12.
"Santai, Asa… santai… gak ada yang bakal minta sandwich lo itu." Raya sedang berusaha menenangkan sahabatnya yang sejak tadi tampak makan dengan tergesa-gesa.
Gadis cantik di sampingnya itu melahap satu buah sandwich hanya dengan tiga kali gigitan. Dan itu membuat Raya takut barangkali Arasha tersedak.
Di saat Raya sedang berusaha menghentikan cara makan Arasha yang tergesa-gesa, Arasha sendiri justru tidak mendengarkannya. Dia menulikan pendengarannya karena fokusnya hanya pada satu hal. Tentang ucapan Arland yang seenak jidat mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pelacur karena memilih pria itu menjadi suaminya.
Arasha marah besar. Sangat marah. Namun, tentunya amarah itu dia tahan sedemikian rupa. Dia tidak meledakkan amarahnya di depan Arland. Melainkan, di belakang suami sialannya itu.
"Lo tau, Ray?! Gue dibilang murahan sama dia. Gue di bilang murahan sama dia! Dengan seenak jidat, dia bilang sama gue kalau gue murahan karena milih dia jadi suami gue. Katanya gue menyerahkan my beautiful body… gila banget 'kan?!" Ocehnya tanpa mempedulikan ucapannya.
Ya, Raya sudah mendengar hal itu selama berjam-jam. Dan sampai detik ini juga, Arasha masih mengoceh dengan kaki yang dia angkat di atas meja.
"Oke, gue tau itu. Arland brengsek banget 'kan? Dia ngatain lo murahan padahal lo istrinya sendiri. Dia gila, sih! Gila banget." Reaksi Raya yang semula sedikit antusias dan mengumpat, menyalahkan Arland, lama-kelamaan mulai jengah setelah mendengarkan semua itu secara berulang.
"Padahal yang murahan si Ulfa! Mau aja dijadiin istri kedua! Pelacur banget 'kan dia?! Udah gitu, si brengsek itu seenaknya mau ngundang gue ke acara nikahannya sama—" ucapan Arasha terhenti kala dia mendengar suara dering ponselnya.
Dan ini membuat Raya merasa sangat senang. Dia bisa lega sekarang karena tidak akan mendengar cerita yang sama lebih lama lagi.
"Biar gue tebak, itu adalah suami brengsek lo." Tebak Raya.
Arasha menggigit sandwich nya, menggeleng pelan. "Iya Pah?" Sang ayah rupanya yang menelfon. Dan ini tidak pernah menjadi sebuah pertanda yang baik.
Ayah Arasha sangat jarang menghubunginya. Dia hanya menghubungi Arasha di saat-saat genting saja. Selebihnya, dia hanya menghubungi melalui pesan.
Seraya terus mengunyah sandwich di mulutnya, Arasha mulai mengemasi barang-barangnya.
"Papah?" Raya yang juga mendengarnya jadi merasa sedikit panik.
Sama paniknya dengan Arasha sewaktu mendengar alasan tentang sang ayah yang menghubunginya. "Sa, kamu harus pulang sekarang. Zriel sakit karena kangen sama kamu."
Langkah kaki Arasha seketika terhenti. Tangan yang semula berniat meraih tasnya langsung dia tarik kembali. "Zriel sakit?"
Raya mendengarnya. Dan seketika itu juga, dia langsung mendekati Arasha, mengusap punggungnya. "Calm down, calm down…. Santai, oke? Perjalanan dari sini ke rumah nyokap lo cuman lima menit—" ucapan Raya terhenti kala Arasha langsung meraih kunci mobilnya dan melangkah pergi dari sana, meninggalkan Raya yang hanya bisa mengulum senyum pahit.
"Dan terjadi lagi… gue di tinggalkan bestie gue~"
***
***
***
"Dylan masih belum menghubungi Mami?" Hari ini, sepulang dari kantornya, Arland yang merasa sangat muak dengan Arasha memutuskan untuk pergi ke rumah ibunya alih-alih langsung pulang ke rumah. Padahal, tanpa sepengetahuan Arland, Arasha juga demikian. Dia yang malas pada Arland memutuskan untuk pulang terlambat dan bermain terlebih dahulu di rumah Raya.
