[Dayana POV]
Barusan papa menelepon, katanya malam ini dia tidak akan pulang ke rumah karena besok harus pergi ke Surabaya untuk mengurus bisnisnya. Papa itu orang yang super sibuk. Selain mengurus bisnis, dia juga orang terpandang yang sering diundang ke acara-acara tertentu, contohnya seminar.
Saat kami masih kecil, beliau memang sudah sangat jarang ada di rumah, namun beliau selalu menyempatkan diri untuk pulang.
Saat ini sudah pukul sembilan malam. Namun aku belum mengantuk. Meski mataku bengkak karena habis menangis, itu tak membuatku ingin tidur sedikitpun. Terlebih, aku belum melihat kepulangan Eros. Dari kepergiannya sejak siang, Eros belum pulang, bahkan tidak memberinya kabar sama sekali. Naas. Pertanda Eros sangat marah.
Kamu dimana? Aku khawatir kak.
Persetan dengan ego, karena cemas aku pun meneleponnya, namun tak kunjung diangkat. Berkali-kali aku mengirim pesan, tetap tidak dibalas, bahkan dibaca pun tidak.
"Eros brengsek! Balas pesanku!" Entah sudah berapa kali aku mengumpat.
Aku mendengus, mencoba tenang, merebahkan diri dan memejamkan mata. Batinku menyuruh agar tidur, namun itu sulit. Apalagi ketika isi kepalaku sepenuhnya telah terisi oleh kecemasanku pada Eros. Refleks aku membuka mata dan mengecek ponselku lagi. Hasilnya sama, tetap tidak ada balasan dari Eros. Berulang kali aku berada dalam keadaan yang sama. Memejamkan mata--terbangun--mengecek ponsel-- lalu mencoba tidur lagi--bangun lagi--mengecek ponsel lagi. Begitu terus. Hingga tepat pukul dua tengah malam, aku mendengar suara gerbang yang dibuka, dibarengi deru motor yang mendekati rumah.
Semua pelayan sudah tertidur saat itu. Begitupun Rion yang memiliki tempat tinggal tetap di rumah sederhana yang berdiri di belakang rumah megahku ini.
Dengan langkah cepat, aku menuruni tangga untuk membukakan pintu. Yang membingungkan adalah, aku melihat Eros sudah terlentang di lantai teras sambil meracau tak jelas.
"Kak Eros? Kenapa tiduran diluar?" Aku berusaha menyadarkannya dengan cara menepuk-nepuk kedua pipinya. "Kak Eros mabuk ya?" tanyaku.
"Hebat banget gue selama ini bisa ngomong sama 'Langit'." Dia meracau.
"Orang aku Dayana, bukan Langit!"
"Padahal langit itu tinggi tapi bisa gue sentuh..." Lalu Eros tertawa, entah apa yang dia tertawakan. Eros seolah memiliki dunia imajinasinya sendiri.
Aku mendesah berat lantas mencoba membuatnya berdiri. Tubuh Eros sangat berat dan lebih besar dari tubuhku, butuh usaha ekstra untuk membopongnya sampai ke kamarnya di lantai atas.
Sebisa mungkin aku tidak membuat kegaduhan, karena kalau sampai ada pelayan yang melihat Eros dalam kondisi mabuk berat seperti ini. Dan hal itu sampai terdengar ke telinga papa. Di lain hari, Papa pasti akan habis memarahinya. Aku tidak mau Eros mendapat hukuman.
Tiba di kamarnya, aku pun segera membanting tubuh Eros ke kasur.
"Kakak berat sekali."
"Untung masih nginjak bumi."
"Astaga ... kenapa harus mabuk segala sih?!" Aku mendumal seraya melepas sepatu yang Eros kenakan. Sekarang aku beralih untuk melepaskan jaketnya karena aku melihat kalau Eros seperti tengah merasa kepanasan. Mungkin efek alkohol? Seumur hidup aku belum pernah merasakan minuman memabukkan itu. Meski banyak dari teman-temanku yang sudah pernah mencobanya, mengatakan kalau minuman itu sangat nikmat. Aku tetap enggan mencobanya, belum memiliki keberanian ditambah Papa melarang keras hal itu.
