Chereads / Bench in the Park / Chapter 4 - Kutunggu di Bangku yang Sama

Chapter 4 - Kutunggu di Bangku yang Sama

Seorang pria melangkah menerabas rumput liar dan semak belukar sembari menggiring sepeda di sisi kanan. Ia muncul dari arah berlawanan dari keberadaan si gadis di balik pohon.

Pria itu memarkirkan sepedanya di belakang bangku putih kusam, lalu ia duduk di atas bangku sembari pandangan tertuju ke permukaan air danau yang beriak-riak kecil.

Gadis itu menghela napas lega.

Terima kasih Tuhan, Kau memenuhi doaku…

Itulah sosok yang setahun belakangan menarik perhatiannya. Sosok yang sama yang hampir setiap hari singgah ke tepian danau itu. Sosok yang sama yang selalu menjadikan bangku taman itu sedikit lebih berarti. Dan sosok yang sama yang selalu menghabiskan waktu sore hari dengan melamun tanpa berbuat satu apa pun selain duduk di atas bangku itu hingga senja menjelang.

Hari ini sang gadis berencana untuk menemui langsung pria di atas bangku itu. Berkenalan lebih dekat, dan mungkin akan ada sesuatu yang bisa ia lakukan nanti bersama pria tersebut. Sejauh ini, ia tidak melihat hal buruk dari pria itu, atau hal aneh lain yang dilakukannya. Tidak sama sekali selain keanehan pria itu sendiri yang selalu melamun di tempat yang sama, dan di waktu yang sama pula.

Perlahan ia keluar dari persembunyiannya. Melangkah setengah malu-malu, dengan dada berdebar-debar, sang gadis mendekati pria yang duduk di bangku taman sembari melamun.

Meskipun si pria sebenarnya mendengar langkah kaki seseorang yang datang mendekatinya, namun ia terlihat tak hendak menggubris. Tatapannya tetap tertuju ke permukaan air danau yang berkejaran menuju tepian.

"Hai," sapa si gadis.

Si pria hanya melirik sesaat tanpa gerakan berarti dari tubuhnya sama sekali sebelum akhirnya kembali tenggelam dalam keheningannya sendiri, seperti tadi.

"Boleh aku duduk di sampingmu?"

Tidak ada tanggapan, detik selanjutnya, si pria bergeser jauh ke kiri. Sang gadis tersenyum, dan memutuskan untuk duduk di atas bangku tersebut di samping kanan dari si pria asing.

Lima menit pertama berjalan tidak terlalu baik. Hanya keheningan saja yang menaungi kedua orang di atas bangku kusam tersebut. Sang gadis berkali-kali melirik pria di samping kirinya itu, sampai sejauh itu masih belum ada reaksi apa-apa dari pria itu sendiri, ia masih asyik dengan keheningannya memandang air danau yang jernih.

Tepian danau di hadapan keduanya dipenuhi bunga-bunga liar yang menghadirkan rona kuning, oranye, merah, bahkan ungu di antara dedaunan yang hijau.

"Aku sering melihatmu datang ke taman ini."

Pria itu sedikit kaget, ia memandang gadis tersebut dengan cukup lama, seolah menelisik kebenaran di sana.

Hal ini membuat sang gadis menghentikan ucapannya, sebelum menghadirkan satu senyuman manis di wajahnya yang tirus.

"Sepertinya, kau suka dengan keindahan alam di danau ini."

"Apa kau sengaja menguntitku?"

Akhirnya, ujar sang gadis di dalam hati.

Pria itu akhirnya bersuara juga. Suara yang terdengar berat dan sedikit serak. Apakah dia tidak tahu jika laki-laki dengan tipikal suara demikian akan menjadi incaran banyak wanita? Lagi-lagi gadis itu tersenyum manis.

"Hanya kebetulan saja," tapi sebenarnya lebih daripada itu, harap sang gadis di dalam hati. "Aku tinggal di dekat sini. Maaf, jika kau merasa terganggu."

Meski laki-laki itu hanya diam saja, namun dari helaan napasnya yang panjang sang gadis bisa memperkirakan hal tersebut. Yaa, pria itu mungkin saja memang terganggu atas kehadiranku.

