Chereads / Bench in the Park / Chapter 8 - Kenangan

Chapter 8 - Kenangan

Delima dan ibunya melangkah beriringan menuju balai-balai di mana sang nenek sudah menunggu sedari tadi. Masing-masing meraih sebuah pakaian yang tergeletak di sisi tepi lantai bambu. Sang ibu memilih pakaian tipis mirip kimono lebar dan panjang berwarna ungu pudar, Delima pula memilih yang berwarna putih.

"Gimana tehnya, Nek?"

Sang nenek tersenyum manis kepada Delima yang menghampirinya. Gadis itu duduk di bangku bambu yang panjang, sementara sang ibu duduk di bangku yang pendek berhadapan dengan sang nenek.

"Sangat nikmat. Kau sudah sepintar Ibumu dalam meracik teh ini, Sayang."

"Syukurlah," ujar Delima tersipu.

Sang gadis meraih dua cangkir keramik yang tersisa, satu ia letakkan di hadapan sang ibu, satunya lagi di hadapan dirinya sendiri. Ia meraih teko tinggi berbahan sama dengan cangkir tersebut, menuangkan isinya memenuhi cangkir di hadapan sang ibu.

Kepulan uap tipis dengan aromanya yang khas menyapa penciuman sang ibu juga Delima sendiri.

"Terima kasih, Sayang," kata sang ibu.

Delima lalu mengisi cangkir untuk dirinya sendiri. "Nenek mau nambah?"

Sang nenek tersenyum mengangguk. Delima segera mengisi cangkir yang disodorkan sang nenek kepadanya.

Keluarga tiga generasi itu sama-sama menikmati teh madu di malam yang hening itu, meski tidak sepenuhnya dalam keheningan total sebab nyanyian serangga malam juga mengiringi suasana yang sangat menenangkan itu. Simfoni alam yang mengalun indah, dan itu gratis.

"Gimana dengan persediaan teh yang ada?" tanya sang nenek kemudian. "Aku lihat mahkota dewa buahnya masih hijau dan kecil-kecil. Apa tidak terawat?"

"Delima baru memanen dua hari yang lalu, Bu," kata ibunya Delima kepada sang nenek. "Wajar saja yang tertinggal buah yang masih muda-muda."

"Aah," sang nenek mengangguk-angguk, kembali menyeruput teh di tangannya.

"Nenek tenang aja," ujar Delima pula. "Kita masih punya persediaan kulit kering mahkota dewa, Nek. Ada di laci di dapur, ermm… masih tiga toples, kok."

"Baguslah."

"Tapi…"

"Eeng…?" Sang nenek menatap wajah cucunya yang merah. Memerah sebab diterpa uap hangat dari teh istimewa yang mereka nikmati itu. "Tapi apanya?"

"Madunya yang tinggal sedikit," jawab Delima. "Kurang dari setengah toples. Maaf, Nek. Delima belum sempat mencari lagi."

"Apa lebah-lebah itu masih bersarang di sana?"

"Entahlah, Bu," kata Delima. "Delima juga sudah lama tidak berkunjung ke sana. Besok Delima cari tahu, sekalian mengisi toples madu yang sudah kosong."

Dan kembali mereka melanjutkan menikmati suasana malam dengan secangkir teh madu di dalam cangkir masing-masing.

*

"Bu?"

"Hemm…"

"Boleh Delima tanya satu hal sama Ibu?"

Delima membalikkan tubuh, berbaring menelentang di atas pembaringan di dalam kamarnya sendiri. Jari jemari tangan sang ibu yang lentik dan penuh kehangatan masih setia mengusap-usap kepala dan rambutnya. Sang ibu duduk bersandar punggung ke dinding, menemani tidur sang buah hati.

Malam ini Delima terlihat lebih manja, dan ingin ditemani sang ibu hingga ia tertidur nanti. Sang ibu memenuhi keinginan putrinya itu.

"Kamu mau bertanya soal apa, Sayang?"

"Ibu gak pernah menceritakan soal Ayah…"

Hening sejenak.

Delima hanya tidak ingin membuat sang ibu merasakan sesuatu yang tidak ia inginkan terjadi, meskipun Delima yakin sang ibu lebih tegar dari dugaannya sendiri.

"Seperti apa Ayah, Bu?" tanya Delima lagi. "Laki-laki seperti apa yang sanggup merebut hati Ibu?"

Sang ibu tersenyum sangat manis, dan Delima tahu itu, sang ibu pasti masih mengingat jelas seperti apa wajah ayahnya Delima, juga segala sifat yang ada di dalam diri laki-laki yang sama sekali tidak pernah dijumpai oleh Delima tersebut.

