Chereads / Bench in the Park / Chapter 23 - Tidak Ada yang Sempurna

Chapter 23 - Tidak Ada yang Sempurna

Delima tersenyum mengangguk. Paling tidak, ia merasa senang karena Keisha terlihat cukup kagum dengan apa yang telah dilakukan Delima bersama ibu dan neneknya dengan pekarangan rumah mereka.

Keisha masih saja tertegun memandangi semua bagian dari sisi depan pekarangan rumah tersebut. Meskipun ia tahu pasti, mungkin semua yang ada ini memanglah sangat-sangat indah andai saja matanya dapat melihat warna-warna yang ada.

Tapi hal ini saja sudah cukup bagi Keisha untuk menganggumi. Lalu, tiba-tiba melintas satu pemikiran.

Aku tidak melihat rumah dan pekarangannya yang luas ini sebagai rumah dari seorang gadis yang orang tuanya kesulitan ekonomi.

Lalu, apa alasan sesungguhnya sehingga Delima tidak mengenyam pendidikan?

"Mari," ajak Delima dengan sedikit gerakan kepalanya kepada Keisha.

Kembali Keisha mengikuti langkah Delima menapaki jalan tanah yang tertutup batu-batu pualam pipih menuju beranda kecil di depan rumah.

Keisha memarkirkan sepedanya di samping kanan beranda kecil itu, lalu naik ke teras setelah terlebih dahulu melepas sepatunya sebagaimana dengan Delima sendiri yang telah melepas sandalnya.

"Mari masuk," ajak Delima pada Keisha.

Pintu mahoni berdaun ganda berderit halus begitu didorong pelan oleh Delima, sepertinya memang sengaja tidak dikunci. Saat melirik ke belakang, Delima tersenyum mendapati Keisha yang mungkin terkesima dengan berbagai ukiran yang ada di beranda depan itu. Pada dua tiang penyangga kanopi, pada kusen pintu dan dua daun pintu itu sendiri.

"Maaf," ujar Keisha ketika tatapannya beradu pandang dengan tatapan gadis tersebut.

"Delima, kamu sudah pulang?"

Saat berada di dalam rumah, di ruang tamu, Keisha mendengar suara seorang perempuan. Mungkin itu suara ibunya Delima, pikir Keisha.

Di ruang depan itu pun sama. Tidak ada sofa, yang ada hanya kursi kayu, mungkin dari jati dan memiliki berbagai ukiran pula di beberapa sisi kursi-kursi tersebut. Tidak ada sebarang foto pun yang menghiasi dindingnya, tidak pula satu lukisan. Hanya susunan papan tebal memanjang ke atas. Setiap sisi papan persegi panjang itu terdapat ukiran bermotif akar dan daun.

Benar-benar klasik, pikir pemuda tersebut. Terlebih, dengan kehadiran lampu gantung di langit-langit ruangan yang ternyata tanpa ada plafon sama sekali.

Apakah itu pelita dari zaman Belanda? Tanya Keisha di dalam hati.

"Kita ke ruang tengah saja," ajak Delima, lagi.

Keisha berpikir mungkin di ruang tengah itu ia akan melihat satu dua foto keluarga—sebagaimana lumrahnya dengan yang dilakukan orang-orang.

Tapi perkiraan pemuda tersebut meleset jauh. Tidak sebarang foto atau lukisan pun ada di ruang tengah. Dinding papan itu dibiarkan kosong, sama persis seperti dinding di ruang depan tadi.

Juga, perabotan yang ada di sana. Hanya ada satu set kursi jati—yang lagi-lagi memiliki ukiran khas—dengan bantalan duduk dan sandaran punggung dari beledru berwarna biru pudar bermotif bunga. Satu meja persegi yang juga dari jati. Sebuah almari hias berukir di sudut kiri.

Dan ya, pelita klasik yang sama tergantung di tengah-tengah langit-langit ruangan, namun dengan ukuran dua kali lebih besar dari yang ada di ruang depan.

Di mana gadis itu hidup sekarang ini? Lagi-lagi hal ini membuat Keisha menjadi semakin penasaran. Atau mungkin keluarga Delima berpikir mereka masih hidup di abad pertengahan, begitukah?

Tidak ada kabel-kabel listrik yang terlihat di rumah itu, tidak pula dengan segala macam tetek-bengek alat-alat elektronik.

Apa mereka sengaja memisahkan diri dari dunia luar?

"Silakan duduk," Delima menunjuk kursi antik.

Keisha tersenyum mengangguk. Dari pintu di sisi kiri ruang tengah itu, ekor mata Keisha menangkap satu sosok wanita yang tersenyum sembari melangkah mendekati mereka.

