Saat Keisha mencapai pintu pagar halaman depan rumahnya, ia melihat seorang wanita muda sedang berbicara bersama ibunya.
"Shifa?" ujar pemuda itu setengah tak terdengar. "Apa yang dilakukan Shifa di sini?"
Shifa dan Mutiya tentu melihat kedatangan Keisha tersebut. Dan saat Mutiya bermaksud ingin bertanya: Mengapa Keisha pulang di saat hampir Maghrib seperti ini? Shifa dengan cepat menahan sang ibu.
Shifa mengerling dengan senyuman. Mutiya menghela napas dalam-dalam.
Ya, Shifa benar, pikir Mutiya. Andai ia langsung bertanya seperti itu, besar kemungkinannya Keisha pasti akan tersinggung alih-alih bersikap menjadi dingin seperti yang sudah-sudah.
"Baru pulang, Bang?" Shifa menyongsong kedatangan Keisha. "Udah Shifa tungguin lho dari pagi."
"Kamu datang bersama suamimu?"
Shifa menggeleng, lalu melangkah berdampingan dengan Keisha.
"Mama yang meminta kamu datang?"
Shifa memandang Keisha dengan kening yang sengaja dibuat mengerut sementara dua tangannya berpegangan di bahu sang kakak. Tapi Keisha tahu dengan baik arti dari sikap sang adik.
Keisha tersenyum kecil menanggapi pandangan sang adik. "Dasar!"
"Yuk, masuk dulu," ajak Shifa dengan senyuman lebar.
*
Kehadiran Shifa terbukti bisa membuat Keisha sedikit lebih terbuka. Meskipun alasan sesungguhnya adalah karena kehadiran Delima di hati dan pikiran pemuda itu kini. Dan Keisha—dengan alasan yang tidak pasti—merasa harus memberi tahu sang adik soal yang satu itu.
Bagaimanapun, ia masih manusia normal yang membutuhkan seorang teman untuk bercerita tentang perasaannya sendiri. Mungkin, sebuah saran atau pendapat. Dan Shifa, selalu bisa diandalkan untuk yang satu ini.
Makan malam kali ini Mutiya bisa tersenyum, walaupun ia tahu dengan pasti perubahan sikap dan ucapan Keisha semata-mata karena kehadiran Shifa saja. Meski begitu, tetap saja ini sudah lebih daripada cukup bagi Mutiya untuk memperkuat tekadnya untuk selalu mendampingi dan mengawasi anak sulungnya tersebut. Meskipun nanti Keisha mungkin akan kembali bersikap dingin kepadanya setelah Shifa kembali ke suaminya di kota berbeda.
Selesai makan malam yang dibumbui dengan canda tawa antara kakak beradik itu, Keisha langsung menuju kamarnya.
"Kamu lihat, kan, Shifa," ujar Mutiya dengan suara pelan. Dan kemudian membenahi piring-piring serta gelas di atas meja makan. "Kalau ada kamu, Keisha baru mau makan dengan lahap."
Shifa tersenyum, dan bangkit. Ia membantu sang ibu berbenah di meja makan itu.
"Pelan-pelan saja, Ma," ujar Shifa. "Shifa yakin, kok. Bang Keisha pasti akan berubah."
"Mama selalu berharap seperti itu, Sayang." Mutiya berhenti sejenak, lalu menghela napas lebih banyak lagi memenuhi rongga dadanya. "Selalu."
"Lagipula, sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi pada Bang Keisha."
"Kamu merasakannya juga?" tanya Mutiya. "Mama pikir cuma Mama saja yang merasakan itu. Tapi, Mama kira mungkin disebabkan kehadiran kamu di sini."
Shifa menggeleng. "Lebih daripada itu, Ma. Hemm… entahlah. Nanti Shifa akan mencari tahu."
"Semoga saja bukan sesuatu yang buruk."
"Ma," Shifa mendekati sang ibu, memeluknya dari samping. "Jangan berpikiran seperti itu, dong. Nggak baik. Shifa nggak merasa sesuatu yang buruk, kok. Kenyataannya, Bang Keisha tadi terlihat lebih senang—hemm… sedang berbahagia. Ya, pasti begitu."
*
"Suamimu mengizinkan kamu untuk menginap di sini?" tanya Keisha.
Saat ini, Keisha sedang duduk di kusen jendela yang terbuka lebar di dalam kamarnya. Ia hanya mengenakan celana pendek abu-abu berbahan lembut dan singlet putih. Pandangan pemuda tersebut tertuju pada langit malam yang terlihat begitu cerah. Satu kaki berlipat di atas kusen itu, kaki lainnya menapak ke lantai kamar.
Entah karena perasaannya yang sedang berbahagia atau justru langit malam memang menghadirkan jutaan kerlip bintang di tirai gelapnya? Namun yang pasti, Keisha sudah tersenyum seperti itu sedari tadi.
