Seorang gadis dusun yang selalu ceria bermain-main dengan ranting-ranting pohon yang menjulai, atau kuntum-kuntum bunga, juga kupu-kupu dan serangga terbang indah lainnya yang selalu menjadi sasaran kejahilan jemari yang lentik.
Ia seolah tidak peduli bahwa dunia ini sudah berada di tengah-tengah kecanggihan teknologi. Seperti ponsel misalnya, Delima tidak memiliki benda itu sama sekali. Tidak pula dimiliki sang ibu atau neneknya.
Akan tetapi, dengan kondisi yang begitu saja, gadis 19 tahun itu sudah terlihat seperti seorang peri yang turun dari kahyangan. Cantik tanpa riasan, bahkan bibir merah tanpa pewarna. Belum lagi ditunjang dengan kulit tubuh kuning langsat dan bersih mulusnya itu, ditopang dengan wajah tirus, hidung lancip, alis yang hitam mengkereng melengkung tipis menaungi bola mata sedikit besar, berwarna coklat muda dan bening.
Lalu bentuk dan lekuk tubuh yang nyaris sempurna. Bukit kembar yang dibungkus jalinan kain halus dan lembut—bahkan tidak mirip sama sekali dengan bra kebanyakan—terlihat menggelembung padat, jelas membayang sebab sifat dan motif baju kebaya yang lumrahnya tipis, berlubang-lubang halus di banyak sisi, ketat, memungkinkan mata lebih bisa memandang dengan jelas sesuatu di balik kebaya itu sendiri.
Pinggang yang ramping, perut yang rata, tidak bungkuk sama sekali saat melangkah, pinggul yang tidak besar namun lengkungannya itu nyaris bulat sempurna—orang-orang bilang; sintal, dan ditopang pula dengan sepasang kaki yang indah, jenjang.
Itu saja, sudah akan memancing mata setiap orang betah berlama-lama memandanginya. Terutama, kaum Adam.
Bayangkan bila semua kemewahan kota dan trend fashion melekat di tubuh Delima?
Sudah dapat dipastikan, setiap pria yang memandanginya akan memiliki hasrat yang kuat untuk bisa memiliki gadis tersebut. Paling tidak, liur para lelaki akan menetes setiap sosok laksana bidadari tersebut lewat di depan mata.
Kau mungkin bertanya-tanya: Mengapa gadis secantik Delima tinggal jauh dari keramaian, meski di tepian danau alami itu ada arena bermain dan segala macamnya? Atau, mengapa gadis semanis Delima berpakaian ala-ala dusun seperti itu?
Bahkan, namanya saja: Delima, sangat-sangat kekampungan sekali. Seolah-olah mereka hidup dengan menolak semua kemajuan zaman, segala kecanggihan teknologi.
Tapi itulah Delima.
Hidup bertiga saja dengan ibu dan neneknya, tanpa kehadiran sosok laki-laki di tengah-tengah keluarga tersebut. Apa yang dicontohkan ibu dan neneknya selama ini, itu pulalah yang ditiru dan dilakukannya. Tidak sebarang kesalahan dan pantangan yang berani ia langgar dari segala aturan sang nenek. Aturan yang bahkan sudah ada—meski tak tertulis—jauh sebelum sang nenek sendiri terlahir ke dunia ini.
Dan tampaknya, tidak ada masalah atau kecemburuan sama sekali bagi mereka dengan cara dan gaya hidup seperti itu, jika dibandingkan dengan orang-orang yang sering mengunjungi danau tersebut untuk berwisata, yang selalunya dengan membawa-bawa sesuatu atau lebih barang yang menandakan kemajuan zaman dan teknologi.
Tidak sama sekali.
Delima tetap asyik menikmati hidupnya. Seperti saat sekarang itu, ia melangkah dengan riang, kadang seperti seorang yang sedang menghafalkan gerakan tari, liukan tangan, langkah kaki. Kadang, berlari mengejar kupu-kupu yang menjauh. Kadang pula melompat-lompat demi meraih kuntum-kuntum bunga menarik yang mekar lebih tinggi.
Tidak peduli sama sekali.
Ia tetap menikmati suasana pagi itu, meski dengan keharusan menyandang bakul kecil di punggung yang masing-masing tali pegangannya ditahan di kedua bahu. Suara-suara denting botol seukuran satu jengkal tangan orang dewasa mengiringi setiap pergerakan gadis tersebut. Setidaknya, ada tiga buah botol kaca bening serupa di dalam bakul di punggungnya.
