Mungkin, pikir Delisa, kelembutan dan kesabaran Delima diturunkan dari ayahnya. Itu bagus, pikirnya lagi, setidaknya hal sederhana seperti itu menjadi pembeda Delima dengan dirinya, sang nenek, dan yang lainnya. Mungkin.
Tapi, mungkin juga hal tersebutlah yang mempengaruhi Delima secara tidak langsung untuk memilih jalan yang sekarang, tidak seperti dirinya maupun cara yang ditempuh sang nenek. Padahal, tidak banyak waktu tersisa bagi sang buah hati. Hanya sebelas bulan lagi saja. Dan jika gagal, sampai saat itu tiba dan tidak terjadi sesuai keinginan, maka habislah sudah.
Seperti buih di lautan yang hanya muncul sekejap, lalu menghilang dari pandangan.
Delia melirik Delisa dari ekor matanya. Ia tersenyum, setidaknya, ia bisa meraba apa yang sedang dipikirkan sang anak.
"Kau menyesal tidak membuat dia melupakan dirimu?"
Delisa tersenyum lagi mendengar pertanyaan sang ibu. Ia mengangkat wajah, memandang langit pagi yang lumayan cerah, namun suhu di sekitar rumah itu justru lebih sejuk.
"Aku tidak akan pernah mau melakukan hal gila itu seperti Ibu dan yang lainnya."
"Begitu, ya?"
"Lagipula, dia laki-laki yang sangat baik dan sangat pengertian. Untuk apa aku harus merenggut kenangan indah yang dia miliki bersama diriku?" Tatapan itu kembali tertuju pada sosok di dalam kolam.
Delia tersenyum lebar, sebab ia bisa melihat tatapan Delisa dipenuhi kerinduan yang mendalam. Yang tentu saja ia tahan-tahan agar tidak merusak segala hal yang berlaku bagi kaum mereka.
Setidaknya, sampai di sini Delia cukup bangga dan kagum pada Delisa. Membiarkan kenangan itu berada di dalam diri laki-laki tersebut, namun ia sendiri justru setengah mati menahan kerinduannya.
Ini, bukanlah sesuatu yang mudah.
"Tapi itu tidak menjadi jaminan jika dia tidak akan bercerita kepada yang lain, bukan?"
"Memang. Dan kenyataannya, apa Ibu pernah mendengar kabar angin tentang aku dan dirinya dari mulut seseorang?"
"Mungkin tidak selama ini. Siapa yang tahu ke depannya bagaimana?"
Delisa tertawa pelan sembari kedua tangan saling menggenggam di pangkuannya sendiri. Sang ibu boleh saja tidak memiliki keyakinan itu pada laki-laki mana pun, selalu punya keraguan dengan makhluk Tuhan yang satu itu, tapi tidak dengan dirinya terlebih kepada ayah kandung Delima.
"Mungkin Ibu benar. Tapi aku sedikit pun tidak meragukan apa yang pernah diucapkan Seta."
"Yaa, kurasa kau memang lebih beruntung dariku."
Kenyataanya, gumam Delia di dalam hati, laki-laki itu memang tidak sekalipun terlihat lagi di kawasan tersebut setelah mengetahui kehamilan Delisa, dan berjanji untuk tidak lagi berusaha mencari-cari keberadaan Delisa, lebih-lebih benih yang sedang bersemayam dan tumbuh di dalam rahim Delisa, nantinya.
Tapi tetap saja, pikirnya lagi. Mencari laki-laki yang memegang teguh janjinya sendiri di zaman sekarang ini—seperti ayah kandungnya Delima itu—bukanlah satu perkara mudah.
Kucing mana yang akan menolak bila dihidangkan ikan ke hadapannya?
"Sayang sekali."
"Maksud Ibu?"
"Yaa, sangat disayangkan. Meski aku terlihat seperti wanita yang sangat membenci laki-laki, setidaknya aku memberikan hak mereka."
"Bu," sahut Delisa dengan wajah yang tiba-tiba murung, menunduk. "Jangan mengungkit hal yang satu itu."
"Kenapa? Kau takut dibilang egois?"
"Aku…" kembali Delisa menatap langit tinggi nan membiru, memejamkan matanya yang tiba-tiba menghangat. "Aku tidak kuasa, Bu."
"Yaa, aku tahu itu. Dan kau juga seharusnya lebih tahu lagi: Dengan segala syarat itu, dia tidak akan pernah bisa memiliki keturunan lagi."