Shifa mengangguk. Ia duduk di sudut pembaringan, menghadap sang kakak.
"Berapa lama?"
"Dua malam," jawab Shifa.
"Abang pikir, kamu sudah nggak mau lagi mendatangi rumah ini kalau tidak diminta sama mama."
Shifa tersenyum, menggeleng kecil. "Kenapa Bang Keisha mikir seperti itu?"
"Entahlah…" Keisha mengendikkan bahu menatap sang adik, lalu pandangannya kembali ke langit malam. "Sudah hampir setahun kamu nggak pernah berkunjung. Jadi, ya… mungkin begitu."
"Shifa kan juga sibuk di kota sebelah, Bang."
Keisha mengangguk-angguk kecil. "Bagaimana suamimu?"
"Mas Jaya sehat-sehat saja, kok. Sebenarnya, dia juga mau ikut. Hanya saja—"
"Hanya saja, dia tidak mau bertemu denganku," ujar Keisha memotong ucapan sang adik.
Ya, selama ini pun hubungan antara Keisha dan adik iparnya itu tidak begitu baik. Dan bisa dipastikan semua itu juga karena sikap Keisha sendiri yang begitu dingin pada siapa pun. Kecuali, pada Shifa. Dan kini ada pula Delima dan ibunya itu.
"Tidak enak hati."
Shifa tertawa halus. "Bukan seperti itu, kok. Abang mikirnya yang aneh-aneh aja, sih. Mas Jaya, pekerjaannya sedang menumpuk. Nggak bisa ditinggal."
Keisha hanya menyeringai kecil menanggapi itu. Ia tahu dengan lebih baik alasan sesungguhnya. Meskipun ucapan Shifa mungkin ada benarnya, namun semua itu tak lebih dari usaha Shifa untuk membuat tenang hubungan di antara mereka.
Tanpa diketahui oleh Shifa dan Keisha, sang ibu sedang menguping pembicaraan mereka. Mutiya berdiri bersandar ke dinding di samping pintu yang setengah terbuka.
"Ya sudahlah," ujar Keisha. "Kamu sampaikan saja nanti pada si Jaya: Tidak perlu sungkan untuk datang ke rumah ini. Lagipula, sesekali dia juga harus menemui mama dan papa sebagai mertuanya."
Shifa tersenyum mengangguk. Setidaknya, hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dan itu menandakan ada perubahan yang terjadi pada Keisha.
Begitupula yang sedang dipikirkan oleh Mutiya. Ia berharap, bahwa ini adalah awal dari sebuah kebaikan yang mungkin akan terjadi lagi di rumah ini, seperti waktu-waktu dahulu.
"Sudah dua tahun kalian menikah," ujar Keisha, lalu menghela napas dalam-dalam. "Kenapa sampai sekarang kalian tidak memberikan seorang cucu pun untuk mama? Kamu tahu," Keisha memandang sang adik dengan keseriusan yang kentara. "Mungkin hal ini bisa membuat mama bahagia. Kamu pasti tahu yang Abang maksud."
Ya, itu benar. Keisha terlalu enggan untuk berkata bahwa kesedihan sang ibu—keluarga mereka—selama ini disebabkan karena dirinya sendiri. Tapi ini sudah cukup, pikir Shifa, untuk sekarang itu sudah cukup untuk memperlihatkan bahwa sesungguhnya Keisha pun menginginkan kebahagiaan di dalam keluarga mereka.
"Kami sudah mencoba, Bang. Konsultasi dengan dokter, minum jamu ini jamu itu. Tapi, ya… sepertinya Tuhan belum memberi kepercayaan pada kami."
"Yah, mungkin begitu," ujar Keisha, dan pandangannya kembali tertuju ke langit malam, pada bintang-bintang yang bertaburan di atas sana. "Kuharap, kalian bisa memberikan cucu untuk mama dan papa, walau hanya seorang saja…"
Lagi-lagi Keisha menghela napas dalam-dalam. Ya, andai saja Shifa memiliki keturunan, tentu sang ibu akan bisa mencurahkan perhatiannya pada sang cucu daripada sang ibu harus membuang-buang waktunya mengawasi Keisha.
Setidaknya, itulah yang dipikirkan pemuda tersebut.
Sang adik mengangguk-angguk pelan. Bagaimanapun, ia cukup tahu bahwa selama ini Keisha selalu menyayanginya terlepas dari semua kekecewaan sang kakak terhadap apa yang terjadi pada dirinya di masa lalu.
"Terus," ujar Shifa pula sembari tersenyum lebar, "Bang Keisha mau menceritakan sesuatu sama Shifa?"
Kepala pemuda itu memutar cepat, menatap Shifa dengan kening mengernyit. Sesuatu? Bagaimana dia bisa tahu? Pikirnya. Tidak, tidak, tidak… ini tidak mungkin. Shifa pasti hanya menebak-nebak saja.
TO BE CONTINUED ...