"Cerita soal apa?"
Shifa tertawa halus. "Nah, benar ternyata."
"Apa yang benar?" tanya Keisha dengan satu senyuman tersungging di sudut bibir. "Aneh kamu."
"Ketahuan banget kok, Bang."
"Ketahuan?" ulang Keisha. "Ketahuan apa?" ujarnya seraya mengendikkan bahu.
"Hemm…" Shifa melipat tangan ke dada. "Malah berkura-kura dalam perahu."
Keisha menundukkan kepala, tertawa-tawa dengan suara yang cukup menyenangkan untuk didengar.
Di luar sana, Mutiya nyaris tidak menyangka Keisha akan tetawa seperti itu. Sudah cukup lama ia tidak mendengar suara tawa sang anak. Sungguh, hal ini adalah sesuatu yang sangat berharga bagi Mutiya. Ia tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
Mutiya mengusap wajahnya. Ya, tidak perlu menguping lebih lama lagi. Toh, apa pun nanti yang akan terjadi, ia sudah bertekad untuk selalu bersabar.
Dengan langkah yang hening, Mutiya akhirnya meninggalkan kamar itu menuju kamarnya sendiri.
"Ayolah, Bang Keisha," ujar Shifa sembari tertawa halus. "Ceitakan pada Shifa, siapa gadis yang beruntung itu?"
"Gadis?" ulang Keisha setengah menahan tawa dan kekagumannya akan prediksi sang adik yang sangat tepat itu. "Abang nggak pernah cerita soal seorang gadis, kenapa kamu bisa tahu?"
Shifa menunduk menggeleng-gelengkan kepala. "Dasar! Bang Keisha tuh bersikap seperti seorang remaja yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta. Ketahuan, Bang. Mimik wajah, gestur tubuh, dan cara bicara Bang Keisha menunjukkan itu semua. Masih mau mencari-cari alasan berkilah?"
Keisha tertawa lagi, bahkan kali ini lebih keras, sembari menunjuk-nunjuk sang adik.
Ya, itu terlihat dengan sangat jelas, gumam Shifa di dalam hati. Mungkin benar apa yang diucapkan orang-orang bahwa cinta mampu mengubah segalanya.
Ya, pasti begitu.
"Delima," ujar Keisha sembari menatap langit malam.
"Hemm?"
"Namanya," Keisha balik menatap sang adik, "Delima."
"Aah…" Shifa tersenyum dalam anggukan kepalanya. "Delima. Nama yang bagus. Seperti nama seorang gadis yang berasal dari satu perkampungan yang asri."
"Itu juga yang aku pikirkan sebelumnya," Keisha tersenyum dan menunduk, melipat kedua tangan ke dada.
"Lalu, gadis seperti apa dia?"
Keisha menghela napas dalam, menengadah menatap langit-langit ruangan, namun ada senyuman tipis yang sangat manis di sudut bibirnya.
Shifa bisa melihat itu dan semakin yakin bahwa sang kakak memang sedang jatuh cinta.
"Cantik," ujar Keisha, "kadang terlihat sangat lugu, kadang malah sangat berani. Orang yang sangat ceria. Dan… sepertinya dia selalu memandang segala sesuatu dengan sisi positif."
"Woow…" Shifa berdecak kagum.
Tentu saja ada rasa penasaran di dalam diri Shifa dan ingin berkenalan dengan gadis bernama Delima itu.
"Sepertinya dia adalah seorang yang sempurna."
"Sangat sempurna…"
Keisha tiba-tiba menyentuh bibirnya sendiri sembari tersenyum. Kelembutan dan kehangatan bibir gadis itu masih terasa di bibirnya. Detik selanjutnya, Keisha sedikit gugup dengan wajah yang memerah kala tatapannya berbenturan dengan tatapan sang adik.
"Ya…" Keisha berdeham sekali. "Sangat sempurna."
Shifa yang melihat kegugupan dan rona merah padam di wajah sang kakak dapat memaklumi hal tersebut. Ia tertawa halus, nyaris tak terdengar. Shifa sangat bersyukur sebab ternyata ada orang lain yang mampu membuat sang kakak menjadi lebih bersemangat selain dirinya sendiri.
"Dia selalu memakai baju kebaya dan kain songket."
"Waow…" lagi-lagi hal ini membuat Shifa menjadi kagum. "Kebaya dan songket, ya?"
"Aku tahu," Keisha terkekeh pelan sembari menggeleng ringan. "Zaman sekarang, orang-orang hanya memakai baju kebaya dan kain songket di saat-saat tertentu saja, pada acara-acara tertentu. Tapi tidak dengan Delima. Dia selalu berpakaian seperti itu."
"Aku jadi ingin bertemu dan mengenal gadis itu lebih jauh," ujar Shifa. "Sepertinya akan sangat menyenangkan."
Keisha mengangguk-angguk kecil. "Dia memang sangat menyenangkan."
"Benarkah?"
Satu senyuman tersungging di sudut bibir Shifa, dengan pandangan yang sedikit menghakimi ia menatap lama wajah sang kakak.
