Chereads / Bench in the Park / Chapter 26 - Ciuman Pertama

Chapter 26 - Ciuman Pertama

Tidak banyak kata-kata yang keluar dari mulut Keisha juga Delima saat mereka menyusuri sisi selatan danau itu. Hanya genggaman tangan masing-masing yang berbicara, menyatu dengan erat. Sentuhan lembut dan hangat itu sudah lebih daripada cukup untuk memberi tahu keduanya bahwa ada perasaan yang sama mengalir indah di dalam urat nadi mereka.

Perasaan yang sama menyesakkan dada, namun terlalu indah dan berharga untuk dilepaskan begitu saja.

"Kau tidak akan melepaskan tanganku?" tanya Keisha begitu mereka telah sampai di dekat bangku di tengah dua taman bunga itu.

Delima menunduk dengan wajah yang jengah. Meski bibir mengulas senyum namun dalam hati sang gadis berkata: Tidak Keisha, aku menginginkan hal ini… selamanya.

Hanya saja, rasa jengah yang begitu besar memaksa Delima melepaskan jari-jari tangannya dari sela jemari tangan pemuda tersebut.

Keisha menatap lama wajah manis yang menunduk itu. Terkadang dia terlihat begitu berani, nekat… mungkin lebih ke agresif. Terkadang pula, malu-malu seperti seorang gadis desa yang benar-benar polos, khususnya pada saat sekarang ini. Begitulah yang dipikirkan Keisha terhadap Delima.

"Kau benar-benar menginginkan ini?"

Delima mengangkat wajah, memandang wajah Keisha. Untuk sepersekian detik, Delima melihat keindahan yang luar biasa di wajah pemuda itu. Delima tidak tahu pasti, apakah matanya menipu dirinya sendiri? Atau memang karena senyuman yang tipis namun sangat-sangat manis di bibir laki-laki itu adalah penyebabnya?

Ya… pasti begitu!

Delima sudah melihat senyuman Keisha sebelumnya. Namun yang kali ini, sungguh… nyaris saja membuat jantungnya berhenti berdetak.

Benar, Keisha memang tersenyum. Dan itu, tidak terlihat ada beban sama sekali.

"Kamu nggak keberatan?" tanya sang gadis dengan malu-malu, dan kembali menundukkan pandangannya.

Keisha menurunkan penyangga sepeda, membiarkan benda itu berdiri dengan sendirinya. Ia memandang lagi gadis di hadapan, lalu dua tangan pemuda tersebut menggenggam dengan lembut bahu sang gadis.

Delima sempat sedikit terkejut, ia tidak menyangka bahwa Keisha akan berbuat sejauh itu. Remasan lembut di bahunya itu membuat Delima mengerang halus dengan tatapan tertuju ke wajah Keisha.

"Aku tidak akan pernah merasa keberatan," ujar Keisha. "Setidaknya, dalam beberapa hari ini kau sudah mau menemaniku. Aku bahkan sampai lupa pada kebiasaanku."

Lirikan mata Keisha yang mengarah ke bangku taman itu memaksa Delima juga melirik ke arah yang sama.

Ya, sang gadis tahu maksud pemuda tersebut. Kebiasaan Keisha yang suka melamun di sana.

"Aku… hanya mencoba untuk… untuk menjadi teman yang baik, Keisha…"

Delima pun kembali menunduk. Ia mengutuk keadaannya sendiri yang tiba-tiba begitu kaku, bahkan tenggorokan terasa disumbat sesuatu yang membuat ia harus gugup seketika.

Keisha tersenyum lagi. Ia menundukkan sedikit tubuhnya yang jangkung, memandang lekat-lekat wajah manis itu.

"Teman?" ulang pemuda tersebut. "Kau merasa kata yang sering aku gunakan itu masih relevan untuk keadaan kita berdua sekarang ini?"

Delima tersenyum, lalu menggeleng pelan. Ia masih menunduk sebab masih merasa takut. Takut pada harapannya sendiri yang mungkin saja hanya akan berbuah kekosongan belaka. Takut bila ternyata Keisha hanya berpura-pura saja kepada dirinya.

"Aku juga tidak."

Dan selanjutnya, yang Delima tahu tubuhnya tiba-tiba ditarik ke dalam pelukan laki-laki tersebut. Sang gadis sempat terpaku untuk sesaat. Detik selanjutnya, Delima menyembunyikan wajahnya yang memerah di dada Keisha.

Aah… ini terasa jauh lebih nyaman. Delima memejamkan matanya.

"Aku harap angin sepoi-sepoi itu datang lagi…"

Delima mendengus menahan tawa demi mendengar ucapan Keisha. Sang gadis menepuk pelan dada bidang itu. Pelukan keduanya semakin erat.

