Chereads / Red Hustle: Revenge of The Dark-Hearted / Chapter 4 - [BAB 3] Panggil Aku Horn

Chapter 4 - [BAB 3] Panggil Aku Horn

Langit sudah memerah. Matahari kini mulai masuk ke tempat persembunyiannya dan ingin memberitahukan rembulan untuk menggantikannya menjaga langit. Cuaca yang tadinya panas kini mulai menurun walau tidak terlalu berbeda. Orang-orang mulai sibuk kembali ke tempat mereka berteduh dan berkumpul bersama setelah diperas tenaganya untuk ditukar dengan sejumlah uang. Wajah mereka ketika kembali'pun beragam. Ada yang senang, ada yang suram, ada juga yang tampak menyesal. Semuanya tergantung atas apa yang mereka alami pada hari itu. Semuanya kembali ke distrik tempat tinggal mereka masing-masing yang juga menandai kondisi hidup mereka, salah satunya Shovel.

Shovel bukanlah tempat terbaik untuk ditinggali, namun cukup bagi para ratusan kepala keluarga disana untuk menyebut distrik kumuh itu sebagai 'rumah'. Letak Shovel yang dekat dengan distrik industry membuat udara disana jauh dari kata sehat. Belum lagi dengan ratusan tunawisma yang berada disana, kondisinya sungguh memprihatinkan. Tunawisma terkadang harus berebutan tempat yang 'layak' untuk berteduh namun solidaritas mereka cukup tinggi.

Jalanan Shovel sebagian besar terdiri dari jalanan aspal tipis yang menghubungkan berbagai gang-gang pemukiman dan setiap harinya dilewati oleh kendaraan dengan muatan beragam. Hanya jalanan pada gang-gang kecil yang menggunakan beton polos. Jalan utama yang menjadi jantung aktivitas di Shovel sehari-hari, Avalanche St., adalah jalan yang sibuk karena menjadi jalur alternatif bagi para pengendara karena menghubungkan distrik industry sekaligus provinsi Aranjo yang terletak di selatan Ouro. Rata-rata para pekerja di Shovel mengendarai sepeda untuk bekerja karena jarak antara tempat tinggal mereka dengan tempat mereka bekerja tidak terlalu jauh. Seringkali terlihat mereka beriringan di jalur sepeda saat jam berangkat bekerja. Namun ada juga bagi para sebagian pekerja, mereka akan memilih untuk di antar dengan bus umum yang akan menjemput mereka pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan.

Shovel memiliki 4 pasang gedung apartemen utama yang saling berhadapan dan satu pasang lagi yang belum sepenuhnya jadi. Arsitek yang mendesain gedung-gedung tersebut memutuskan untuk membuat apartemen-apartemen tersebut seperti huruf 'L' yang disusun saling berhadapan sehingga apabila dilihat dari satelit maka akan terlihat seperti kotak besar yang tidak terhubung. Desain ini juga diklaim oleh perancangnya agar dapat memuat lebih banyak penduduk. Setiap apartemen memiliki ukuran lima kali enam meter dengan satu kamar tidur single bed, kamar mandi, dapur, dan ruang tengah. Dapur berada di sebelah kiri pintu masuk membentang menyatu dengan ruang tengah. Area kamar mandi tepat di di sebelah kanan pintu masuk sehingga membentuk sebuah lorong sempit. Di sebelah kamar mandi dengan dibatasi sebuah tembok batako, terdapat satu ruang kamar tidur yang seharusnya hanya dapat diisi dengan single bed dan sebuah lemari berukuran kecil namun nyatanya banyak kepala keluarga yang menyulap kamar tersebut agar dapat menampung satu keluarga untuk tidur. Balkon yang hanya bisa diakses lewat ruang tengah juga disediakan dan seringnya ditemukan tertutup oleh jemuran-jemuran basah para penghuninya. Kompleks apartemen utama ini juga dilengkapi taman formal dan taman bermain yang jauh dari kata terawat. Banyak rumput liar yang tumbuh di taman-taman tersebut. Wahana taman bermain untuk anak-anak juga tidak terawat dan cenderung membahayakan. Walau begitu tidak jarang juga ada anak-anak yang bermain disana tanpa memedulikan keselamatan mereka. Di tengah komplek gedung ada dua lapangan basket yang sering dipakai oleh para penghuni apartemen untuk bermain dan berolahraga. Namun karena kini hari sudah mulai gelap; sebagian besar warga memutuskan untuk masuk dan menetap di tempat tinggal mereka masing-masing untuk berlindung dari dinginnya malam.