Ketika selesai melepas jaket Eros dan menaruhnya di lemari, juga meletakkan kunci motornya ke nakas, aku hendak keluar dari kamar itu sebelum suara berat dan dalam Eros menyapa telinga.
"Sayang, jangan pergi."
Aku berbalik, menatap mata Eros yang masih terpejam.
"Aku bukan kak Sarah kak," kataku meski tak yakin dia akan mendengarnya atau tidak dalam keadaan mabuk berat seperti itu.
"Kamu Dayana kan?"
Dengan ragu aku mendekat. "I-iya, aku Dayana. Kenapa?"
"Berarti bener dong! Kamu sayangnya aku!" racaunya yang membuatku terdiam. "Sini, aku pengen peluk!"
"Jangan aneh-aneh deh kak." Aku hendak pergi, namun sebuah tangan menarikku cukup kencang hingga membuatku terjatuh dalam dekapan Eros.
Mata Eros tidak terpejam lagi, namun menatapku dengan sayu. Wajahnya memerah dengan aroma alkohol yang menguar kuat di sekitar mulutnya.
"Lepas kak, aku mau ke kamarku."
"Jangan sekarang. Nanti, setelah kamu jadi milikku."
Aku menarik napas. "Kakak ngomong apa sih? tidak jelas."
"Mau diperjelas?" Aku menatap matanya yang menatapku lekat. Mata itu, kini tampak sedikit berkabut. Aku yang berada di atasnya, merasa kalau aura Eros semakin memanas. Terlebih ketika aku merasa kalau Eros secara perlahan mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Dengan kesadaran penuh, aku menarik diriku dari dekapannya. "Barusan kakak mau ngapain ?" tanyaku, salah tingkah.
Eros bangun, dia duduk di tepi kasur, menghadapku. Menatapku yang berdiri cemas dengan ... entahlah, aku terlalu bingung untuk mendeskripsikannya.
Tiba-tiba kedua tangan kekarnya menyentuh pingganku, menarikku hingga mendekat.
Aku yang saat ini masih mengenakan crop top dan hotpantas merah marun yang memperlihatkan perut rataku, sontak merasa geli ketika Eros dengan tak sadar sudah menciumi perut rataku itu.
Semula aku terkejut namun aku mulau merasa hanyut dalam belaiannya. Aku hanya bisa terpejam merasakan gelanyar aneh yang terasa menggelitik perut. Sensasi saat bibir tebal Eros yang lembut, menciumi setiap inci perut rataku membuatku ingin mendesah geli.
Ya Tuhan, apakah ini pelecehan? Tapi aku suka ...
Sejujurnya, setiap minggu, ada saja hari dimana aku memikirkan untuk melakukan hal ini dengan Eros. Saling memagut bibir satu sama lain hingga bergelung di bawah selimut yang sama tanpa memakai sehelai pakaianpun diiringi erangan erotis kami berdua. Aku menginginkannya!
Aku tahu Eros kakakku, aku juga tahu jika kami berbuat seperti itu, maka kami akan berdosa. Aku tahu Eros begini karena dia sedang dikuasai oleh rasa mabuk, dan hanya aku yang masih tersadar seratus persen di dalam kamar ini. Akan tetapi, entah bisikkan setan darimana. Tanganku malah dengan sengaja memegangi pundaknya, sambil sesekali aku menekan kepala Eros agar semakin lama mencium perutku. Saat merasa geli, aku meremas rambutnya yang sedikit ikal.
Aku terengah ketika Eros selesai menciumi perutku. Saat ini ia mendongak menatapku dengan wajah seolah menginginkan sesuatu dariku. Aku yang tahu apa maksudnya, perlahan mengangguk. Siasat iblis memang kuat. Itu membuatku perlahan memposisikan diri, terduduk di atas pangkuan Eros.
Aku memiringkan wajah, mulai mendekatkan bibirku ke bibirnya. Mata kami mulai terpejam.
