Chereads / Bench in the Park / Chapter 5 - Keisha dan Kesempatan yang Hilang

Chapter 5 - Keisha dan Kesempatan yang Hilang

Keisha yang saat itu sedang menempuh pendidikan sarjananya, mencoba mendaftar untuk menjadi seorang anggota tentara. Saat itu, Keisha memasuki semester ketiga dalam pendidikannya di bidang hukum.

Keinginan Keisha untuk menjadi salah satu abdi negara di badan Tentara Nasional Indonesia sudah terlihat semenjak ia kecil. Dan tentu saja kedua orang tua serta adiknya mendukung hal tersebut. Lagipula, kondisi perekonomian orang tuanya cukup memadai untuk membiayai Keisha dalam hal itu.

Tapi mimpi hanya tinggal mimpi, dan keinginan itu harus dikubur dalam-dalam oleh Keisha sebab ia gagal dalam memenuhi impiannya untuk menjadi seorang tentara.

Keisha dan keluarganya dihadapi pada satu kenyataan pahit yang selama ini terlupakan dan kurang mendapat perhatian dari ibu dan ayahnya sendiri.

Saat menghadapi tes pertama, Keisha dinyatakan gagal oleh tim penguji dengan mangatakan bahwa Keisha ternyata buta warna.

Setelah dibawa ke doker spesialis, hal tersebut akhirnya terkonfirmasi. Keisha tidak bisa membedakan warna biru dan ungu, bahkan ia tidak tahu seperti apa sebenarnya warna merah muda itu.

Menurut para dokter jika hal ini diketahui semenjak masih kecil, meskipun kemungkinannya kecil namun masih bisa diobati mengingat kedua orang tua Keisha sendiri tidak mengidap kondisi yang sama. Jadi, apa yang dialami Keisha bukanlah penyakit bawaan atau genetik.

Di sinilah kesalahan ayah dan ibu Keisha, sebab mereka kurang tanggap dan mengabaikan saja masalah yang dialami sang anak.

Keisha kecil dahulu sekali pernah protes pada orang tuanya.

Hal itu terjadi kala ayah dan ibunya merayakan ulang tahun Keisha dengan mengundang teman-teman sekolah sang anak. Acara itu cukup meriah, dan banyak balon warna-warni. Di sanalah Keisha untuk pertama kalinya berdebat dengan teman-temannya, perdebatan yang berujung kericuhan dalam acara ulang tahun itu sendiri.

Penyebabnya, Keisha merasa balon berwarna ungu itu adalah berwarna biru sehingga teman-temannya mengejek dan mengolok-olok Keisha. Jadilah Keisha yang masih berusia tujuh tahun menjadi marah dan menyebabkan acara ulang tahun tersebut menjadi berakhir lebih cepat dengan Keisha yang merajuk tak ingin melanjutkan lagi acara itu.

Setelah kejadian di acara ulang tahunnya tersebut, Keisha tidak lagi pernah mau berdebat soal warna. Ia akan selalu menghindar jika ada hal-hal yang akan menyerempet ke arah sana.

Lambat laun semua menjadi terlupakan seiring pertumbuhannya. Dan sampai sejauh itu, tidak seorang pun yang mengatakan padanya kalau ia buta warna. Setidaknya, tidak secara profesional.

Kenyataan yang baru terungkap beberapa tahun setelahnya itu, benar-benar membuat Keisha terpuruk dalam kehancuran. Dan semenjak itu pulalah Keisha tak lagi punya gairah untuk melanjutkan pendidikannya di bidang hukum.

Keisha meletakkan sepedanya bersisian dengan tumpukan dus-dus besar di ruangan belakang. Sejenak pikirannya tertuju pada gadis yang menemuinya di tepian danau. Ia menghela napas dalam-dalam.

Apa yang diinginkan gadis itu? tanyanya dalam hati. Sekadar berkenalan? Atau ada maksud lain?

Keisha coba mengingat-ngingat lagi wajah gadis tersebut. Senyumnya. Gerak-gerik tubuhnya.

Tidak ada yang mencurigakan, pikir Keisha.

Dia bilang besok akan kembali berada di sana? Baiklah, penguntit, aku ingin tahu apa maksud dan tujuanmu.

Dan kemudian, Keisha memutuskan untuk kembali ke ruang makan di mana sang ibu sudah mempersiapkan segalanya.

"Kamu enggak mandi dulu?" tanya Mutiya begitu melihat kehadiran Keisha ke ruang makan tersebut. Sedikit lagi persiapan makan malam itu akan selesai dihidangkan.