Seorang wanita baru saja turun dari halte bus yang bertuliskan 'No. 04 Avalanche. St'. Wanita itu berpostur agak gemuk dengan tahi lalat dibawah bibirnya. Ia mengenakan seragam dari salah satu supermarket ternama di Dockstown, Grand Mall of Dockstown, atau bagi para remaja di Dockstown menyebutnya GMD. Ia menutupi seragamnya dengan sebuah jaket hoodie bewarna biru yang retsletingnya sudah tidak bisa ditutup lagi dan tubuhnya yang agak gempal itu dilingkari oleh sebuah tas selempang kecil. Setelah ia melangkah keluar dari bus 48 penumpang tersebut, wanita tersebut menuju tempat yang disebutnya rumah. Ia menatap gedung apartemen miliknya dari kejauhan yang tampak menjulang dari bangunan sekitarnya. Ia menoleh ke sebelah kanannya dan melihat bayangan besar dari gedung yang sedang dibangun, Gedung utama apartemen nomor Sembilan dan sepuluh.

Ia melangkah masuk dan menyapa penjaga yang ada di lobby apartemen kemudian ia masuk ke dalam elevator yang berada persis disamping tangga utama. Ia menekan angka enam yang merupakan lantai dimana ia tinggal. Setelah elevatornya sudah menyelesaikan tugasnya ia melangkah keluar dan menuju pintu apartemennya. Sesampainya ia di depan pintu apartemen miliknya, ia mencium bau yang tidak asing. Bau rokok. Ia menghela nafas dan memutar masuk kenop pintu apartemen tersebut.

"Kau terlambat hari ini….", Sambut sang penghuni lain apartemen tersebut yang sudah dari tadi berada di dalam sambil duduk merokok di depan pintu balkon yang terbuka.

"Aku terlambat karena ada pekerjaan dan tidak seperti dirimu…" ujar wanita itu sambil menarik rokok pemuda yang ada dihadapannya. "..dan berhentilah mengambil stok rokokku". Wanita itu menaruh tas kecilnya diatas meja teh berbentuk bundar dan menghisap rokok yang tadinya dihisap pemuda tersebut.

"Kau tidak akan mendapat kekasih jika kau lebih cinta pada rokokmu itu.." ujar pemuda itu datar. Wanita itu menjitak pelan kepala pemuda itu dengan kesal.

"Aku belum menikah bukan karena rokok ini, bodoh. Aku punya janji…."

"Aku sudah sering mendengar alasan itu".

Wanita itu duduk diatas meja teh menghabiskan rokoknya dan mengambil yang baru dari tas kecilnya tadi.

"…Ngomong-ngomong aku punya berita bagus untukmu…." Kata wanita tersebut sambil menghembuskan asap rokok.

"…Ada yang diam-diam menyukaimu…? Waw, aku terkejut…"

Wanita itu'pun menendang punggung pemuda itu dengan jengkel.

"…Dengar….. aku sudah mendapatkan lowongan pekerjaan yang bagus untukmu…"

"Memangnya siapa yang mau menerima orang yang hanya lulusan SMA di zaman sekarang?"

"Dengarkan aku dulu, Backtack…. Paman managerku mempunyai toko kelontongan sekelas minimarket. Kebetulan mereka akan membuka cabang disini, di Shovel. Juga letaknya juga tidak jauh dari apartemen kita….".

"Panggil aku Horn…..nyonya…", kata pemuda itu dengan nada mengejek. Terjadi keheningan diantara mereka sebentar hingga pemuda tersebut bertanya kembali.

"Jadi…?".

"Pamannya membutuhkan pekerja, dan kebetulan bosku dekat denganku. Ia menanyakanku apa aku punya kenalan yang kebetulan butuh pekerjaan. Dia bilang lulusan SMA'pun tidak masalah asalkan mau bekerja begitu katanya." Ia menghisap rokoknya lagi. "Nah… aku mau kau bekerja pada kesempatan ini dan jangan menyia-nyiakannya atau…"

"Atau apa?...." Potong pemuda itu. "Aku menjadi seperti dirimu bekerja di sebuah mall besar namun dengan gaji minim?" lanjutnya lagi.