Keisha tertawa lagi dan menggelengkan kepala dengan cepat. "Hei," tunjuknya pada sang adik. "Jangan berpikir yang macam-macam!"
"Aah…" Shifa mengangguk-angguk. "Shifa kira Abang sudah berbuat jauh kepada gadis itu."
"Sembarangan kamu!" Keisha mengalihkan pandangannya ke bintang-bintang di atas sana. Sedikit merasa jengah dengan tatapan sang adik.
"Berciuman?"
Shifa sengaja memancing sang kakak, sebab dengan begitu ia berharap Keisha lebih bisa terbuka lagi dan lebih hangat dalam bersikap dan berucap. Tidak pada dirinya saja tapi juga kepada sang ibu—dan pada semua orang.
Dengan begini, tentu Shifa berharap Keisha akan melupakan jalan hidup yang selama ini ia lakukan.
Lagipula, Shifa memang suka menggoda sang kakak sedari dulu. Tentu saja semuanya hanya dalam bentuk candaan, pertanda kasih sayang di antara kakak beradik tersebut.
Keisha berdeham menanggapi pertanyaan sang adik yang sedikit konyol dan sudah memasuki ranah privasinya itu.
Hanya saja, meski Keisha tidak mengatakan apa pun, Shifa sudah dapat mengetahui jawaban dari pertanyaannya tersebut. Ya, wajah memerah dan senyum yang tidak putus dari bibir Keisha sudah memberitahukan semua itu.
"Sayangnya, dia tidak pernah sekolah."
"Kenapa bisa begitu?"
Keisha mengendikkan bahu. "Percayalah, Abang juga merasakan apa yang kamu rasakan sekarang, Shifa. Agak aneh di zaman sekarang jika gadis seperti Delima tidak pernah merasakan pendidikan di sekolah."
"Benar," sahut Shifa sembari mengusap keningnya sendiri. "Itulah yang Shifa pikirkan."
"Padahal, dia terlihat seperti seorang gadis yang pintar."
"Pintar?" ulang Shifa. "Ini lebih aneh lagi."
"Ya, itu memang aneh. Kamu tidak akan percaya, Shifa… dia bahkan suka mencari madu sendirian. Bisa kamu bayangkan, mencari madu di dalam hutan, sendirian?"
"Woow…" lagi-lagi Shifa berdecak kagum. "Dia tidak takut sama sekali?"
Keisha mengendikkan lagi bahunya. "Kadang aku berpikir, mungkin saja Delima itu makhluk jadi-jadian."
Shifa tertawa halus. "Jahat sekali! Nggak boleh ngomong kek gitu, tahu!"
Pemuda itu tertawa menanggapi protes dari sang adik. "Kamu pasti akan berpikiran seperti itu juga, Shifa, seandainya kamu berkunjung ke rumahnya."
"Jadi, Bang Keisha sudah bertemu dengan keluarganya?"
Keisha mengangguk. "Rumahnya cukup besar, dan yang paling mengagumkan, pekarangannya dipenuhi bunga-bunga. Rumah itu sendiri kelihatan seperti rumah seorang pemuka kerajaan dari abad pertengahan."
"Hah?"
"Sudah kukatakan bukan?" Keisha tersenyum lalu menggeleng-geleng ringan. "Dan ibunya… hemm, sungguh, kamu tidak akan percaya, Shifa. Ibu Delima sangat mirip dengan Delima sendiri, bahkan nama mereka hampir sama."
"Benarkah?"
"Ibu Delima bernama Delisa. Bayangkan itu? Ditambah lagi, mereka justru terlihat seperti seorang kakak dan seorang adik. Masih sangat muda."
"Woow…"
"Sudah Abang bilang, kamu pasti tidak akan percaya. Saat pertama bertemu dengan ibunya itu, Abang pikir dia adalah kakak Delima, ternyata justru ibunya."
"Bagaimana dengan ayahnya?" tanya Shifa. "Atau anggota keluarganya yang lain."
Keisha menggeleng. "Delima bilang, dia tidak pernah bertemu dengan ayahnya."
"Astaga…" Shifa menutupi mulutnya dengan kedua tangan. "Maaf, Shifa nggak bermaksud—"
Keisha tersenyum, lalu berkata, "Saat aku bertanya hal ini kepada ibunya, dia tidak mau mengatakan alasan di balik itu semua."
"Yaa…" Shifa mengangguk-angguk. "Mungkin saja ada peristiwa menyakitkan yang pernah terjadi pada ibu Delima dengan ayah kandungnya. Siapa yang bisa tahu?"
"Benar," kata Keisha. "Itu sebabnya Abang nggak bertanya lebih lanjut pada mereka. Takut mereka menjadi tersinggung."
"Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa Delima tidak mengenyam pendidikan."
Keisha mengangguk. "Delima memang bilang seperti itu."
"Terus," Shifa menatap lama wajah sang kakak. Lalu tersenyum lagi seolah ingin menggoda lagi sang kakak. "Bang Keisha mencintai gadis itu?"
Keisha hanya tersenyum sembari balas memandang sang adik.
Yup, itu saja sudah cukup, pikir Shifa. Jelas, Keisha pasti sangat mencintai gadis itu.
TO BE CONTINUED ...