"Cukup, Bu!" Delisa tertunduk lagi. "Ak—aku tidak tega menolak keinginannya itu, Bu. Sungguh."
"Yaah…"
Delia tersenyum lebar mengingat kembali betapa ayah kandung dari cucunya tersebut mengiba-iba untuk tetap bisa mengingat kenangan di malam tersebut. Kenangan tentang dirinya dan Delisa di tepian pantai itu.
"Apa yang bisa kukatakan? Sudah menjadi sifat dalam generasi keluarga ini, keras kepala."
Setidaknya, ucapan sang ibu mampu menghadirkan senyum di bibir Delisa. Dan menghapus air mata yang nyaris semakin menganak sungai.
"Aah, Ibu…"
Delisa memeluk sang ibu. Dan sang ibu hanya bisa tertawa halus menanggapi hal tersebut. Bagaimanapun, keputusan bukan dia yang menentukan. Semua ada di tangan anaknya itu sendiri. Begitupula halnya dengan Delima.
Baik ataupun buruk yang akan terjadi nanti, ia tidak bisa mencampurinya. Mereka masing-masinglah yang akan menanggung beban itu. Sebagai seorang ibu, ia hanya bisa memberikan saran dan nasihat saja. Sebagaimana hal tersebut pun sudah dan akan terus dilakukan Delisa terhadap Delima kini.
Dan tongkat estafet itu akan terus bergulir pada keturunan yang nanti akan dilahirkan oleh Delima sendiri, lalu kepada generasi setelahnya, dan setelahnya, dan setelahnya.
"Kau tahu kan, walau apa pun yang terjadi Ibu selalu menyayangimu? Juga Delima?"
Delisa tersenyum di tengah keharuannya, lalu menggeleng.
"Aah, dasar!" ujar sang ibu.
***
Delima mungkin akan bisa terlihat lebih menarik lagi, setidaknya seperti gadis-gadis perkotaan—tolong diingat, itu, jika standar menarik memanglah sesuai atau berdasarkan kemajuan zaman itu sendiri—andai selera berpakaiannya sedikit lebih modis. Dan tentunya dengan tidak membawa-bawa benda yang sangat mengindikasikan sesuatu yang berbau dusun.
Seperti sekarang itu contohnya. Model pakaiannya tidak jauh berbeda dengan pakaian yang dikenakan sang ibu tadi. Terlalu tradisional.
Bagian atas, Delima mengenakan baju kebaya berwarna putih bersih. Warna kesukaannya, sebab itu di kolam tempat mereka biasa berendam itu ada teratai yang juga berwarna putih. Asoka putih, kembang sepatu putih, juga mawar putih, dan tentu melati juga termasuk di sana.
Baju kebaya itu berlengan tiga per empat, sedikit ketat. Di bagian leher terdapat aksen kerah rendah hanya setinggi dua sentimeter saja. Di bagian bawah, baju kebaya sampai sebatas pinggulnya yang tinggi.
Dan itu dipadukan dengan kain songket dengan dasar coklat muda keemasan, ukiran batiknya berupa akar dan dedaunan berwarna coklat tua bergaris-garis hitam. Songket batik melilit dari pinggang—yang tertutup bagian bawah kebaya hingga ke pinggul—sampai ke batas lututnya.
Sudah dapat dipastikan, pasti Delima juga mengenakan kasut tipis berlapis beledru hitam, bersulamkan benang emas yang semakin mencerminkan gaya berpakaiannya yang mirip gadis-gadis dari kaum ningrat abad pertengahan.
Andaikan saja Delima menyanggul rambut hitam legamnya yang panjang sepunggung itu, juga menggubah gaya jalannya lebih kemayu, tentu penampilannya itu akan sempurna seperti wanita-wanita keraton.
Sudah pasti aura keagungan bernuansa kultur leluhur itu akan terlihat jika Delima tidak menyandang bakul rotan layaknya sebuah tas punggung seperti sekarang.
Sayangnya, gadis itu tidak peduli hal seperti di atas tersebut. Tidak sama sekali. Apa yang selalu dicontohkan ibu dan neneknya, itulah yang menjadi acuannya. Ditambah, dengan sifatnya yang kadang kekanak-kanakan, tentulah di mata orang-orang lain yang melihatnya Delima tak lebih dari seorang gadis dusun yang lugu.