"Ibumu akan sedih jika kau tidak menjadi apa-apa."

"Kau masih memberiku alasan tersebut, sebenarnya kemana ibuku dan kenapa kau selalu menutup-nutupinya?" tanya pemuda itu dengan nada cukup tinggi. Wanita tersebut menepuk pundak pemuda tersebut kemudian mengusap-usap punggungnya sambil berkata.

"Ibumu sedang dalam sebuah pekerjaan yang penting, sayang. Dia sangat sibuk tetapi dia juga mengkhawatirkanmu. Ia mengharapkan kau menurut pada bibimu ini. Sekarang kau pergi tidur, besok pagi kita akan bertemu dengan pemilik toko yang kumaksud tadi, Mr.Rodriguez".

Pemuda itu langsung berdiri lalu masuk ke kamarnya lalu diintipnya oleh wanita itu bahwa pemuda itu sudah tertidur pulas di kasurnya. Ia menyalakan lagi sebuah rokok sambil duduk memandang langit lewat balkon yang kini sudah berubah gelap. Ia menutup sebagian wajahnya dengan tangan. Ia merasa sangat gelisah. Ia mencoba menenangkan dirinya namun gagal. Akhirnya ia memadamkan rokoknya dengan menggenggamnya hingga padam dengan tangan kosong. Tangannya tidak berbekas luka bakar apapun. Puntung rokoknya ia lempar keluar dari balkon yang terbuka. Ia menundukkan kepalanya.

"Sial… aku terpaksa melakukannya lagi…."

Keesokan paginya wanita dengan keponakannya itu tiba di depan sebuah minimarket yang masih kosong tanpa dagangan apapun hanya rak-rak yang berjejer dan sebuah meja kasir lengkap dengan sebuah komputer dan monitor diatasnya. Mereka'pun masuk dan menemui seorang pria di rentang usia sekitar 60-an sedang menginstruksi pada salah satu bawahannya yang masih muda. Wanita itu menyebutkan nama sang pria.

"Mr. Rodriguez?"

Pria itu menoleh dan balik bertanya.

"Te conozco?"

Wanita itu memperkenalkan diri dan maksud mereka ke minimarket yang masih belum layak beroperasi tersebut. Setelah mendengar penjelasan wanita itu pria itu tersenyum dan menatap ke keponakan wanita yang menjadi lawan bicaranya yang masih menatap asing tempat itu. Mr.Rodriguez tertawa dan menjabat tangan keponakan sang wanita dan memeluknya.

"Bienvenido muchacho...senor Backtack!"

"Panggil saja aku Horn, Mr.Rodriguez". Timpal sang keponakan dengan bahasa yang sama.

"Aku akan pergi bekerja… jadi anak pintar, Horn" wanita itu'pun pergi meninggalkan mereka di minimarket tersebut. Tangan besar Mr.Rodriguez merangkul bahu Horn Sambil berjalan menuju ruang belakang khusus karyawan.

"Aku akan menceritakanmu bagaimana dengan bekerja kau bisa melihat berbagai macam warna kehidupan". Ujar Mr.Rodriguez dengan aksen española-nya yang kental. Mereka'pun naik ke lantai dua menuju ruangan yang lebih mewah. Mr. Rodriguez dengan panjang lebar menjelaskan segala hal yang sekiranya membuka wawasan Horn tentang ruang lingkup bekerja terutama karena ia sama sekali tidak memiliki pengalaman bekerja sama sekali. Horn tidak terlalu tertarik apa yang diceritakan oleh Mr.Rodriguez. Dia kemudian malah memandangi sebuah lukisan matador tepat di ruangan manager. Lukisan tersebut mengambil sudut pandang dari bawah perut banteng sedang berlari menerjang. Sang torero, dilukiskan saat menghadapi si tanduk besar mengenakan pakaian torero dan kain muleta merahnya yang ikonik. Sentuhan garis-garis halus membuat efek pada banteng tersebut seperti benar-benar dalam kecepatan tinggi dengan hasrat ingin membunuh sang torero. Dengan melihatnya sekilas, kita pasti akan penasaran bagaimana nasib sang torero yang ada di lukisan tersebut. Sang torero dilukiskan dengan memiliki ekspresi optimistik dan ragu di saat bersamaan. Bisa atau tidaknya ia bertahan hidup menghadapi sang banteng adalah taruhan dalam ajang matador. Mr. Rodriguez sadar akan rasa penasaran Horn pada lukisan tersebut ketika ia ingin membahas lukisan tersebut datanglah dua orang yang tampak berkeringat dan sedikit kelelahan.

