Waktu berlalu.
Tepat 2 menit lagi meeting akan dimulai, Nio mulai memasuki ruang meeting dan di tangannya ada dua buah amplop cokelat yang masing-masing berisikan sebuah pernyataan di dalam masing-masing amplop tersebut.
Dengan ditemani Wilona, sang sekretaris, Nio kemudian sampai di kursi pemimpin rapat dan tatapannya tertuju pada semua orang yang ada di ruang pertemuan itu, yang sejak Nio memasuki ruangan itu, mereka semua berdiri menyambut kedatangan Nio.
"Silakan semuanya duduk," ucap Nio, dan Nio pun duduk lebih dulu di kursinya.
Semua orang lantas akan duduk kembali tetapi tatapan Nio tertuju pada dua orang yang akan duduk juga.
"Kecuali kamu, dan kamu," ucap Nio menunjuk dua orang yang akan duduk tadi. Tatapan Nio tampak datar membuat kedua orang itu bingung.
Kedua orang itu yang tak lain adalah direktur keuangan dan asistennya yang bekerja di perusahaan dibawah kepemimpinan Nio.
"Ya, ada apa Tuan? Apa ada masalah?" tanya direktur keuangan tampak bingung.
Tanpa mengatakan apapun Nio melemparkan masing-masing amplop di tangannya ke atas meja tepat di hadapan kedua orang itu. Kedua orang itu lagi-lagi dibuat bingung. Mereka tak tahu apa kesalahan mereka, atau lebih tepatnya tak menyadari apa kesalahan mereka yang telah membuat Nio sangat marah.
Kedua orang itu mengambil amplop di hadapan masing-masing dan mulai membaca apa yang tercatat di selembar kertas yang ada di dalam amplop itu.
Nio hanya menatap kedua orang itu dengan tatapan datar seraya sikunya yang kemudian dia letakan di atas meja pertemuan dan kepalan tangannya menopang dagunya.
"Tu-tuan, ini maksudnya apa?" tanya direktur keuangan panik saat melihat isi amplop itu ternyata surat pemecatan dirinya dari perusahaan itu, surat itu bertanda tangankan pimpinan perusahaan Sasongko, yaitu Abraham Sasongko. Pemecatan tanpa pesangon, pemecatan yang jelas secara tidak hormat.
"Hem... Kamu sudah membacanya, benar 'kan? Jadi, kenapa harus bertanya lagi?" ucap Nio dengan tatapan yang masih datar terhadap direktur keuangan itu, nada bicaranya bahkan ikut datar seolah tak menunjukan reaksi apapun atas kesalahan fatal yang dilakukan direktur keuangan itu yang sudah sangat merugikan perusahaannya.
Ya, korupsi. Direktur itu dan asistennya bekerja sama melakukan penggelapan sejumlah dana perusahaan dan nominalnya cukup besar. Kasus itu diam-diam Nio selidiki selama beberapa bulan terakhir. Karena sebelumnya bukti belum cukup, Nio lantas hanya bisa diam. Namun, sekarang bukti sebagian besar telah menunjukan bahwa direktur keuangan itu memang melakukan penggelapan dana perusahaan Sasongko, karena itu Nio pun akhirnya mengambil keputusan untuk melaporkan tindakan tersebut kepada piminan perusahaan, dan pimpinan memberikan perintah bahwa direktur keuangan dan asistennya di pecat dari perusahaan Sasongko.
"Tapi, Tuan. Tuduhan ini jelas tak benar. Anda tak bisa menuduh Saya seperti ini, Anda bahkan tak memiliki bukti yang jelas!" ucap direktur itu tak terima atas perlakuan Nio. Rasa malu seketika di rasakan direktur itu lantaran Nio memperlakukannya seperti itu di hadapan pihak penting lainnya di perusahaan itu.
"Oh, ya?" ucap Nio seakan menantang direktur keuangan untuk membuktikan jika tuduhannya memang salah.