Dan saat Delima ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja pandangannya tertutup. Tertutup wajah Keisha yang berada begitu dekat dengan wajahnya.

Untuk sepersekian detik, wajah itu terhenti kurang dari satu inci dari wajah Delima. Bahkan, embusan napas keduanya menerpa dengan lembut dan hangat wajah masing-masing.

Seolah waktu terhenti saat itu juga, dan Delima dapat mendengarkan detakan jantungnya sendiri, napasnya yang seolah tersendat-sendat. Juga detak jantung laki-laki tersebut, Delima bisa mendengar itu dengan sangat jelas.

Sang gadis tidak sempat memikirkan apa yang baru saja terjadi. Namun yang ia tahu, berikutnya bibir laki-laki itu menyentuh bibirnya dengan sangat lembut sehingga mendatangkan rasa yang begitu besar di dalam diri Delima. Menari-nari dalam gerak perlahan yang begitu hangat dan sukar untuk ia terjemahkan.

Perasaan hangat dan bergairah berlarian di setiap pembuluh darah di dalam tubuhnya. Dan itu semakin membuat dadanya yang sempurna terasa sesak tak terkira.

Ciuman pertama dan itu ia dapatkan dari laki-laki yang selama ini ia dambakan untuk menjadi seorang pangeran berkuda putih baginya. Seorang pangeran yang mungkin nanti dapat membantunya melewati semua kesulitan yang akan datang. Menghapus kutukan yang sudah diemban oleh Delima—bahkan semenjak ia belum lahir ke dunia ini.

Keisha sendiri merasa harus memberikan penghargaan atas keberaniannya mengecap bibir tipis sang gadis di dalam pelukannya itu. Bibir merah tanpa pewarna yang selama ini selalu menggoda Keisha untuk menjamah. Dan kini keinginan itu tersalurkan.

Memang hal semacam ini bukanlah yang pertama kali bagi Keisha sendiri, namun setelah sekian lama, kelembutan itu kembali menyegarkan pikiran yang selama ini tertutup oleh kekesalan dan kemarahan.

"Kau menyesal?" tanya pemuda itu ketika ia menjauhkan bibirnya dari bibir sang gadis.

Saat pagutan bibir laki-laki itu menjauh, Delima merasa harus protes sebab ia masih ingin merasakan kelembutan itu lebih lama lagi. Hanya saja, ia cukup malu untuk mengungkapkannya. Hanya gerak halus dari mulut yang setengah terbuka itu saja yang ia pertunjukkan kepada Keisha. Juga, kelopak mata yang seolah enggan untuk terbuka lebih lebar.

Keisha tersenyum, kembali menarik sang gadis ke dalam pelukannya.

"Sama sekali tidak," ujar Delima dengan suara yang begitu serak.

"Aku juga."

Pelukan pada tubuh sang gadis semakin erat. Keisha bahkan dapat mencium aroma wangi nan lembut dari rambut Delima. Ia menghirup napas dalam-dalam, lalu memejamkan mata.

"Terima kasih…"

Delima tersenyum dalam persembunyiannya di dada bidang laki-laki tersebut. "Kau akan pergi?"

Keisha membuka mata, menundukkan kepala. Ia mengangkat dagu sang gadis dengan hati-hati, lalu memandang ke dalam bola mata indah itu seolah ingin menyelami kebeningan yang terlihat begitu menggairahkan.

"Kau mau aku terus di sini? Jahat sekali, belum apa-apa, kau sudah ingin menyiksaku."

Delima tertawa halus nyaris tanpa suara, menggeleng kecil. "Maksudku… apakah nanti kau akan meninggalkanku?"

Sedikit kerutan di dahi pemuda itu pertanda ia tidak sepenuhnya mengerti tujuan ucapan gadis tersebut.

"Kenapa kau bertanya seperti itu, Delima?"

Delima menggelengkan kepalanya, lagi. "Aku hanya takut—"

"Takut?"

Gadis itu mengangguk. "Kamu akan meninggalkanku setelah ini karena aku hanya seorang gadis kampung."

"Hei…"

Keisha menarik lagi tubuh itu ke dalam pelukannya. Mencecap lagi bibir yang terkatup dan bergetar halus tersebut.

"Apakah aku seburuk itu di matamu?" Keisha lalu mengecup puncak kepala sang gadis. Aroma wangi nan lembut itu kembali menyapa penciumannya.

Delima menggeleng di dalam pelukan. "Bolehkah aku tetap seperti ini untuk lima menit ke depan?"

Sang pemuda tertawa halus, lantas mengeratkan pelukannya.

***

TO BE CONTINUED ...