"Se acabó papá…." Kata seorang yang tampak paling tua. "Quien es ella, papá?".

Mr.Rodriguez tersenyum dan memperkenalkan Horn kepada mereka berdua dan begitu'pun sebaliknya.

"Senor Horn, perkenalkan ini anak dan keponakanku….. Lanza dan Benny".

"….Benny…."

Horn kaget dan seketika membuka matanya dan menemukan dirinya tergeletak di apartemen berantakan yang bukan miliknya. Kepalanya masih sedikit pusing, juga nafasnya terengah-engah sehingga ia terlebih dulu mengatur nafasnya sambil membaca keadaan disekitarnya dan baru saja mengingat apa yang terjadi padanya.

"..tempat ini…sial.... aku harus segera pergi dari sini…" Horn berjalan menuju balkon terbuka lalu memanjat turun satu lantai dari sana menuju apartemen yang tepat berada dibawahnya.

Sesampainya ia di apartemennya tersebut ternyata ponselnya mendapatkan sebuah panggilan. Ia'pun segera mengangkatnya.

"..oh…. tampaknya ada seseorang yang menghabiskan uangnya semalaman tanpa berpikir ia harus menghasilkan uangnya lagi keesokan harinya…." Ujar managernya di balik telepon "…Horn Backtack, cepat kemari atau aku akan membuka lowongan kerja baru untuk posisimu!.." Panggilan terputus.

Horn sudah terlambat bekerja. Managernya, Benny adalah orang yang meneleponnya barusan. Jam di ponselnya menunjukan sudah pukul 09:01. Ia'pun segera mandi dan mengganti pakaian dengan seragamnya satu lagi yang masih bersih. Sebelum berangkat dan meninggalkan apartemennya ia menata rambutnya sebentar. Horn tidak terlalu peduli dengan penampilan, namun posisinya sebagai kasir membuat penampilannya cukup penting. Ia akhirnya hanya menata rambutnya seadanya dengan bantuan jemari tangan. Horn menatap cermin kamar mandinya yang memantulkan wajahnya secara abstrak. Tampaknya ada sesuatu yang berbeda dari wajahnya tetapi sulit untuk mengetahuinya. Namun menurut instingnya memang ada sesuatu yang berbeda darinya.

Saat Horn menatap matanya sendiri di bayangan cermin tiba-tiba kepalanya menjadi sangat pusing. Kepalanya serasa ditarik dan diputar-putar oleh seseorang. Ia mencoba menahan rasa tidak nyaman yang menghantui kepalanya. Horn merasa kepalanya bukan miliknya.

Rasa pusingnya semakin menjadi-jadi. Seharusnya jika sudah mandi rasa pusing ini sudah hilang, pikirnya. Ternyata tidak. Rasa sakitnya bahkan membuatnya meringkuk dan merintih kesakitan dan mempertahankan kewarasannya. Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ia segera mengambil aspirin di kotak P3K didekatnya dan segera menelan sebutir bulat-bulat. Horn menunggu obatnya bekerja namun setelah beberapa menit ia kehabisan waktu rasa sakitnya tidak kunjung hilang. Ia lalu mencuci wajahnya berharap rasa pusingnya hilang namun yang ia temukan saat melihat bayangan wajahnya di cermin sehabis itu adalah sesosok bayangan dirinya yang tepat berada di belakangnya. Bayangan itu langsung menghilang saat ia sadar dan sontak menengok ke belakang.

Kau menyembunyikan sesuatu, Horn?