Jantungku seolah meledak ketika pada akhirnya, sesuatu yang menjadi imajinasi liarku selama ini, sekarang telah tercapai.
Aku berciuman dengan Eros, kakakku.
Meski gerakkanku masih kaku, aku terus mencoba melumat bibir Eros. Tetapi tetap saja Eros paling mendominasi, dia sangat ahli dalam mencium ternyata. Tangan Eros kini melingkar di pinggang kecilku, sesekali meremas bokongku yang belum pernah tersentuh oleh tangan lelaki manapun.
Kedua tanganku juga tak tinggal diam, aku menangkup pipi Eros, sesekali menekan kepalanya agar ciuman kami semakin dalam. Gigi Eros mengginggit bibir bawahku membuatku meringis, kesempatan itu tak dibuang, Eros langsung memasukkan lidahnya ke dalam rongga mulutku. Lidahnya yang profesional mulai mengabsen setiap gigi yang ada dimulutku. Aku membalasnya, dengan beradu lidah.
Aku tak sadar, kalau ternyata crop top yang aku kenakan telah dilempar entah kemana oleh Eros. Bikini hitam yang aku kenakan juga sudah terlepas, membuat payudaraku terpampang nyata di depan wajah nafsu Eros.
Seperti dugaanku, Eros langsung meraup puting payudaraku yang kiri. Sementara yang kanan, sudah asik ia remas. Payudaraku yang selama inu aku jaga, yang tidak pernah kubiarkan disentuh oleh lelaki manapum, kini kuserahkan sepenuhnya pada Eros.
"Akhh ... Engh ... Eroshh ... "
Aku melakukan seperti apa yang pernah ada di mimpiku. Aku tidak akan mengecewakan Eros dan diriku sendiri. Aku rela melakukan apapun untuknya.
Eros tidak banyak bicara, dia hanya fokus membuatku mengerang dan terus mengerang. Aku meremas bahunya kencang, badanku meliuk mengejang ketika sesuatu yang baru pertama kali aku rasakan, keluar dari lubang kemaluanku dari balik hotpants yang aku kenakan.
Payudaraku naik turun saat napasku terengah. Aku memandangi Eros sayup, lalu melingkarkan tangaku ke lehernya, memeluknya.
"Kakak, aku lupa sesuatu," bisikku disela terengah. Mungkin ini akan terdengar seksi di telinga Eros.
Ada sensasi geli saat puting gunung kembarku yang menegang, menempel pada dada bidang Eros.
"Hhm?" Suara serak Eros membalasku.
"Aku masih menstruasi." Aku mengulum bibirku malu. Cukup lama dia terdiam seolah memikirkan sesuatu, lalu tangannya meraup pipiku, membuatku memandangnya meski malu-malu.
"Oral sex, bagaimana?"
"Pakai mulut?" beoku. "Bagaimana caranya?"
Eros menyeringai.
Selama ini aku belum pernah tahu ada seks memakai mulut. Aku hanya tahu kalau Oral itu artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan mulut dan sex artinya seks.
"Turun dulu," suruh Eros. Membantuku turun darinya. "Jongkok." Aku menurut. Berjongkok di hadapannya. Kini ia mulai membuka kancing serta relseting celana jeans yang ia kenakan.
Mataku terbelalak dengan mulut menganga ketika melihatnya mengeluarkan miliknya yang sudah mengeras itu.
'Besar sekali... '
Aku yang semula bernafsu ingin memuaskan Eros langsung berbalik takut. "Kakak, aku tidak bisa..." akuiku, jujur. Dengan mata yang melirik ke arah lain padahal milik Eros yang selama ini aku damba-dambakan dan aku terka-terka seberapa besar ukurannya, sudah berdiri gagah di hadapanku.
"Kenapa? Takut?"
"Aku ... engh, aku... sariawan! Iya! sariawab! Jadi, maaf aku tidak bisa melakukannya. Aku pergi ke kamarku dulu ya, sebaiknya kakak tidur saja," ucapku seraya mengambil crop top milikku yang tergeletak di lantai, lalu buru-buru keluar dari kamar Eros yang menatapku sendu.