Hanya ingin berjumpa
lalu duduk berdua
bertukar cerita
dan pulang bersama
*****
"Hei, kok malah ngelamun?" Al membuyarkan lamunan Embun.
Ini yang selalu terjadi setiap kali Embun dekat dengan seorang lelaki. Bayangan masa lalu, dua lelaki penting dalam hidup, yang sudah memberikan tato permanen di hatinya berbentuk luka.
"Nggak papa. Al, sebetulnya ada hal yang kamu belum tahu juga tentang masa laluku. Someday pasti aku cerita, tapi tidak sekarang. Nggak masalah kan?" Embun menatap pria di sampingnya yang sedari tadi tidak melepaskan genggaman. Sesekali pria itu mengusapkan ibu jari di tangan Embun yang sedang digenggamnya.
"Kapanpun kamu siap, Mbun. Lagian masa lalu ya masa lalu. Kalau kamu lebih nyaman untuk nggak dibahas, ya udah. Lupakan aja. Nikmati hidup, bahagia, dan lebih mikirin masa depan aja. Masa lalu kan udah terjadi. Yang udah ya udah." Sekilas pria itu melirik Embun, lalu berkonsentrasi lagi pada jalanan di depannya.
"Thanks," ucap Embun lirih.
Kamu terlalu baik. Apakah bisa kita hidup di langit yang sama? Melihat matahari dan bulan yang sama? Tinggal di semesta yang sama, sedangkan aku berbeda.
"Kamu yakin nggak mau ditungguin?"
"Nggak usah, Al. Kamu pulang, istirahat. Nanti aku kabari kalau aku sudah di kosan," jawab Embun.
"Oke deh. And, kita sampai." Al menghentikan mobil tepat di pintu masuk kafe. Dia mengangkat tangan mungil yang sekarang ada dalam genggamannya, mendekatkan ke bibir dan mengecup dengan lembut.
Embun tersenyum melihat sikap Al yang jelas-jelas berubah drastis.
Seperti inikah rasanya diperlakukan dengan lembut oleh seorang pria? Kenapa kau tak hadir sejak dulu, Al. Sebelum hatiku hancur dan berserak. Mungkin aku akan menjadi Embun yang berbeda. Tidak seperti diriku yang sekarang.
Ada getaran aneh mengalir dari kulit tangan yang tersentuh bibir pria itu, menjalar hingga ke seluruh tubuh. Dahsyatnya sebuah kecupan, mampu membuat merinding sekujur badan.
"Kabari aku terus. Udah, buruan masuk. Air hujan udah mau jatuh," ucap Al sembari melihat cuaca yang berubah drastis. Tadi siang sepertinya panas sekali, kenapa tiba-tiba di sini mendung, kata Al dalam hati.
"Air hujan itu turun, bukan jatuh. Yang jatuh itu aku, ke hatimu," ucap Embun tulus. Bagaimanapun dia bukan gadis berhati es. Melihat kesungguhan Al dan cara pria itu memperlakukannya, tentu saja ia tersentuh.
Embun sadar, bahwa ia mulai terjatuh, tergelincir begitu saja ke dalam relung hati seorang pria bernama Alaska. Belum sepenuhnya terperangkap, tapi dia berharap bisa terpenjara selamanya.
"Kamu bikin aku malu." Al tersipu. "Udah buruan sana masuk," ucapnya menutupi rasa malu.
"Gimana mau masuk, tanganku masih kamu pegangin kayak gitu. Lepas dulu dong." Embun terkekeh. Rupanya lelaki itu tidak sadar bahwa tangan dia masih menggenggam begitu erat.
"hehehe, sori. Ya udah, masuk gih," ucap Al sembari melepaskan genggaman tangannya.
"Bye." Embun menyempatkan mengusap rambut di atas telinga Al.
Gadis itu bergegas masuk ke kafe, karena memang hujan sudah mulai turun. Al memandang dengan gemas dari balik kaca mobilnya.
Asem. Sikapmu bikin semriwing. Tapi aku nggak boleh ngapa-ngapain.
Al menertawakan diri sendiri. Biasanya, dia yang cenderung agresif pada gadis yang dikencani. Kali ini, Embun selalu saja memancing rasa dan gairah. Tapi sama sekali tak bisa disentuh. Nasib ya nasib.
Dia menjalankan kendaraan menuju rumah pamannya untuk mengembalikan mobil dan mengambil motor yang ia tinggalkan di sana.
Sementara itu, sesampainya di dalam kafe, Embun mencoba menelepon Pandu. Tentu saja, karena dia belum tahu wajah pria itu. Sempat ia lihat foto profil Pandu, tapi hanya menampilkan gambar gedung tinggi.
"SIlahkan, untuk berapa orang kak?" Seorang pelayan kafe menyapa Embun dengan ramah.
"Sebentar, saya nelpon dulu ya," ucap Embun.