"Ayahmu…" sang ibu menghela napas dalam-dalam.

Tidak ada hal yang berat atau menyakitkan dari itu semua yang bisa didengar oleh Delima sendiri. Tidak sama sekali.

"Ibu hanya bisa bilang: Ayahmu, laki-laki yang menyenangkan."

"Terus?"

"Yaa, itu."

"Aah, Ibu," sahut Delima. "Gak asyik, iih. Masak segitu aja?"

Delima merengek manja sehingga memancing tawa halus nan menenangkan dari mulut sang ibu.

"Ayo dong, Bu," bujuk Delima lagi seraya meraih tangan sang ibu, mengecup tangan itu, dan memeluknya dengan erat ke dada. "Kasih tahu Delima lagi, seperti apa Ayah?"

"Iya, iya, iya."

Sang ibu mencubit mesra hidung sang anak.

"Ermm… Ibu bertemu Ayahmu saat dia sedang memancing di atas batu, di tepian pantai sana."

"Jadi Ayah seorang nelayan?"

"Bukan," sang ibu menggeleng dalam senyuman. "Dia hanya senang memancing, itu saja. Ayahmu seorang arsitek."

"Arsitek?" ulang Delima. "Pekerjaan seperti apa itu?"

"Seorang perancang bangunan."

"Ooh…"

"Ayahmu menerima bayaran dari orang-orang yang memintanya untuk merancang bangunan sesuai keinginan orang yang membayar."

"Terus?"

"Kalau ibu tidak salah ingat, Ayahmu sekarang tinggal di kota Jakarta."

"Ooh, di pulau Jawa sana?"

"Begitulah," angguk sang ibu lagi. "Bersama keluarga barunya."

"Ibu tidak pernah mencari tahu?" tanya Delima yang sedikit penasaran, meskipun ia tahu pasti semua itu mustahil. "Atau, Ayah tidak pernah datang ke sini lagi?"

Sang ibu tersenyum menatap ke dalam kedua bola mata Delima. Lalu menggelengkan kepala.

"Kamu pasti tahu kenapa kan, Sayang?"

Delima mengangguk, tersenyum. "Terus?"

"Terus apanya?"

"Yaa Ayah dong, Bu," Delima merajuk lagi. "Laki-laki seperti apa Ayahku itu?"

"Ayahmu… berkulit hitam manis. Dia lelaki yang sangat tenang, sangat penyayang. Dan yang paling penting bagi Ibu, Ayahmu itu orang yang sangat-sangat pengertian dengan keadaan kita ini. Itu yang bisa ibu katakan kepada kamu, Sayang."

"Ganteng?"

Sang ibu mengangguk lagi dengan senyumannya.

"Gagah?"

Sang ibu mengangguk lagi, dan kembali mencubit hidung sang anak.

"Waah…" Delima tersenyum-senyum membayangkan rupa sang ayah di dalam kepalanya. "Berarti, Ayah lelaki idaman para wanita, dong?"

Sang ibu tertawa tanpa suara, menggeleng-gelengkan kepalanya menangapi ucapan sang anak. Ia menjulurkan kedua tangannya, memeluk sang anak dengan sangat erat dan penuh kehangatan.

***

Suara tawa seorang bocah laki-laki terdengar begitu bergema, lalu ditingkahi pula dengan suara-suara tawa dari bocah-bocah lainnya, cewek cowok, satu per satu bermunculan di antara balon-balon yang berjatuhan perlahan.

Tawa mereka semua, tatapan mereka yang merendahkan itu, gerak tubuh mereka yang sangat-sangat menghinakan itu, membuat wajah Keisha merah padam dengan kebencian yang mendalam. Tapi yang bisa ia lakukan kini hanyalah menutup kupingnya agar tawa-tawa ejekan itu tidak terdengar.

"Keisha bodoh!" bocah laki-laki itu menunjuk-nunjuk Keisha di sela tawanya yang berderai. "Masa' ungu dibilang biru?"

Bocah-bocah yang lainnya semakin tertawa kencang.

"Kamu tahu nggak ini warna apa?" tanya seorang bocah perempuan pula seraya mengacungkan balon berwarna hijau ke hadapan Keisha.

Kenyataannya, Keisha tidak bisa menjawab hal sesederhana itu. Sebab, di matanya warna itu justru berbeda. Sangat berbeda. Warna hijau di mata anak-anak normal akan menjadi warna seperti warna krem atau kuning pudar di mata Keisha.