11.
"Karena gue mau nikahin dia secara diam-diam di belakang lo. Gue mau jadiin dia istri kedua. Gimana? Seru 'kan pasti? Punya dua istri di satu rumah."
Arland gila. Setidaknya itu yang ada pada pikiran Arasha saat ini. Tidak mungkin pria itu melakukan hal yang sangat memuakkan seperti yang baru saja pria itu katakan. Menikah lagi? Rasanya Arasha tidak bisa mempercayai hal itu.
Dan sialnya, Arland menyadari ekspresi Arasha. Dia bisa melihat dengan jelas bahwa istrinya tidak mempercayai dirinya.
"Lo gak percaya? Gue buktiin secara langsung. Niatnya sih seminggu lagi pesta pernikahannya, nanti gue undang lo deh. Kalau perlu, lo mau gue akuin sebagai istri pertama?" Sinis Arland.
Arasha menghela nafas berat. Suaminya ini agaknya sedikit sinting. Ah, tidak. Maksudnya sangat sinting.
Dan entah mengapa, Arasha merasa tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut. Hidupnya sejak dahulu sangat sederhana. Dia hanya memikirkan sesuatu yang perlu dipikirkan. Untuk sesuatu tidak penting seperti ini, Arasha merasa tidak perlu untuk mempedulikannya.
Dan gadis itu benar-benar melakukannya. Dia tidak peduli dengan ucapan Arland atau tingkah pria itu. Bahkan, meski Arland sempat menyakitinya.
"Aku bukannya gak percaya. Aku cuman gak mau peduli aja. Nikah lagi ya tinggal nikah lagi. Gak perlu ijin. Kenapa pakai ijin segala, mulai nganggep aku istri ya?" Tepat setelah mengatakan hal itu, Arasha membalik tubuhnya, kemudian keluar dari ruangan Arland, menyisakan pria bermanik biru safir yang sedang menggeram kesal.
Dia memukul dinding di belakangnya, mengumpat sangat keras hingga terdengar di telinga Arasha yang sudah jauh dari ruangan pria itu.
"Damn you, Asa!"
Dan umpatan tersebut membuat Arasha merasa menang.
Untuk membuat Arland kalah rupanya tidak sesusah itu.
***
***
***
Jam makan siang telah tiba. Arasha melirik jam di laptopnya, kemudian meraih ponselnya berniat untuk menghubungi seseorang.
Siapa lagi jika bukan Raya, sahabatnya. Jika dilihat dari jam, dipastikan bahwa Raya tengah menjalankan sholat dzuhur. Jadi, di saat Raya tidak menjawab panggilan darinya, Arasha langsung bergegas keluar dari ruangannya untuk menghampiri Raya.
Dia mengenakan sandal jepit berwarna pink, kemudian berjalan santai seraya bermain ponsel.
Arasha dengan sandal jepitnya adalah sesuatu hal yang sangat serasi. Hanya saja, membuat dia tampak lebih mungil dan pendek di mata orang-orang. Tidak terkecuali di mata Arland yang saat ini sudah berdiri tepat di depan dia, membuat Arasha tanpa sadar menabrak pria tampan tersebut.
Brak!
"Aw! Sejak kapan di sini ada tembok… lah? Kam— Pak Bos?!" Arasha mengulum bibirnya sendiri di saat dia hampir saja keceplosan memanggil Arland dengan sebutan yang tidak formal. Dia segera melangkah mundur, menundukkan kepalanya meski merasa sangat enggan.
Andai saja tidak ada orang di sekitar mereka, dipastikan Arasha akan mendongak angkuh.
"Ada perlu apa, Sir?" Tanya Arasha. Dia menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum selebar mungkin, memperlihatkan senyum terbaiknya.
Arland melihat hal itu. Dia melihat bagaimana senyum Arasha padanya yang terkesan tidak ikhlas sama sekali. Dan entah mengapa, Arland tidak suka melihatnya.
Tanpa sepatah katapun, Arland segera menarik Arasha dari sana, membuat banyak mata memicing curiga pada mereka berdua. Tidak terkecuali dengan Raya yang baru saja datang. Bedanya, Raya tidak melihat hal itu penuh rasa curiga. Justru, dia segera memberi klarifikasi terhadap tatapan penuh curiga mereka. "Ck! Ck! Ck! Asa ini emang ya sukanya bikin masalah. Masa kemarin dia seenaknya ngatain Pak Arland kayak anjing di depan Pak Arland langsung. Ya emang sih dia gak sadar kalau ada Pak Arland. Tapi 'kan gak seharusnya gitu ya?" ucap Raya seraya berakting.
