13.
Tepat pada pukul sebelas malam, Arasha baru saja sampai di rumah yang dia tinggali bersama Arland. Gadis itu turun dari mobil sang ayah, kemudian berjalan menuju teras rumah.
Sewaktu sampai di teras rumahnya, Arasha segera merogoh tas untuk mencari keberadaan kunci rumahnya. Dia mengambilnya dengan cekatan, langsung membuka pintu utama berbahan kayu yang berwarna hitam.
"Arland?! Kamu udah pulang?" Seraya berjalan masuk ke dalam rumahnya, Arasha mulai meneriaki sang suami. Namun, dia tidak mendapati adanya respon sedikitpun dari sang suami.
Alhasil, tanpa sepatah katapun lagi, Arasha segera naik ke lantai dua untuk masuk ke dalam kamarnya.
Dia berjalan dengan santainya, sambil menenteng tasnya.
Satu persatu anak tangga dia pijak dengan ringan. Hingga akhirnya, pada saat di pijakan anak tangga paling atas, Arasha dikejutkan oleh suara seseorang dari arah lantai bawah.
"Baru pulang lo?!"
"Fuck! Astaga!" Arasha mengumpat kencang. Dia menekan dadanya seorang diri, saking terkejutnya dengan suara tersebut.
Manik mata berwarna hitam pekat miliknya kini menoleh ke arah lantai dasar. Di sana, dia bisa melihat Arland yang tengah berdiri tepat di dasar tangga dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.
"Arland, kamu ngagetin anjir! Bayangin kalau aku jatuh dari tangga, nge-gelinding terus kepala aku bocor dan metong?!" Sentak Arasha. Dia terduduk di tangga, berusaha menetralkan dirinya sendiri.
Arland masih menatap Arasha tajam. Dia tidak menggubris ucapan Arasha sedikitpun. Yang dia lakukan hanyalah menatap Arasha sambil berjalan menaiki tangga, menghampiri gadis itu.
Merasakan aura yang sangat pekat menguar di sekitar dirinya, Arasha terdiam termenung. Dia seolah menantikan Arland mendekat, dan hanya bisa menanti.
Hingga akhirnya, pria itu benar-benar sudah berdiri di depannya. Dengan tubuh yang condong ke arahnya.
Manik mata berwarna biru yang Arland miliki terlihat sangat memukau. Saking memukaunya, Arasha sempat terhipnotis selama beberapa saat pada keindahan netra milik suaminya tersebut.
Sayangnya, keindahan itu hanya berlangsung beberapa saat sebelum akhirnya netra biru terang milik Arland berubah menggelap, penuh amarah. Ditambah, dengan sebuah cekraman tangan Arland pada rahang Arasha yang menguat hingga membuat Arasha sesak nafas.
"Land… A-Arland…" Arasha mencicit ketakutan, sekaligus meminta tolong secara tersirat. Nafasnya semakin tercekat, merasakan sakit.
Bukannya melepaskan cekraman tangannya, Arland justru semakin memperkuatnya. Tak lupa, disertai sebuah geraman dan seringaian yang cukup tajam.
"Habis ngapain lo, baru pulang jam segini?! Ngelonte? Open BO sejak kapan lo?" Geram Arland.
Arasha tersentak mendengarnya, tidak menyangka akan mendapat tuduhan serendah ini dari sang suami.
"L-Land… a-akh! A-aku g-gak gitu…" Kedua tangan Arasha mencekal kuat tangan Arland, berusaha untuk melepaskan tangan Arland yang mencekramnya lebih kuat lagi. Namun, karena Arasha yang sudah terlampau lemas dengan oksigen yang semakin menipis, dia tak memiliki tenaga untuk memberontak. Yang bisa Arasha lakukan hanyalah pasrah tanpa bisa melakukan apapun.
"L-Land… g-gak bisa n-nafas…" Arasha berusaha meminta tolong pada Arland agar dilepaskan cekikan di lehernya.
Arland tak melepaskannya. Dia hanya mengendurkan sedikit cekraman tangannya agar Arasha bisa bernafas. Karena pada dasarnya, Arland hanya berniat menyiksa Arasha, bukan membunuhnya.
"Jawab gue, habis darimana lo sampai pulang jam segini?!" Gertak Arland dengan suaranya yang terdengar sangat rendah dan menyeramkan.
Arasha ketakutan. Dia tidak berbohong. Dia benar-benar ketakutan. Karenanya, dia berusaha untuk menjawabnya. "H-habis dari uhuk! R-rumah Mamah." Cicit Arasha.
Arland langsung melepaskan leher Arasha, membuat gadis itu terpental dan nyaris menggelinding dari tangga jika saja tidak ditahan oleh Arland.
Arasha terbatuk, menghirup oksigen dengan sangat rakusnya.
