan penyelidikan cukup mendalam tentang kehidupan Mbak Embun selama beberapa hari," jawab Pandu yang segera menyeruput minuman untuk sedikit mengurangi debar di jantungnya.

"Sejauh apa yang kalian tahu?" Embun sedikit berdebar mendengar area pribadinya dimasuki tanpa permisi oleh orang lain.

"Cerita almarhum ayah, pekerjaan, kuliah. Sebatas itu kok. Kalau penyelidikan tidak salah, Mbak Embun dekat dengan Alaska. Tapi sepertinya bukan pacar," pancing Pandu.

"Hari ini kami jadian. Karena itu saya mau tinggal di luar pulau, kalau jadi saya ambil tawaran ini. Saya harus menghindar dari dia. Tidak bisakah saya sekedar telponan selama hamil?"

Embun baru saja jadian, lalu harus tiba-tiba meninggalkan Alaska?

Pasti berat dan menyakitkan untuk Al. Alasan apa yang harus kubuat?

"Terlalu beresiko, Mbak. Sebaiknya kalian putus. Bilang saja belum siap pacaran, dan diterima kerja di luar negeri selama setahun. Kalau dia sungguh-sungguh cinta, pasti mau nunggu selama setahun." Pandu sedikit kecewa mendengar pengakuan Embun soal Alaska.

"Tapi setahun tanpa komunikasi, apa dia bisa? Saya juga tidak mau menyakiti hati dia. Alaska sudah sangat baik." Embun menunduk lesu.

"Kirim email saja. Masih aman. Saya bisa usulkan itu di perjanjian. Saya yakin ada peluang disetujui. Tapi kalau telepon, sms, WA, apalagi video call, jelas tidak mungkin." Pandu mencoba menegaskan. Ia paham situasi yang harus Embun hadapi sekarang.

"Tidak sampai satu tahun. Hamil kan hanya sembilan bulan. Anggap saja tambah 2 bulan dengan semua prosesnya. Just an eleven months," ucap Pandu lagi. "Kalau setelah project selesai ternyata dia sudah berpaling ke hati yang lain, saya rasa Mbak Embun pasti akan dapat laki-laki lain yang jauh lebih baik dari Alaska. Gadis secantik Mbak ini, pasti tidak sulit menemukan pria yang baik dan berkualitas."

"Menemukan yang baik dan berkualitas memang tidak sulit. Yang sulit adalah hati saya, yang tak mudah menerima siapapun," kata Embun.

Dengan pengalaman hidup Embun, tentu sangat tidak mudah untuk menerima seseorang masuk dalam wilayah hatinya, bahkan hanya sekedar teman. Alaska hadir seperti gerimis yang menenangkan.

Tidak terlalu deras hingga membuatnya takut.

Tidak terlalu dingin, hingga membuatnya membeku.

Tidak terlalu berisik, hingga membuatnya riuh.

Kehadiran Al mampu memberikan kesejukan di hati Embun. Seperti gerimis membasahi tanah kering di hati gadis itu. Ibarat gerimis yang mampu menutupi tangis, walau tak sepenuhnya mengikis.

Belum mencinta, bukan berarti mustahil. Belum merindu, tak selalu muskil. Dengan semua kelebihan, kebaikan dan kelembutan pria seperti Alaska, Embun pun mungkin akan luluh, walaupun ia berbeda dengan gadis lain pada umumnya.

"Mbak benar-benar cinta ya sama Alaska?" Pandu harap-harap cemas menantikan jawaban dari bibir ranum itu.

"Dia baik. Dan saya pasti bisa jatuh cinta padanya. Hanya butuh waktu bersama dengan intensitas yang lebih dalam."

Jawaban Embun sudah mampu menegaskan bahwa gadis itu belum mencintai Alaska.

Masih ada peluang bagiku, tekad Pandu dalam hati.

"Fokuskan saja dulu perhatian Mbak Embun pada urusan ini. Masa depan akan jauh lebih baik. Mbak bisa melunasi semua hutang, untuk kemudian meraih impian dan cita-cita seperti yang Mbak katakan tadi. Kuliah, bekerja, hidup dengan tenang. Mbak bisa investasikan sejumlah uang tadi, untuk menjamin kehidupan. Nanti kita bisa sharing. Insya Allah, saya siap membantu."

Pandu bertekad untuk mendekati gadis ini. Terlepas dari dia mengambil kesepakatan sewa rahim atau tidak.

"Makasih ya. Saya akan pikirkan lagi nanti. Pastikan saja semua syarat tadi dipenuhi, dan yang paling penting, saya mau bicara dulu dengan dokternya," tegas Embun.

"Baiklah. Saya segera kabari Mbak Embun." Pandu sedikit merasa janggal. Gadis di hadapannya berkali-kali menekankan tentang dokter.