"Belum. Kamu kenapa kesini sendirian? Asa dimana?" Rosea yang tidak menemukan menantunya tentu menanyakan keberadaan menantunya tersebut pada Arland.
Arland mendaratkan bokongnya di sofa ruang keluarga. Dia menyandarkan punggungnya pada kepala sofa empuk tersebut, kemudian memijat keningnya sendiri.
"Gak tau. Dia gak ngasih kabar Arland mau kemana. Ke club kali, jual diri." Ujar Arland secara asal.
Mendengar ucapan putranya, tentu saja membuat Rosea sedikit geram. Bagaimana bisa putranya seenak jidat mengatakan bahwa menantunya menjual diri?!
"Arland! Bagaimana bisa kau berkata seperti itu hah?!" Sentak Rosea, merasa sangat geram dengan ucapan Arland seputar menantunya.
Arland yang mendengar hal itu tidak merasa bersalah sedikitpun. Alih-alih merasa bersalah, dia hanya mengendikkan bahunya, menatap Rosea dingin.
"Dia gak ngasih kabar Arland… ya, jadi apa salahnya Arland kalau menyimpulkan bahwa Asa pergi ke club buat jual diri?" Ucapnya seringan bulu.
Nafas Rosea terengah-engah mendengarnya. Dia berdecak kesal, melemparkan remot televisi pada Arland dan langsung ditangkap oleh pria itu. "Ups! Mami gak berhasil nimpuk Arland!"
"Kau ini ya… jadi anak menyebalkan sekali. Mami berdoa agar anakmu juga sama sepertimu. Sama nakalnya dan sama menjengkelkannya agar kamu mengerti rasanya mendidik kamu bagaimana." Kesal Rosea. Dia tidak sadar telah menyumpahi putranya sendiri. Meski begitu, sumpah Rosea tampaknya tidak terlalu buruk. Arland harus diberi sedikit pelajaran.
"Mami kok gitu sih?! Arland gak salah apa-apa tapi di sumpahin gini! Yang salah di sini jelas-jelas Asa karena dia gak ijin sama Arland!" Kesal Arland. Meski ucapannya sedikit ketus, pada kenyataannya Arland tidak berani meninggikan suaranya pada Rosea. Karena, dia sangat menghormati ibunya itu.
Di sisi lain, Rosea yang kini mengerti bahwa rumah tangga putranya cukup buruk jadi merasa sedikit menyesal. Bukan, dia bukannya menyesal menikahkan Arland pada Arasha. Melainkan sebaliknya. Dia menyesal karena Arasha harus menjadi istri Arland.
Bahkan, sehari sebelum pernikahan, Rosea sampai menemui Arasha hanya untuk memastikan bahwa pilihan Arasha ini sudah benar. Dia sempat berusaha membujuk Arasha agar mengubah pilihannya. Namun, sayang sekali gagal. Arasha terlalu keras kepala.
Meski begitu, di satu sisi… Rosea merasa sangat beruntung karena Arasha memilih putranya. Karena, dia yakin Arasha bisa mengubah putranya menjadi Arland yang dulu. Si manis Arland yang sudah mati semenjak kecelakaan hari itu. Kecelakaan yang menewaskan adik kesayangan Arland, Filea.
"Dia gak izin sama kamu juga karena kamu sendiri, Arland… karena kamu yang terlalu keras sama dia. Karena kamu jahat sama dia. Kamu gak menghargai dia sebagai istri kamu. Kamu hanya melihat dan menganggap dia sebagai Arasha, musuh kamu dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas." Oceh Rosea panjang lebar.
Bukannya menyadari kelakuan dia, Arland justru kembali menyangkal ucapan ibunya. "Sejak awal Arland udah bilang ke dia kalau Arland anggap dia sebagai musuh Arland. Jadi, kalau kasusnya gini… Arland gak salah apapun. Dia sendiri yang memilih Arland untuk jadi suaminya. Dia sendiri yang memilih jalan hidup ini." Arland mulai sedikit kesal karena disalahkan oleh ibunya.
Dan Rosea yang mendengar hal itu hanya menghela nafas berat. Dia tidak ingin ikut campur terlalu dalam pada rumah tangga putranya. Lagipula, benar kata Arland. Arasha yang memilih jalan ini. Dan Rosea hanya bisa berharap, Arasha kuat dengan jalan yang dipilihnya.