14.
Arasha tidak menjawab ucapan Arland. Gadis cantik berambut pirang tersebut hanya berdeham tanpa mengiyakan atau pun berkata tidak. Dan hal ini membuat Arland merasa begitu frustasi. Dia mengekori Arasha tanpa henti, memastikan Arasha menjawab 'ya'.
"Sa! Gue lagi ngomong! Lo dengerin gak sih?! Lo bisu atau gimana?!" Sentak Arland.
Arasha dengan santainya masuk kembali ke dalam kamarnya, mengikat rambut panjangnya, kenudian masuk ke dalam kamar mandi. Dan Arland tanpa henti mengekor di belakangnya. Pria itu benar-benar mengikuti Arasha kemanapun. Tidak terkecuali hingga ke kamar mandi.
Arasha yang pada dasarnya tidak ingin menjawab memilih untuk tetap mengabaikan Arland. Gadis itu berdiri di depan wastafel, meraih sikat gigi dan mengoleskan pasta gigi di bagian brush nya.
Diabaikan seperti ini tentunya membuat Arland merasa tersinggung. Sangat amat tersinggung. Pria itu berdiri tepat di dibelakang sang istri, menatap tajam wajah sang istri melalui pantulan cermin di depan sana.
"Jangan sampai gue kasar lagi sama lo, Sa… leher lo aja masih ada bekas cekikan dari gue. Jangan sampai lo bikin gue nambah bekas cekikan di leher lo." Desis Arland, persis di telinga Arasha. Bahkan, Arasha busa merasakan dengan jelas sapuan hangat nafas Arland di leher dan telinganya.
Arasha tetap tidak mempedulikannya. Dia menggosok gigi, mengabaikan Arland kembali.
Hingga akhirnya, Arland yang mulai kehabisan kesabarannya mulai membentak sang istri. "Brengsek lo Sa! Gue tanya dijawab!"
"Cih!" Arasha berdecih pelan. Dia berkumur, membersihkan mulutnya, dan membalik tubuhnya. "Apa jawaban yang kamu mau?" Tanya Arasha, sedikit menantang sang suami.
Arland menatap mata Arasha dengan sangat dingin dan penuh kebencian. "Jawab kalau lo gak akan ngasih tau apapun yang gue lakuin ke Mami. Entah main fisik atau apapun itu." Desis Arland.
Arasha menghela nafas berat. Dia tersenyum tipis, kemudian berdeham pelan. "Hm." Deham Arasha.
Arland tersenyum menang, mencekram cukup erat lengan istri berambut pirangnya. "Awas aja kalau lo gak nurut dan berkhianat. Gue gak akan ngasih lo kesempatan buat minta maaf. Gue bakal pastiin lo bertekuk lutut di bawah gue, nangis-nangis minta gue berhenti buat nyiksa lo." Ancam Arland.
Arasha yang sejak awal tidak memiliki rasa takut pada Arland hanya mengendikkan pundaknya. Dia berjalan menjauh dari pria itu, meninggalkan Arland di dalam kamar mandinya.
***
***
Ting!
Microwave telah berbunyi. Masakan yang Arasha panaskan kini telah seleai. Gadis itu membukanya perlahan, meraih makanannya dengan hati-hati.
Menu sarapan Arasha hari ini sangatlah sederhana. Hanya sebatas ramen dengan keju meleleh di atasnya.
Katakanlah Arasha gila karena memakan ramen di pagi hari. Sayangnya, perut gadis itu sedang sangat menginginkannya.
Baru saja Arasha meletakkan semangkuk ramen tersebut ke atas meja, Arland tiba-tiba datang dan menyerobot makanannya. Pria itu duduk di kursi yang seharusnya Arasha tempati, kemudian melahap ramen favorit Arasha tanpa ijin.
"Arland?" Arasha berusaha menyadarkan pria itu. Berharap Arland hanya meminta sedikit. Sayangnya, harapan Arasha pupus. Arland tetap santai memakannya.
"Apaan? Gue laper. Lo gak masak pagi. Bi Ani kalau weekend 'kan gak ada. Ya udah, gue makan ini. Kenapa?! Mau protes lo?!" Geram Arland dengan nada ketusnya seperti biasa.
Tangan Arasha sudah mengepal sangat erat. Genggamannya begitu kencang, siap menghantam kepala Arland. Namun, tentu saja Arasha tidak berani melakukannya. Sampai bumi berhenti berotasi sekalipun, gadis itu hanya bisa menyimpan kepalan tangannya. Ya, maksimalnya… hanya mengayunkan kepalan tersebut, namun tidak sampai mengenai target.
Dia menarik nafas kasar, berjalan menuju dapur, membuka lemari pendingin dan memutuskan untuk memasak oatmeal.
Setelah jadi, Arasha kembali ke meja makan. Gadis itu memakan oatmeal nya dalam diam seraya sibuk bermain ponsel.
Di saat Arasha sedang diam membisu, Arland tampaknya tidak bisa membiarkan Arasha tenang selama beberapa menit saja. Pria itu kembali mengoceh dengan mulut pedasnya, membahas tentang hal yang sangat Arasha hindari.
