Perhatian kedua chef dan Allena teralihkan ketika mendengar suara deheman seorang pria yang baru saja sampai di dapur. Pria itu terlihat masih memakai kimono tidurnya berwarna putih berbahan satin, wajahnya terlihat jelas bahwa dia belum lama bangun dari tidurnya. Meski begitu, ketampanan pria itu tak lantas memudar. Dia tetap tampan meski dalam keadaan baru bangun tidur dan belum mandi.
Ah, ya. Siapa lagi jika bukan Nio? Sang tuan rumah.
Kedua chef itu lantas membungkuk sopan pada Nio ketika Nio menatap keduanya bergantian. Namun, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Nio.
Kedua chef itu lantas pamit untuk meninggalkan dapur. Mereka tak ingin berada di sana cukup lama lantaran kini Allena tak lagi sendiri, melainkan ada Nio yang tengah bersama Allena. Mereka juga tak berani mengganggu kebersamaan tuan dan nyonya mereka.
"Kamu melakukannya lagi? Apa aku harus melakukan sesuatu yang bisa kamu jadikan pelajaran, Sayang?" ucap Nio yang langkahnya semakin mendekat pada Allena.
Allena hanya tersenyum kecil. Dia mengabaikan kata-kata Nio dan memilih melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda lantaran kedatangan chef tadi.
Begitu sampai di belakang Allena, Nio memeluk tubuh Allena, dia meletakan dagunya di atas bahu Allena.
"Kenapa sulit sekali memberitahumu, hem? Sudah aku katakan, jangan membuatkan sarapan untukku lagi. Aku tak butuh kerja kerasmu untuk membuatkan aku sarapan. Kamu cukup menjadi nyonya yang baik di rumah ini, yang hanya berada di sampingku, dan menemaniku kapanpun aku membutuhkanmu," ucap Nio tepat di dekat telinga Allena. Layaknya seseorang yang tengah berbisik. Namun, tidak. Nada bicaranya cukup normal, hanya suaranya saja yang masih sedikit serak khas orang bangun tidur.
Sebelumnya, dia tak melihat Allena tepat ketika dirinya terbangun dari tidurnya. Dia berpikir, istrinya kembali membangkang perintahnya dan pasti tengah berada di dapur. Dengan cepat dia pun beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamarnya. Dan lihatlah, dugaannya benar. Allena tengah berada di dapur.
"Ayolah, kamu menyerahkan semua urusan yang melibatkan rumah ini padaku. Ini hanya peraturan kecil yang aku buat, lagi pula ini bukan tanpa tujuan. Aku hanya ingin menyenangkan dirimu, agar kamu tak perlu mencari kesenangan di luar sana," ucap Allena seraya tersenyum.
Nio berdecak kesal mendengar ucapan Allena. Dia lantas memaksa Allena agar berhadapan dengannya.
"Tak ada yang menyenangkan selain dirimu dalam hidupku, jadi jangan katakan itu lagi!" tegas Nio seraya menatap Allena dengan sedikit tajam.
Nio tak suka Allena bicara seperti. Jelas-jelas Nio melarang Allena untuk membuatkan sarapan agar waktunya di pagi hari bersama Allena menjadi lebih banyak. Nio adalah orang yang sibuk, tak jarang seperti satu minggu yang lalu, di mana dia harus berpisah dengan Allena lantaran demi urusan bisnisnya.
Melihat tatapan Nio setajam itu, bukannya takut, Allena justru terkekeh. Dia merasa gemas melihat suaminya itu yang mudah tersinggung hanya karena sebuah candaan seperti itu yang dia lontarkan. Ya, ini memang bukan pertama kalinya Allena melontarkan candaan seperti itu. Setiap kali Nio melarangnya untuk membuatkan sarapan, maka Allena pun akan mengatakan hal yang sama.
Cup!
Sebuah kecupan selamat pagi Allena daratkan di bibir Nio. Hanya kecupan sekilas, tetapi mampu membuat raut wajah Nio seketika berubah, sudut bibir Nio pun seketika ikut terangkat. Ya, Nio tersenyum kali ini.
"Selamat pagi, Sayang. Kamu lebih tampan saat tersenyum. Ya, meskipun belum mandi," ucap Allena kemudian terkekeh.
Nio memutar bola matanya. Sesaat kemudian dia mengecup pipi Allena membuat Allena terkekeh.
"Baiklah, aku akan mandi. Jangan biarkan dirimu terlalu lelah. Kamu tahu, aku tak sanggup melihat sesuatu terjadi padamu!" ucap Nio seraya mulai berbalik dan mulai melangkahkan kakinya untuk meninggalkan Allena.