Tapi Keisha tidak menanggapi pertanyaan sang ibu, seperti tadi. Ia langsung duduk di sisi meja yang berseberangan dengan Mutiya.

"Kei?"

Lagi-lagi keheningan serupa, keheningan yang begitu dingin sehingga mampu membuat Mutiya menggigil kedinginan.

Semua sudah terhidangkan, Mutiya pun duduk di kursinya. Meraih piring yang ada di hadapan sang anak, bermaksud akan menyendokkan nasi putih yang mengepulkan uap tipis dari dalam wadahnya untuk Keisha.

Tapi Keisha menggeser piring itu, sehingga Mutiya tidak bisa menjangkau piring tersebut.

"Keisha?"

Mutiya seperti pasrah menghadapi sikap sang buah hati yang demikian itu, bukan hanya sekali dua saja Keisha bersikap demikian kepada dirinya. Tapi, hampir setiap hari. Dan itu, bukan saja kepada Mutiya sendiri, namun juga kepada sang ayah yang sedang berada di luar kota. Kecuali satu orang, sang adik perempuan yang sayangnya sudah tidak lagi tinggal bersama mereka.

Helaan napas yang begitu berat mewakili perasaan Mutiya yang telah remuk, namun sebagai seorang ibu, Mutiya tetap bertahan dengan keadaan semua ini.

Jeda semenit benar-benar menyiksa Mutiya dengan pikiran yang berkecamuk dan hati yang semakin teriris-iris. Pada akhirnya, ia menyendok nasi untuk dirinya sendiri. Tidak banyak, hanya satu sendok besar dari ukiran kayu merah kehitaman itu saja. Itu pun tidak penuh seutuhnya.

Dengan keadaan ini semua—yang sudah terjadi berlarut-larut—Mutiya jarang bisa mendapatkan semangat untuk bisa bersantap dengan lebih baik. Ia hanya ingin menemani sang anak sulung, itu saja. Tidak peduli apakah ia harus makan sedikit, atau tidak sama sekali. Cukup duduk di hadapan Keisha, satu meja yang sama. Dan berharap, Keisha mau bercerita kepada dirinya, tentang apa saja.

Tapi tidak…

Keinginan itu tidak pernah terjadi. Tidak setelah kegagalan yang dialami Keisha dalam keinginan untuk menjadi salah satu abdi negara kandas karena kurangnya perhatian ayah dan ibunya semasa ia masih kecil dahulu.

"Kalau kamu memang suka pergi ke danau itu, Mama nggak melarang, Kei. Sungguh…"

Keisha mendengus pelan, lalu meraih wadah yang berisi nasi panas, menyendok nasi dari dalam wadah tersebut dan menaruhnya ke atas piring kosong di hadapannya. Dua sendok, dan Keisha sudah merasa cukup.

"Kei…"

"Aku bisa mengurus diri sendiri."

Jawaban sang anak sungguh membuat Mutiya melenguh dalam jerit tangis di dalam hati. Begitu datar, dingin tak bertepi. Tapi ia sudah terbiasa, tetap menghadirkan satu senyum manis yang penuh keikhlasan adalah keharusan. Mutiya yakin, suatu saat kelak, Keisha akan kembali seperti dulu: Seorang anak yang begitu perhatian pada orang tuanya, keluarganya, anak sulung yang begitu bersemangat dalam setiap hal, dan selalu mengutamakan kepentingan orang lain.

"Biarkan aku dengan caraku. Mama tidak perlu tahu."

Mutiya sangat berharap keajaiban tersebut akan berulang. Dan demi menunggu itu semua, ia rela bertahan pada seburuk dan sedingin apa pun sikap sang anak sulung kepada dirinya, dan keluarganya.

"Mama nggak akan melarang-larang kamu, Kei."

Nyaris saja air mata tumpah dari pelupuk mata Mutiya. Ia mengalihkan itu dengan mendekatkan lauk-pauk ke hadapan sang anak.

"Nggak akan… Mama hanya ingin kamu memberi tahu Mama, jika kamu pergi ke satu tempat."

Keisha lagi-lagi tidak mengacuhkan ucapan sang ibu, ia memilih lauk-pauk dan menempatkan lauk-pauk tersebut ke atas nasi di dalam piringnya. Lantas menyantap makanan itu seperti tidak ada orang lain selain dirinya sendiri di meja tersebut saat sekarang itu.