"Delima…"

"Ibu," Delima menghampiri sang ibu.

Keisha mengerutkan dahi. Untuk sesaat tadi, ia berpikir kalau wanita yang baru saja menghampiri mereka tersebut adalah kakaknya Delima. Siapa sangka, pikirnya, justru wanita yang terlihat masih sangat muda itu adalah ibunya Delima?

Waow…!

"Bu," Delima melepas pelukannya dari sang ibu, lalu melirik pada Keisha yang masih saja berdiri. "Ini, Keisha."

"Aah," Delisa tersenyum mengangguk-angguk.

Keisha mencoba untuk bersikap sopan, ia menjulurkan tangannya pada Delisa dengan tubuh yang sedikit membungkuk.

"Tante," ujar pemuda itu dengan sedikit gugup. "Saya Keisha."

Delisa tersenyum lebih lebar sebab nama panggilan itu tidak terbiasa di kupingnya.

"Saya Delisa, ibunya Delima." Ia pun menyambut jabat tangan pemuda tersebut.

Delisa dan Delima, gumam Keisha dalam hati sembari menegakkan kembali punggungnya. Bukankah nama itu lebih cocok untuk nama kakak atau adiknya Delima? Barulah pantas. Lagipula, wajah mereka sedikit mirip kecuali di bagian hidung. Dan juga, terlihat sepantaran dengan Delima.

Juga pakaiannya, baju kebaya dan kain songket, hanya beda di warnanya saja.

"Jadi ini," ujar Delisa sembari menelisik pemuda tersebut dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, "laki-laki yang sering kamu ceritakan ke Ibu, Delima?"

Dengan malu-malu, Delima mengangguk, berdiri di samping sang ibu.

"Maaf jika saya—"

"Jangan khawatir," ujar Delisa, lagi. "Delima hanya menceritakan hal-hal yang baik saja tentang kamu, kok."

"Aah," Keisha tersenyum. "Itu melegakan. Terima kasih."

"Mari, silakan duduk."

Mereka pun akhirnya duduk di atas kursi antik tersebut, kecuali Delima. Sang gadis berdiri di belakang punggung sang ibu.

"Keisha," ujar Delima, "maaf. Aku tinggal sebentar ke dapur, ya."

Sebenarnya Keisha ingin melarang gadis itu sebab tidak enak hati dengan kehadiran Delisa di sana, namun karena ia sendiri merasa canggung jadilah pemuda itu hanya mengangguk saja sembari memandang punggung gadis itu berlalu.

Dan Keisha menjadi salah tingkah sendiri ketika ia menyadari bahwa Delisa tersenyum memerhatikan kelakuannya barusan itu.

"Maaf, Tante…" Keisha menundukkan kepala.

"Delima sering bercerita," ujar Delisa yang mencoba mengakbrabkan diri dengan pemuda tersebut. Lagipula, ia ingin mencairkan suasana yang tiba-tiba menjadi canggung dan beku, terutama pada Keisha sendiri. "Katanya, dia sering lihat seorang pemuda duduk melamun di bangku taman di tepi danau sisi barat itu. Hampir setiap hari, dan di waktu yang selalu sama."

"Aah," Keisha tersenyum, senyum yang lebih terlihat seperti mengejek dirinya sendiri.

Tapi itu benar, pikirnya. Sudah hampir dua tahun ia melakukan apa yang dibicarakan wanita tersebut. Setiap hari, Keisha akan keluar dari rumahnya sebelum jam dua siang, dan sekitar jam tiga ia sudah berada di bangku taman itu.

Duduk di posisi yang sama, melamun ke arah yang sama.

Bahkan, Keisha sendiri tidak merasakan apa yang ia lakukan itu sudah berjalan selama itu. Dan lebih utama lagi, ia tidak menyangka jika kegiatannya melamun di tepian danau di atas bangku tua itu justru menarik perhatian seorang gadis seperti Delima.

Tidak sama sekali.

"Ya… hal bodoh yang hampir setiap hari saya lakukan," ujar Keisha.

Delisa tersenyum lagi. Ia bisa menangkap aura kesedihan di dalam suara pemuda tersebut. Entah apa pun alasan di balik kesedihan itu, tapi mungkin Delima sudah mengetahui, pikirnya.

"Jika kamu berpikir itu adalah hal yang bodoh, lalu kenapa kamu lakukan? Hampir setiap hari?"

Keisha tersenyum lagi, senyuman yang begitu kecut. "Mungkin karena saya memang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa semua itu hanya kesia-siaan semata."

"Tidak ada manusia yang terlahir bodoh, Keisha."

TO BE CONTINUED ...