Mereka yang ada di sana segera tertawa saat mendengar ucapan Raya. Dan mereka mempercayainya begitu saja. Lagipula, bagaimana mungkin mereka tidak mempercayainya disaat Arasha sendiri hampir setiap hari menyumpahi Arland? Bahkan, mulut manisnya itu selalu saja mengutuk Arland dengan banyak hal.
"Asa… Asa… alamat tuh, kena hukum. Semoga aja sih gak sampai di pecat. Kasihan dia." Kata Mbak Diah, salah seorang karyawan berusia tiga puluh tahunan yang cukup dekat dengan Arasha dan Raya.
Mendengar ucapan dari Mbak Diah, Raya mengulum senyumnya sendiri. Tersenyum miris. "Arasha ngebom ini kantor juga gak akan dipecat kayaknya." Gumam Raya tanpa sadar.
Mbak Diah yang sayup-sayup mendengarnya sedikit kebingungan. "Ngomong apa Ray?"
"Eh? Gak ada, Mbak. Cuman lagi mbatin aja biasa. Pengen ngebom ini kantor karena banyak kerjaan. Selebihnya aman kok."
"Mbatin apaan yang sampai kedengeran sama Mbak, Ray… kamu ini ada-ada aja."
***
***
***
Di pesisir dunia lain, tepatnya di dapur kantor yang saat ini sedang sangat sepi, Arland mendorong tubuh Arasha hingga membentur dinding. Sakit? Tentu saja. Meski begitu, Arasha tidak mengeluh. Hal itu karena dia tidak ingin memperpanjang masalah yang ada. Dia tidak mau membuat Arland menang dengan melihatnya lemah atau kesakitan.
Arasha akan menang. Dia akan memastikan hal itu. Dia akan membuat setan di depannya berubah menjadi malaikat yang tunduk dan mencintainya begitu dalam.
Tekad gadis itu saat ini sangat kuat tak tertandingi.
"Mau apa bawa aku ke sini? Minta dimasakin rendang lagi? Enak 'kan rendang masakan aku? Kamu sampai habis dua piring tadi pagi." Sindir Arasha, sedikit sarkas pada suaminya.
Ya, rendang buatannya ludes dimakan oleh Arland. Tentunya pria itu tidak terang-terangan memakannya di depan dia. Arland memakannya saat Arasha sudah berangkat ke kantor. Dan Bi Ani yang mana pembantu rumah tangga mereka melapor padanya bahwa Arland memakan rendangnya dengan lahap sampai nambah dua piring.
Sayangnya, Arland tentu tidak akan mengakui hal itu. Alih-alih melanjutkan pembahasan mereka seputar rendang, Arland justru mengalihkan topik pembicaraan yang ada.
"Gue mau lo ambil semua berkas yang lo taruh di meja gue tadi pagi. Semuanya. Gue udah baca semua itu dan udah nemu mana yang bakal jadi sekretaris gue." Ucap Arland.
Arasha mengangguk pelan. Dengan santai dan tanpa hormat sedikitpun, dia berjalan menuju lemari es dan meraih sebotol air putih di sana. Dia menenggak air putih tersebut, bersandar di pantry seraya menatap Arland. "Kirim aja identitasnya ke email aku. Nanti biar aku hubungin orang yang bersangkutan. Aku urus sekalian juga." Kata Arasha.
Arland menarik sudut bibirnya, kemudian berkata. "Lo tau gak? Sekretaris gue yang ini cantiknya melebihi lo. Badannya sexy, dan pastinya—"
"Murahan. Iya 'kan?" potong Arasha cepat.
Arland terdiam. Dia akui, memang murahan. Bahkan, mereka bertemu di sebuah club malam.
Jika kalian berpikir bahwa Arland memilih salah satu di antara berkas yang ada, kalian salah. Karena nyatanya, tidak ada satupun yang cocok untuknya. Untuk menjadi sekretarisnya. Dan kebetulan, salah seorang pelacur yang kemarin-kemarin sempat melayani Arland menghubungi dia untuk meminta pekerjaan. Tentu saja Arland langsung memanfaatkan hal ini.
Sedangkan di sisi lain, Arasha yang melihat Arland bungkam hanya tersenyum tipis. Gadis muda itu meletakkan botol minum ke atas meja, perlahan mendekat kearah Arland. "Cantik juga percuma kalau murahan."
Arland kali ini tidak mau kalah. Dia mencengkram kuat lengan Arasha, berkata sarkas. "Apa bedanya pelacur yang nawarin tubuh mereka ke gue sama lo? Jangan lupa, Sa… dengan lo memilih gue hari itu. Sama aja lo lagi nawarin tubuh lo ke gue. Yang mana artinya, lo sama murahannya sama mereka."