Apakah dia punya penyakit tertentu?

"Mbak, tapi sebelum perjanjian ditandatangani, memang akan dilakukan tes fisik dan kesehatan. Maaf, jangan tersinggung. Apa Mbak Embun ada penyakit tertentu?"

"Insya Allah tidak ada. Saya sehat. Saya ingin bertemu dokter supaya lebih tahu proses sewa rahim ini seperti apa. Saya perlu mempertimbangkan kesehatan saya juga untuk ke depannya." Embun seolah tahu arah pembicaraan Pandu.

"Oh, syukurlah. Ya, saya bisa paham kalau Mbak Embun perlu berkonsultasi dulu dengan dokter. Satu lagi pertanyaan penting. Tapi amat sangat sensitif sebetulnya untuk ditanyakan. Mohon, jangan tersinggung atau marah," ucap Pandu dengan sedikit ragu.

"Tanya saja. Kalau saya berkenan, saya jawab. Kalau tidak, ya tidak."

Pandu masih memandang Embun dengan ragu.

"Nggak papa. Tanya saja," ucap Embun lagi.

"Maaf banget sebelumnya. Saya lihat Mbak Embun ini gadis yang sangat tertutup dan menjaga diri. Mmmhhh, apakah ... Mbak, aduh nggak enak saya nanya." Pandu menghembuskan nafas panjang.

"Kalau Mbak masih perawan, gimana nanti untuk hamilnya?" Pandu nekat mengeluarkan kalimat tersebut. Segera disambarnya minuman untuk melegakan tenggorokan yang tiba-tiba seperti tercekik.

Embun terkesiap, tidak menduga pertanyaan seperti itu yang akan dilontarkan Pandu. Ia ikut-ikutan menenggak minuman.

"Saya sudah nggak perawan," ucap Embun setelah beberapa saat.

Pandu tak mampu bersuara. Sebaik apapun ditutupi, lelaki itu bisa melihat kilatan luka dalam pandangan dan suara Embun.

Sepertinya dia pernah mengalami hal buruk, kasihan sekali. Pandu mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Ya sudah, semoga semua berjalan baik. Saling memberi manfaat dan tidak ada pihak yang dirugikan. Mbak Embun saya antar pulang sekalian ya." Pandu menawarkan diri.

"Nggak usah repot. Saya naik taksi online saja," tolak gadis itu.

"Nggak perlu sungkan, Mbak. Saya punya kewajiban menjaga keselamatan dan kesehatan Mbak Embun sampai project ini selesai. Sudah bagian dari tugas saya." Tentu saja Pandu mengarang alasan. Tanda tangan perjanjian saja belum.

Embun mengangguk.

Mereka bangkit dari duduk masing-masing dan menuju pintu kafe. Hujan ternyata sudah turun dengan cukup lebat.

"Mbak tunggu sini aja. Saya ambil mobil, biar nggak basah." Pandu melepas jas yang ia kenakan dan mengulurkannya pada Embun.

"Untuk apa?"

"Tutup kepala sama badan. Jangan sampai sakit." Tanpa menunggu jawaban, Pandu segera berlari keluar dan terlihat masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa.

Begitu mobil mendekat, Embun menggunakan jas Pandu sebagai penutup kepala dan tubuh, lalu segera berlari masuk.

"Lumayan deres ya. Makasih ya, Mas. Eh, Pak Pandu," ucap Embun kikuk.

"Panggil mas saja. Lebih enak didengar." Pandu tersenyum.

"Oke. Kalau gitu, panggil saya Embun saja. Jangan pakai mbak," balas Embun.

"Sip." Pandu beringsut mendekat.

"Biar saya pasang sendiri sabuk pengamannya," cegah Embun dengan sigap.

Dia sudah paham, bahwa pria biasa mencari perhatian seperti itu.

Sial, tahu aja. Padahal pengen romantis kayak film Korea, umpat Pandu dalam hati.

Pandu mengangguk sambil tersenyum.

"Hobinya apa, Mbun?" Pandu bertanya sembari menjalankan kendaraan setelah ia mengatur GPS di mobil, sesuai alamat Embun.

"Bentar, kok tahu alamat kos saya?" Embun heran karena dengan santai pria itu mengetikkan alamat kosnya tanpa bertanya.

"Kan sudah masuk di penyelidikan, Mbun." Pandu tersenyum.

"Oh. Baiklah. Hobi, cuman membaca, apapun itu. Saya suka jalan-jalan di alam. Sayangnya tidak banyak kesempatan melakukan itu."

"Nanti setelah project ini selesai, kamu bisa lakukan semua itu. Hiduplah dengan tenang dan bahagia. Saya berdoa yang terbaik untukmu, Mbun." Pandu berucap tulus.