Ia dengan samar mendengar bisikan itu di telinganya. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya lalu membenturkan kepalanya ke dinding kamar mandi berulang kali berharap rasa pusing dikepalanya hilang. ia mencoba melawan rasa pusing dengan rasa sakit yang dibuatnya sendiri terhadap kepalanya. Ia menghantamkan kepalanya berulang kali dengan perlahan berharap rasa pusing yang mengganggunya hilang. Namun dengan memberanikan diri, Horn membuat hantaman keras pada kepalanya yang ternyata cukup merangsang kepalanya dan juga membuat tubuhnya terkapar lemas.

Usahanya tidak sia-sia. Pusingnya mereda walau tidak hilang tapi setidaknya mereda dan sebagai akibatnya Horn tampak mengalami lecet di bagian kepalanya demi mengatasi rasa pusing tersebut dan seragamnya basah mengenai lantai kamar mandi. Horn mengatur napas karena harus bersiap untuk bekerja hari ini. Ia meneguk segelas air dari gallon yang airnya tinggal setengah wadahnya di dapur. Ia mengambil sepotong roti gandum tawar yang tinggal beberapa lapis kemudian mengambil jaket biru favoritnya lalu keluar dari apartemennya. Di koridor tepatnya ketika ia keluar ia berpapasan dengan orang yang kini tidak asing ia lihat… Chris.

"…Yo….Amigo…. Hanya ingin mengecek suara-suara aneh dari apartemenmu…. Kau sedang memperbaiki sesuatu atau apa?" Sambar Chris ketika mata mereka bertemu.

Dengan sinis Horn menjawab, "Bukan urusanmu.."

"…Semalam menyenangkan, eh Horn?...Kau bahkan menggoda seorang gadis yang tidak kau kenal, kau benar-benar seorang hombre….. aku tahu membuatmu minum alcohol dan mabuk adalah salahku jadi setelah kau teler aku membawamu ke apartemenmu dengan kunci apartemen yang ada di saku jaketmu."

Horn langsung menarik kutang yang Chris pakai, "Apa kau menyentuh barang-barangku!?" tanya Horn dengan memberikan tatapan serius.

"…..Tenang… Horn….. Tenang…. Apa kau merasa ada yang berubah atau hilang di apartemenmu, tidak'kan?" Ujar Chris mencoba menenangkan Horn dengan memberinya senyuman. Horn mengingat-ingat, sampahnya sama persis seperti hari kemarin hingga pada pagi ini saat dia membersihkannya. Ponselnya tetap berada di jaketnya. Dan kunci apartemennya menggantung tepat di dalam. Horn juga baru ingat ia bangun dengan sepatu yang masih terpasang yang baru ia lepas setelah membuang sampah. Horn melepaskan genggamannya. Ia menjauh dari Chris dan berkata.

"..Terima kasih…. Dan sudah kuperingatkan padamu…. menjauhlah dariku. Aku tidak butuh simpatimu"

Horn meninggalkan Chris di lantai enam dan menuruni tangga utama yang merupakan akses alternatif naik turun para penghuni gedung apartemen utama no.7. Elevator di gedung tersebut'pun Horn sia-siakan karena ia sedang buru-buru dan ia juga sedang tidak fokus sehingga ia mengikuti instingnya menggunakan tangga. Ia melewati beberapa orang yang sedang mengobrol di tangga. Selama Horn menuruni tangga, ia masih menyimpan rasa pusing dikepalanya. Rasa pusing itu seakan tidak mau hilang dari kepalanya. Ia mengambil langkah cepat ketika menuruni tangga. Ia'pun sampai di lantai dasar dan langsung melengos pergi menuju minimarket yang berada di seberang Avalanche. St. Horn melewati jembatan penyebrangan yang ada disana dan ternyata cukup ramai. Ia mencoba melewati beberapa orang dengan menyelap-nyelip diantara kerumunan dan pada akhirnya ia tidak sengaja menabrak bahu seseorang.

Sadar tabrakan itu cukup keras dan tubuh orang itu cukup kecil, ia'pun hendak berbalik sebentar untuk meminta maaf. Pada saat itulah Horn pertama kali melihat seseorang dengan iris mata merah menyala lengkap dengan rambut merahnya juga berbalik sedikit menatap Horn. Saat mata mereka bertemu hanya dalam sekian milisekon, permohonan maaf'pun Horn lanturkan.

"Ah.. Maaf"