"Ngapain?!" Di tengah Arasha yang masih berusaha untuk meraup oksigen di sekitarnya, Arland kembali melayangkan sebuah pertanyaan pada gadis itu.
Arasha terbatuk pelan, berusaha menjawabnya. "M-mamah sakit." Jawab Arasha, berbohong. Ya, dia berbohong. Tentunya, untuk sebuah alasan yang tidak bisa dirinya beritahu pada Arland.
Alasan yang akan menjadi titik balik kehidupannya. Menjadi penjelasan tentang mengapa dirinya memilih Arland.
Mata Arland sudah memicing sempurna menatap Arasha. Dia terlihat tidak mempercayainya. Meski begitu, Arland merasa tidak ingin memaksa Arasha lebih jauh lagi. Pria tampak bermanik biru tersebut memutar bola matanya jengah, berdecak kesal. "Lain kali kalau lo pulang telat, kabarin gue. Kasih tau lo ada dimana. Lo tau?! Gara-gara lo yang pulang telat tanpa ngasih kabar, gue ribut sama nyokap gue!" Kesal Arland.
Arasha menghela nafasnya, berusaha bangkit. Dia tahu ini kesalahannya. Dia sadar perbuatannya saat ini sedikit terlalu kekanakan. Pulang terlambat tanpa memberitahu Arland. Tetapi, niat awalnya Arasha hanya akan menetap di rumah Raya sampai petang. Dia tidak ada niatan ke rumah orang tuanya andai saja tak mendapat kabar mengejutkan itu.
"M-maaf. Aku gak akan gitu lagi." Kata Arasha dengan rasa bersalah.
Arland berdecak, berjalan mendahului Arasha dan meninggalkan gadis itu seorang diri.
***
***
Rintik hujan terdengar sayup-sayup melalui celah jendela kamar Arasha yang sedikit terbuka. Airnya masuk, membasahi lantai gadis itu. Tidak sepenuhnya, namun bisa dibilang cukup basah.
Di tengah rintik hujan yang sedang terdengar deras dan menggebu, tak lupa di sertai oleh suara gemuruh petir yang terdengar bising, Arasha masih saja terlelap.
Suara gemuruh petir seolah bukan lah gangguan yang bisa membuat tidurnya terusik. Dia benar-benar sudah menikmati mimpinya sendiri, hanyut ke dalam angan-angan yang tak nyata.
Mimpi Arasha sudah mencapai klimaks nya. Dan pada detik itu juga, sebuah ketukan pintu yang sangat kasar berhasil mengacaukan semuanya, membuat Arasha membuka mata dengan segera.
"Sialan!" Gadis cantik berambut pirang itu mengumpat pelan. Dia memijat kepalanya yang berdenyut nyeri akibat bangun tiba-tiba.
"Heh! Bangun lo, Asa!"
"Jadi istri gak bener banget sih! Pemalas!"
"Sa?! Bangun, sialan! Bangun!"
Teriakan Arland semakin kencang, mengalahkan suara petir di luar sana. Arasha yang baru saja terbangun dari tidurnya menoleh singkat ke arah jam digital yang menunjukkan angka enam.
Gadis itu turun dari ranjang, tak sebgaja terpeleset oleh air hujan yang membasahi lantai kamarnya.
Gedebuk!
"Aw!" Arasha meringis pelan. Dia melirik ke arah jendela yang terbuka, menggeram kesal. "Sialan! Sial banget sih hidup gue!" Rutuknya entah pada siapa.
Di tengah rasa sakit pada kakinya, Arasha masih saja mendengar suara Arland yang semakin menjadi-jadi.
"Gue denger suara lo ya! Buka cepetan, istri durhaka!" Teriak Arland.
Arasha menghela nafas berat, memaksa kakinya untuk berdiri dan segera membuka pintu kamarnya.
Sewaktu pintu kamar terbuka, Arasha langsung mengomel pada Arland. "Kamu kenapa sih, Land?! Kesurupan?! Pagi-pagi ributnya ngalahin petir." Sinis Arasha.
Arland tentu tidak terima. "Kesurupan?! Lo pikir setan berani nempel in gue?!"
"Oh iya, lo setannya." Gumam Arasha tanpa sadar.
Mata Arland semakin melotot, menggeram kesal. "Seenak jidat lo bilang gue setan! Sama suami bisa sopan dikit gak sih?! Gue suami lo, jangan lupa! Suami sah lo." Arland sengaja menekankan kata 'sah' sebagai penegas atas kalimatnya.
Arasha berdecak, terpaksa harus pasrah. "Hm. Ada perlu apa bangunin aku pagi-pagi gini?" Tanya Arasha.
Arland seketika ingat akan tujuannya. "Mami mau ke sini ngecek rumah tangga kita. Lo gak boleh ngomong apapun sama Mami tentang apa yang gue lakuin. Ngerti? Apapun. Awas aja kalau lo sampai bocorin semuanya."