"Sayang!" panggil Allena sontak Nio kembali berbalik.
"Ada apa?" tanya Nio.
"Aku mencintaimu," ucap Allena kemudian menggerakan bibirnya, membuat gerakan itu layaknya membentuk sebuah kecupan untuk Nio.
"Oh, ayolah. Jangan menggodaku sekarang. Aku ada meeting pagi ini!" kesal Nio dan bergegas meninggalkan dapur.
Ha-ha-ha... Allena pun tertawa melihat tingkah Nio yang begitu menggemaskan. Dia pun memilih melanjutkan aktivitasnya, dan ingin menyelesaikan aktivitasnya dengan segera.
***
Waktu berlalu, Allena selesai menyiapkan sarapan, dia bahkan sudah menatanya di atas meja makan.
Di sana, tepatnya di ruang makan berdiri dua orang pelayan. Mereka berdiri di sana hanya untuk memastikan apa yang Nio dan Allena butuhkan nantinya ketika kedua tuan rumahnya itu tengah sarapan. Namun, kerap kali Allena meminta mereka meninggalkannya bersama Nio, hal itu karena Allena tak ingin waktu makannya bersama Nio terganggu oleh siapapun.
Tanpa mengatakan apapun, Allena bergegas menuju kamarnya. Dia teringat belum menyiapkan pakaian ke kantor untuk Nio.
Sesampainya di kamar, Allena pergi ke ruang ganti. Namun, Allena tak melihat keberadaan Nio. Terdengar suara gemericik air dan dia tahu Nio masih berada di dalamnya. Allena pun mulai menyiapkan pakaian untuk Nio kenakan ke kantor dan beberapa keperluan Nio lainnya.
Tak lama Nio keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai jubah mandinya. Dia kemudian menyandarkan bahunya di pintu ketika menyadari Allena tengah menyiapkan keperluannya untuk ke kantor. Tatapannya tak terlepas dari apa yang Allena lakukan. Pergerakan Allena, entah itu gerakan tangan, atau rambutnya yang masih terikat cepol berantakan yang sesekali bergerak seiring pergerakannya, membuat Nio tersenyum.
Ketika berada dalam keadaan seperti ini, Allena terlihat layaknya seorang istri yang sepenuhnya diam di rumah, yang hanya menjadi ibu rumah tangga dan menunggu Nio kembali dari kantor saat sore harinya.
Namun, tidak. Allena adalah Direktur di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang eskpor-impor. Perusahaan itu milik Cahyo, yang tak lain adalah papi Allena, mertuanya Nio.
Ya, papi Allena adalah pimpinan di perusahaan ekspor-impor yang sudah bergerak cukup lama itu, tetapi baru Allena ketahui sejak satu tahun terakhir ini, tepatnya setelah sang papi mengalami masalah kesehatan dan mengharuskannya untuk istirahat sepenuhnya. Hal itu menyebabkan sang papi pensiun dini dari perusahaan. Itu sebabnya, Allena mengambil alih perusahaan itu setelah sang papi memberikan kuasanya agar Allena menggantikan posisinya di perusahaan.
Allena tak memiliki pilihan lain, beruntungnya hingga satu tahun terakhir ini, atau tepatnya ketika dia harus menerima kuasa itu, Nio memahami keadaannya.
Nio tak mempermasalahkan Allena yang harus bekerja lantaran tahu papi mertuanya tak memiliki siapapun lagi sebagai pewaris keluarganya. Ya, Allena adalah anak tunggal di keluarga Cahyo. Allena lah penerus keluarga Cahyo.
Nio memahami, bahwa membangun sebuah perusahaan tak semudah membalikan telapak tangan. Sebagai menantu Cahyo, tentu dia tak mungkin membiarkan perusahaan itu hancur begitu saja.
"Uh, astaga!" Allena tersentak ketika dirinya berbalik dan melihat Nio yang rupanya tengah berdiri di depan pintu. Sedangkan Nio justru menaikan satu alisnya.
"Huh! Apa lucu mengejutkan diriku seperti itu?" tanya Allena sedikit kesal. Jantungnya berdegup cepat.
"Lihatlah, pria tampan ini suamimu, bukan hantu, Sayang. Kenapa harus terkejut seperti itu?" ucap Nio seraya terkekeh dan mendekati Allena.
Allena menatap Nio dengan tajam, sebelum akhirnya dia memberikan pakaian kantor yang sudah dia siapkan pada Nio.
"Aku akan mandi dulu," ucap Allena dan diangguki oleh Nio.
Allena bergegas ke kamar mandi, dan Nio pun memilih memakai pakaiannya.