Direktur keuangan itu kemudian diam ketika melihat tatapan Nio yang mulai sedikit tajam.
"Wilona, berikan berkas di tanganmu pada mereka!" perintah Nio.
Wilona bersiap mendekati kedua orang itu dan berniat memberikan berkas di tangannya pada kedua orang itu. Namun, tindakannya terhenti ketika Nio memanggilnya.
"Ya, Tuan?" ucap Wilona menatap Nio.
"Lemparkan berkasnya ke wajah mereka!" perintah Nio.
Wilona hanya diam, tetapi sesaat kemudian.
Plak!
Plak!
Kedua orang itu tercengang ketika Wilona benar-benar melemparkan berkas di tangannya ke wajah masing-masing orang itu.
"Kalian bisa membaca berkas itu! Dengan begitu, kalian mungkin akan sadar atas kesalahan kalian," ucap Nio.
Kedua orang itu semakin merasa malu atas apa yang Nio lakukan. Mereka dengan cepat membaca berkas yang baru saja dilemparkan ke wajah mereka. Berkas itu ternyata berisikan laporan penggelapan uang yang mereka lakukan selama di perusahaan itu berikut nominal yang tertera dengan jelas yang juga jelas mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian.
Tak hanya kedua orang itu saja yang merasa malu di perlakukan tidak terhormat oleh Nio, bahkan orang-orang di sana pun ikut merasakan rasa malu itu. Mereka tak ada yang berani duduk. Ah, ya. Bukan hanya rasa malu, melainkan juga terkejut melihat apa yang Nio lakukan. Selama ini, Nio memang terkenal dingin, dia tak banyak bicara dan jarang berinteraksi jika tidak untuk masalah yang berkaitan dengan pekerjaan. Misalnya, ketika bertemu para pegawainya, dan mereka menyapa Nio, jangankan membalas sapaan mereka, Nio bahkan tetap menunjukan wajah datar dengan pandangan terfokus ke depan langkahnya.
Namun, mereka tak menyangka, Nio benar-benar mempermalukan direktur keuangan itu.
"Kalian tak perlu menjelaskan apapun di sini. Ya, kalian bisa jelaskan di kantor Polisi," ucap Nio dan nada bicaranya masihlah datar seperti sebelumnya.
Kedua orang itu lantas terkejut mendengar apa yang Nio katakan.
Tak lama pintu ruang pertemuan terbuka, dan masuklah 3 orang Polisi dengan seragam lengkap, di mana 2 orang polisi langsung memborgol kedua orang itu, dan membawa kedua orang itu keluar dari ruang pertemuan.
Sedangkan salah satu polisi yang tak lain adalah kapten dari kedua Polisi itu menghampiri Nio. Nio pun bangkit dari duduknya dan menjabat tangan kapten Polisi.
"Untuk beberapa hal, kami mungkin akan membutuhkan kerja sama Anda, Tuan Nio," ucap kapten Polisi.
"Tentu saja, Saya siap kapanpun untuk memenuhi panggilan Polisi," ucap Nio.
"Baik, kalau begitu Saya permisi dulu," ucap kapten Polisi tersebut dan keluar dari ruang pertemuan itu.
Setelah kapten Polisi keluar dari ruang pertemuan, Nio kembali melihat beberapa orang yang tersisa di ruang pertemuan.
"Meeting untuk hari ini selesai!" ucap Nio sontak mereka semua merasa bingung.
Nio yang akan melangkahkan kakinya, tetapi kemudian melihat kebingungan mereka semua, lantas mengurungkan niatnya sejenak. Dia kembali melihat mereka yang ada di ruang pertemuan.
"Oh, ya. Meeting ini, tak terlalu penting untuk kalian sebetulnya. Tapi, seharusnya ini dapat membuat kalian berpikir berulang kali untuk berkhianat, bukan? Ya, seperti itulah nasib yang akan diterima ketika berani melakukan kecurangan di perusahaan ini!" tegas Nio dan mereka semua yang ada di ruang pertemuan itupun hanya diam.