Delima terus saja melangkah dengan segala keceriaannya menuju ke arah timur dari posisi keberadaan rumahnya melewati jalan setapak yang bahkan mungkin sangat-sangat jarang dilalui orang.
Dari mulutnya terdengar senandung lembut yang setia mengiringi setiap langkah kaki. Entah lagu apa yang ia senandungkan, ataupula hanya sekadar irama tak bersyair, tapi yang jelas itu terdengar cukup menyenangkan. Seperti irama-irama lagu bernuansa Melayu Kuno yang terdengar rancak menghentak.
Kau tahu…
Itu seperti kau mendengarkan irama yang menghadirkan keceriaan di dalam kepalamu. Sesuatu yang menyenangkan. Atau kau bisa bayangkan keceriaan para penduduk saat musim panen tiba di tiap petak sawah yang ada dengan padi-padi yang telah merunduk menguning ranai sejauh mata memandang.
Atau pada tawa dari canda ria gadis-gadis desa di tepian sungai yang mengalirkan kesegaran airnya, kebeningan air itu sendiri, lantas gadis-gadis bercengkerama dengan mencipratkan air dingin itu ke wajah teman terdekat sambil sesekali mengucek pakaian yang dicuci di atas penggilasan kayu. Tanpa detergen yang mungkin akan membuat mata kelilipan. Hanya canda tawa yang ditemani kicau burung-burung liar di sekitar.
Perasaan seperti itulah yang muncul kala mendengarkan senandung tak bersyair dari mulut gadis berkebaya putih dan berkain songket itu.
Delima kemudian melangkah ke arah barat, melewati rumput liar dan semak belukar. Tidak ada lagi jalan setapak yang terlihat di sana, atau setidaknya bekas jalan yang pernah dilalui seseorang. Hanya ada kelebatan rimba belantara.
Permukaan tanah yang nyaris tertutup rumput liar dan tanaman lainnya itu tidak selalu rata, namun sedikit pun Delima tidak merasa kelelahan. Menapaki permukaan tanah yang mendaki, kadang harus setengah berlari menuruni lereng, atau harus melompat dari satu batu besar ke batu besar lainnya.
Tidak sedikit jua ia merasa ngeri atau katakanlah takut tergelincir, terjatuh, juga pada serangga-serangga hutan yang mungkin saja berbisa. Tidak pula pada hewan-hewan buas yang mungkin saja mendiami kawasan hutan tersebut.
Tidak sama sekali.
Bagi Delima, hutan belantara itu tak lebih dari kawasan bermain. Yang ada hanya keceriaan dan wajah yang selalu menghadirkan senyum, lebih-lebih kala menemukan kuntum-kuntum bunga menarik dengan warna-warna yang indah.
Tibalah Delima di satu kawasan di mana di sisi timur lautnya terdapat sebuah rangkaian alami tebing bebatuan. Tidak terlalu tinggi, hanya berkisaran antara empat-lima meter saja, namun membentang sejauh belasan meter.
Apa yang ada di dinding batu itulah yang menjadi tujuan Delima. Sarang-sarang lebah hutan yang menempel kuat pada permukaan-permukaan terjal yang membentuk lengkungan di bagian atasnya. Seolah sebuah kanopi alami pelindung sarang-sarang bernutrisi tinggi dari para lebah tersebut dari panas dan hujan. Dan tentu, dengan posisi di mana sarang-sarang itu menempel, cukup jauh dan aman dari jangkauan makhluk hutan penggemar madu semisal beruang madu.
Yaa, kecuali bagi seseorang seperti Delima sendiri.
Dengan menggunakan beberapa batang kayu yang sedianya sudah ada di sana, lalu dibentuk menjadi sebuah bangku yang cukup tinggi—setinggi pinggang, Delima dengan mudah mengecek setiap sarang lebah yang ada.
Tidak ada rasa takut sedikit pun di diri gadis tersebut pada lebah-lebah yang notabenenya bisa menyengat siapa saja bila merasa terganggu. Ia tetap tersenyum, tetap bersenandung dengan lembutnya, memeriksa lagi dari satu sarang ke sarang lainnya.