Dan detik selanjutnya si pria berdiri dari duduknya, melangkah setengah tak bersemangat menuju sepeda gunung yang terparkir di belakang bangku.

Gadis itu menekur, menghela napas panjang berulang-ulang. Benar, pikirnya, dia memang tersinggung. Setidaknya, merasa terganggu.

Dan saat laki-laki itu akan menggiring sepedanya berlalu dari kawasan tersebut, sang gadis cepat berdiri menatap si lelaki dengan sedikit harapan di sana. Harapan untuk bisa mengenal lebih jauh.

"Apakah besok kau akan ke sini lagi?"

Sejenak laki-laki itu menunduk, lalu menatap sang gadis. "Kau terlihat masih sangat muda, apa kau tidak punya kegiatan lain—kuliah, misalnya?"

Meski pertanyaan itu sedikit terkesan bernada penolakan, namun hal itu saja sudah membuat sang gadis merasa senang. Ia menggeleng.

"Aku tidak seberuntung itu."

"Tidak beruntung, ya…?"

Kembali laki-laki itu menunduk memikirkan satu-dua hal sebelum akhirnya memutar arah dan membimbing sepedanya untuk segera meninggalkan kawasan bangku taman tersebut.

"Jam tiga sore besok aku akan di sini lagi," ujar sang gadis dengan sedikit bersemangat.

Laki-laki itu sejenak menghentikan langkah kakinya. Lalu menoleh pada si gadis sebelum akhirnya berlalu dari sana tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Tapi gadis itu justru tersenyum lebih lebar. Bagaimanapun, dari lengkungan tipis di bibir pria tersebut barusan, ia sangat yakin jika laki-laki itu pasti akan kembali lagi mendatangi bangku taman ini esok hari.

Sosok laki-laki itu semakin menjauh, dan kerapatan pepohonan sedikit menghalangi pandangan si gadis untuk terus bisa memerhatikan sosok tersebut.

Sekali lagi ia tersenyum, memandang langit tinggi nan membiru, lalu turun ke permukaan danau yang bersih dan jernih, tersenyum lagi kala mendapati di ujung sana seorang anak tertawa riang dengan sang ayah yang menyipratkan air danau ke wajah sang anak.

Keramaian itu…

Didahului helaan napas yang dalam, sang gadis akhirnya berlalu dari taman tersebut. Kuntum-kuntum bunga mawar menjadi bukti atas kegembiraan hati sang gadis. Ia menyentuh setiap kuntum yang berdekatan dengan dirinya seiring langkahnya semakin menjauh.

***

"Kamu pergi ke danau itu lagi?" tanya seorang wanita setengah baya di tengah kesibukannya mempersiapkan hidangan makan malam di atas meja.

Tidak ada jawaban dari mulut pria itu, ia terus menuntun sepedanya menuju bagian belakang.

"Keisha?"

Sama, panggilan itu pun tidak digubris sosok tersebut. Wanita setengah baya menatap punggung laki-laki itu dengan kesenduan yang nyata.

Wanita itu bernama Mutiya, usianya sudah mencapai setengah abad. Dan laki-laki tadi tidak lain adalah anak kandungnya sendiri, bernama Keisha Kurnia, berusia dua puluh delapan tahun. Hanya mereka berdua saja yang tinggal di rumah tersebut kini sebab ayah Keisha bekerja di luar kota—lebih tepatnya kota Jakarta—dan baru pulang hanya sekali dalam lima belas hari.

Keisha memiliki seorang adik perempuan, hanya saja sang adik sudah menikah beberapa tahun yang lalu dan diboyong ke kota berbeda oleh suaminya.

Bukan tidak beralasan mengapa Keisha bersikap demikian itu.

Jauh sebelum ini, Mutiya tahu pasti sang anak sulung adalah anak yang ceria, mudah bergaul dengan siapa saja. Nilai-nilai pendidikannya boleh dikatakan di antara yang terbaik, dan juga berprestasi dalam bidang olah raga, itu sebabnya Keisha memiliki postur yang sedikit jangkung dengan tubuh yang terlihat lebih atletis.

Hanya saja, semua itu berubah semenjak delapan tahun yang lalu.