"Gimana?! Lo jadi gak dateng ke acara nikahan gue sama Ulfa?!" Ujar Arland, sedikit memancing emosi Arasha.
Arasha berdecak kesal, melahap oatmeal nya yang kini terasa semakin memuakkan di mulut. "Arland Maurozeas Cashel… anaknya Mami Rosea yang terhormat… mikir dong. Punya otak 'kan? Dipake. Ya kali aku bakal dateng ke acara nikahan kamu sama cewek lain. Gila ya?" Arasha kehilangan kesabarannya. Alhasil, dia membalas ucapan Arland sama ketusnya.
Memancing amarah Arasha adalah bagian yang menyenangkan dalam hidup Arland. Dan melihat Arasha terpancing amarahnya, merupakan hal paling menyenangkan untuk Arland.
"Cemburu bilang aja."
Uhuk!
"Apa?! Aku? Cemburu?! Lawak banget ya kamu, Land… baru tahu selera humor Arland serendah ini. Yang bener aja aku dibilang cemburu sama cewek model pelepah pisang kayak Ulfa. Cih! Gak level. Orang minus delapan juga tau kali kalau aku yang menang." Arasha menyombongkan diri. Dia meraih segelas air putih, menenggaknya untuk menetralkan tenggorokannya yang terasa panas.
Arland sedikit tercekat mendengar ucapan Arasha. Dia menelisik wajah sang istri, seolah mencari kebohongan di sana. Dan nyatanya, Arasha tidak berbohong. Dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya sendiri.
"Cih! Pede banget lo. Terlalu percaya diri itu gak baik. Bikin lo gak ada kemajuan. Lagian, dimana-mana juga udah jelas yang lebih cantik itu Ulfa. Badan Ulfa sexy, montok, berisi. Gak kayak lo… kurus kerontang udah kayak kentongan pos ronda." Sinis Arland.
Arasha menganga lebar, tidak mengangka akan mendapatkan penghinaan fisik dari sang suami. "Permisi, Sir? Saya kurus kerontang?! Yang bener bae. Badan sexy ala model di bilang kurus kerontang. Lagian nih ya… aku kasih tau ya rahasia calon istri kedua kamu. Rahasia yang besar banget…" Arasha mendekati Arland, berbisik di telinganya.
"Ulfa itu pasang implan payudara. So, yang kamu remes-remes, yang kamu cium-cium itu cuman silikon. Duh, kasihan tertipu." Sarkas Arasha.
Arland terkesiap mendengar ucapan Arasha. Istrinya ini polos-polos berbahaya ternyata. Mulutnya sering kali diam. Namun, sekalinya berujar… maka akan lebih pedas daripada sebuah cabe merah. Benar-benar tidak disangka-sangka.
Mengenal Arasha dari kecil. Dari sekolah dasar. Bahkan, menjadi musuh gadis itu sejak dahulu tidak membuat Arland tahu seluk beluk Arasha sesungguhnya. Karena bagaimana pun juga, mereka bermusuhan.
"Cih! Ngomong aja lo iri jadi fitnah kayak gini?! Lo iri 'kan sama body nya Ulfa yang mantep bohay membahana. Bokongnya kencang, sexy—" Arland tidak sempat menyelesaikan kalimatnya sendiri sewaktu mendengar suara yang sangat familiar di telinganya.
"—Siapa yang bokongnya kencang, Arland?" Potong Rosea, sang ibu yang baru saja datang.
Dia berdiri di ujung meja, mendengar sedikit percakapan Arland dengan Arasha. Mereka terlihat berselisih tegang sampai tidak menyadari kedatangan Rosea.
Arland terdiam dengan wajah yang memucat, segera mendekat ke arah sang ibu. "Mami sejak kapan di sini? Kok gak ketuk pintu?"
"Udah ketuk pintu tadi. Tapi, kalian kayaknya gak dengar. Siapa yang bokongnya kencang, montok, Arland?" Desis Rosea, menuntut sebuah jawaban.
Arasha menyusul Arland mendekati ibu mertuanya, kemudian menyapa sang ibu mertua. "Mami Rosea…"
Suara Arasha tentunya membuat perhatian Rosea teralihkan sepenuhnya pada gadis itu. Dia menoleh, membelalak kaget sewaktu melihat bekas luka cekikan di leher menantunya. "Asa… ini kenapa sayang? Kok ada bekas cekikan gini? Siapa yang ngelakuinnya?!" Tanya Rosea dengan wajah panik.
Arland sudah keringat dingin sendiri, takut Arasha akan membocorkannya. Akan tetapi, hati kecilnya merasa tenang karena berpikir bahwa Arasha tidak akan berani mengatakan pada Rosea tentang apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah Arasha takut padanya? Pada ancamannya?
Hening menerpa mereka selama beberapa detik. Sampai akhirnya, keheningan itu pecah dengan sendirinya oleh Arasha.
"Oh ini… di cekik sama Arland, Mam. Itu pelakunya, ada di samping Mami. Sakit sih, sampai Asa gak bisa nafas."