Nio bergegas keluar dari ruang pertemuan. Wilona pun bergegas mengikuti Nio menuju ruang kerja Nio.
Sesampainya di ruang kerjanya, Nio berbalik dan dahinya berkerut meliat Wilona berada di hadapannya. Wilona tersenyum canggung.
"Kenapa kamu mengikuti Saya?" tanya Nio.
"Em... Saya pikir, Tuan mungkin membutuhkan sesuatu," ucap Wilona canggung. Oh, tidak! Saat ini jelas Nio sedang kesal atas kelakuan dua orang yang sudah digelandang ke kantor polisi tadi.
"Saya hanya butuh kamu keluar, dan jangan mengganggu Saya hingga jam makan siang!" ucap Nio dan pergi ke meja kerjanya.
"Ba-baik, kalau begitu Saya permisi," ucap Wilona gugup dan bergegas keluar dari ruangan Nio. Jantungnya berdegup kencang. Bukannya terpesona pada ketampanan Nio, atasannya itu memang tampan. Namun, Wilona masih syok dan tak percaya Nio akan menyuruhnya melemparkan berkas di tangannya ke wajah dua orang di ruang pertemuan tadi, dan Wilona dengan berani justru mengikuti perintah Nio.
Ah, ya. Memangnya apa lagi yang bisa dia lakukan? Jelas dia pun tak memiliki pilihan selain mengikuti perintah Nio.
'Astaga, aku bukan orang sekejam itu. Aku hanya menjalankan tuntutan atasan,' gumam Wilona gelisah.
***
Waktu berlalu, waktu menunjukan jam makan malam.
Allena bersama Guntur memasuki sebuah hotel. Mereka pun melangkah menuju sebuah restoran.
Di restoran yang masih berada di dalam hotel itu, terdapat ruangan private dinning, di mana di sana hanya biasa dipesan oleh kalangan sosial atas.
Pertama kali Allena disambut oleh pria berjas formal, bertubuh tinggi tegap, dan berwajah cukup tampan tetapi raut wajahnya terlihat sangat dingin.
"Anda Nona Allena?" tanya pria itu.
"Ya," ucap Allena singkat dengan raut wajah yang juga cukup datar.
"Lalu, pria di samping Anda?--"
"Dia asisten Saya," ucap Allena.
"Baik, ada pemeriksaan sebentar!" ucap pria itu.
"Oh, kenapa? Saya baru sampai dan ini sambutan kalian?" ucap Allena seraya menatap tak suka terhadap pria itu.
"Ini prosedur, demi menjaga kebaikan bersama," ucap pria itu tanpa ekspresi.
Guntur bergegas mendekatkan bibirnya ke telinga Allena.
"Nona tenanglah, kita ikuti saja aturan mainnya. Lagi pula, kita berada di kawasan yang aman," bisik Guntur.
Allena tak mengatakan apapun, dia justru mengangkat tangannya dan pria itu mendekatkan alat detektor ke tubuh Allena.
Setelah selesai, pria itu mengajak Allena memasuki private dinning. Allena dan Guntur pun memasuki ruangan itu dan pria tadi keluar dari ruangan itu.
Allena terdiam dengan pandangan mengarah pada sosok berjas formal yang berdiri di hadapannya dalam posisi membelakanginya, pria itu tampak sedang merokok.
"Selamat datang, Nona Allena," sapa sosok berjas itu seraya berbalik dan Allena bukannya menatap mata sosok itu, melainkan dia justru menatap rokok yang ada di tangan sosok itu.
"Maaf," ucap sosok berjas itu seraya tersenyum ramah, ketika mengerti arti tatapan Allena. Dia lantas mematikan rokok tersebut ke dalam asbak di atas meja tepat di hadapannya.