"Silahkan, kak," jawab pelayan itu.
Ditekannya nomor Pandu.
"Ya, Mbak. Sudah sampai ya? Saya di meja ujung kiri. Mbak masuk-" Pandu tidak menyelesaikan ucapannya karena ia sudah bertatap pandang dengan Embun.
Pandu melambaikan tangan memberi tanda. Embun membalas dengan tersenyum seraya menutup panggilan teleponnya.
Embun melangkah mendekati meja Pandu. Pria itu nampak bangkit berdiri untuk menyambut.
"Selamat malam, Mbak Embun. Saya Pandu," ucap pria itu sembari mengulurkan tangan.
Embun menjabat sekilas tangan pria itu.
"Silahkan duduk." Pandu mempersilahkan dan segera mengangkat tangan pada pelayan kafe.
"Ya, mau pesan apa?"
"Mbak Embun, silahkan. Santai aja, pesan apa aja boleh." Pandu memandang takjub pada gadis itu.
Ternyata cantik banget. Lebih daripada fotonya, batin Pandu.
Embun membaca sekilas menu di buku yang disodorkan pelayan kafe.
"Chamomile Tea," ucap Embun singkat sambil memberi senyum.
"Makan sekalian, Mbak. Atau camilan. Saya juga sekalian makan kok. Saya nasi goreng seafood, sama Toraja coffee, plus air mineral biasa." Pria itu sengaja mendahului pesan makanan agar Embun tidak merasa canggung.
"Baik. Mbaknya?"
"Saya ... chicken rice bowl aja sama air mineral biasa juga. Makasih ya," ucapnya ramah.
Gadis ini ramah, walau introvert, pikir Pandu.
Pandangan mereka bertemu, membuat Pandu salah tingkah. Hatinya tiba-tiba berdesir, seolah ada angin dingin yang tiba-tiba meniupnya.
"Jadi, bisa bicara sekarang?" Embun menatap pria itu.
"Nggak enak bicara bisnis kalau minuman belum keluar, Mbak. Sambil nunggu, kita ngobrol santai aja dulu, ya." Pandu tentu ingin lebih mengenal sosok dan kepribadian gadis ini. Dari situ ia juga akan mampu menganalisa cara paling tepat untuk membujuknya menerima tawaran.
"Mbak Embun aktivitasnya apa sekarang?" Pandu membuka percakapan.
"Saya kuliah, sambil kerja di Crown Hotel di bagian waitress. Dari mana Mas Pandu tahu tentang saya, nomor saya, dan-"
"Nanti saya ceritakan setelah makanan dan minuman kita datang. Biar bisa santai bicaranya." Pandu memotong pembicaraan. Dia tidak ingin gadis ini tahu lebih banyak, sebelum ia sendiri mampu kumpulkan informasi tentang Embun.
Pandu butuh beberapa saat untuk menilai Embun dari sikap, gaya bahasa dan gerak tubuh.
"Sudah lama kerja di sana?" Pria itu mencoba bicara setenang mungkin untuk tidak menandakan bahwa ia sedang mengorek informasi pribadi.
"Hampir dua tahun. Sejak lulus SMA." Embun jadi merasa seperti calon karyawan yang sedang diwawancara. Hanya berhak menjawab tanpa berhak bertanya.
"Boleh saya tahu, apa keinginan dan cita-cita yang ingin Mbak Embun wujudkan dalam hidup ini? Sori, ini bukan kepo pada kehidupan pribadi. Anggap saja kita sedang wawancara kerja. Karena memang kita ketemu malam ini, tidak jauh dari urusan kerjaan dan bisnis." Pandu menjelaskan perlahan.
Sebagai seorang pria, bertemu dan berhadapan sangat dekat dengan gadis secantik Embun, tentu sedikit merusak ketenangan batin.
"Saya hanya ingin kuliah selesai, bekerja dengan tenang. Itu saja untuk saat ini. Saya hidup tidak muluk-muluk." Tatapan Embun tetap lembut tapi tegas.
"Sesimpel itu?" Pandu sedikit terkejut. Gadis secantik ini mestinya layak untuk punya mimpi yang lebih tinggi, lebih indah. Jadi artis mungkin. Atau menikah dengan pria kaya yang mampu membuatnya hidup glamour.
Jawaban Embun makin memikat hati Pandu.
Tipe wanita idaman untuk dijadikan istri, pikirnya.
"Sudah punya pacar?" Pria itu memberanikan diri untuk bertanya. Ia sendiri ragu, ini pertanyaan penting terkait pekerjaan, atau demi memuaskan hasrat pribadi dia?
"Haruskah saya jawab? Karena tidak relevan dengan urusan pekerjaan. Itu kehidupan pribadi saya," tegas Embun.
"Nggak usah dijawab kalau Mbak Embun tidak berkenan." Pandu jadi salah tingkah.