Pada pagi itu, saat Horn menemukan dirinya terbangun dipagi hari berada di ranjang apartemennya dengan air mata yang mengalir, ia sangat kaget. Terutama setelah merasakan sebuah mimpi yang terasa sangat nyata. Mimpi itu telah membuatnya berkeringat dingin. Horn'pun terduduk diam. Ia perlu meluruskan pikirannya pada pagi itu. Apa yang terjadi semalam?
Horn bangkit dari tempat ia tidur sambil memegangi kepalanya yang terasa sedikit pusing. Ia masih mengenakan seragam minimarket yang dibalut jaketnya kemarin sehingga ia lekas melepaskan seragamnya dan memasukannya ke mesin cuci usang miliknya. Jaketnya sendiri ia gantung di gantungan belakang pintu kamarnya. Ia'pun segera pergi ke kamar mandi untuk cuci muka dan menatapi wajahnya sesaat di cermin. Cermin yang sudah pecah berusaha itu memantulkan dengan benar bayangan wajah Horn yang mulai ditumbuhi kumis dan janggut. Rambut hitamnya yang di belah pinggir juga sudah sangat panjang dan hampir menghalangi pandangannya. Cermin yang tidak layak itu juga sedikit memantulkan bayangan sebagian tubuh Horn yang cukup berisi namun tidak cukup disebut kekar karena kurang terbentuk. Horn memandangi lekat-lekat wajahnya yang sering ia sebut sendiri sebagai wajah 'penyelamat kematian'. Entah setinggi apapun ambisinya untuk mengakhiri hidup, seseorang akan selalu menemukan wajahnya di tempat ia akan melakukan eksekusi. Ia membasuh wajahnya lagi lalu pergi menuju ruang tengah, tempat di mana televisi tabung berukulan kecil dan sampah-sampah dari hari-hari sebelumnya berada.
Ia membuka jendela dan menemukan bahwa langit masih gelap. Hari sudah fajar. Segera ia duduk bersandar ke tembok yang menghadap ke arah jendela dan menyalakan sebatang rokok dan melayangkan segala pikirannya. Bermula dengan apa yang terjadi semalam.
Chris... Mungkin dia yang membawaku kemari...….
Bar.... Bir dingin...Sial.. sudah seharusnya aku tidak minum alkohol lagi…..
Dan.... ...….
Horn mencoba menerka apa yang dilihatnya sebelum kesadarannya benar-benar hilang semalam, namun hasilnya nihil. Ia menggelengkan kepala dan membuang puntung rokok yang baru saja ia padamkan lewat jendela. Ia menyalakan sebatang rokok lagi untuk memulai pikiran barunya.
Ruangan hampa…..
Pria tua aneh....
Air...…..
Cahaya...
Takdir.....
Otaknya mencoba menerka apa yang digambarkan oleh mimpinya semalam. Mimpi yang terasa sangat nyata hingga ia benar-benar hanyut kedalamnya. Semakin ia pikirkan semakin tidak masuk akal baginya. Mimpi itu terlalu samar baginya, juga terlalu jelas. Semua yang ia pikirkan semakin tidak jelas, terlalu banyak yang terjadi dalam semalam. Ah sudahlah! Kata batinnya sambil melempar puntung rokok keluar jendela. Kekesalannya kini hamper membawanya pada pikiran yang tidak perlu. Ia mengeluarkan ponselnya yang selama ini berada di kantung samping jaketnya untuk melihat waktu. Pukul 05:15. Masih terlalu pagi untuk bangun.
Sadar bahwa ia tidak bisa tidur lagi karena kepalanya sangat ringan dan segar, ia pergi ke balkon dan mulai memandangi langit yang mulai sukar memancarkan sinar matahari di kejauhan namun semakin terang. Ia kembali menyalakan rokok yang baru lalu merokok sambil memandangi langit. Pikirannya kini kosong. Pikirannya menyatu dengan sebuah pemandangan sederhana langit fajar dari balkon apartemennya, sesuatu yang entah kenapa tidak dapat ia tolak. Ia duduk nyaman dengan bersandar di pintu kaca sambil menikmati pemandangan dari tempat kotor itu tawarkan. Sayang memang karena apartemennya berhadapan langsung dengan gedung apartemen lainnya sehingga sulit untuk melihat langit dari sudut pandang jendela atau'pun dari pintu kaca balkon itu tawarkan, namun setidaknya di balkon sempit itu ia masih dapat memandang dan merasakan ketenangan suasana fajar. Rokok ditangannya perlahan-lahan dihisapnya hingga habis. Ia benar-benar merasakan ketenangan ketika menikmati langit fajar walau'pun itu di Shovel. Ia melihat gedung apartemen sebelah, gedung nomor enam, yang masih sepi dan lampu-lampu-nya sebagian besar masih mati. Walau fajar begitu tenang, ia masih tetap dapat mendengar suara truk-truk yang melintas dengan kecepatan tinggi. Itu bukan masalah. 'Yang terpenting pikiranmu tidak kacau', kurang lebih seperti itulah kata psikiaternya dua minggu yang lalu. Pikirannya hanya mengalir sunyi begitu saja. Ia mengambil nafas dalam-dalam untuk merasakan udara pagi itu. Horn mengetuk-ngetuk sandarannya dengan kepalanya, lalu memejamkan matanya sebentar. Ia merasakan kenyamanan dari sebuah pikiran hampa. Horn menarik nafas panjang lagi lalu membuka matanya.
Psikiater itu kali ini benar.
Kini ia merasa lebih baik, walau tidak akan berlangsung lama.
Menyadari bahwa apartemennya kotor dan banyak sampah, ia kemudian bangkit untuk membersihkan apartemennya. Horn berganti baju lalu mengambil seluruh sampah-sampah yang berserakan dan memasukannya ke dalam sebuah kantung plastik. Ia menaruh semua plastik sampah di dekat pintu masuk apartemennya. Merasa lantai apartemennya sudah cukup bersih ia memutuskan membawa semua plastik-plastik sampah yang ditaruhnya barusan ke saluran pembuangan yang berada di ujung koridor lantai enam, lantai apartemennya bertengger. Ia melewati pintu apartemen Chris yang tepat berada di sebelah kanan apartemennya. Ia mengamati sebentar nomor apartemen Chris. 7632. Lalu melengos menuju saluran pembuangan. Setelah mengurusi sampah-sampahnya, Horn kembali ke apartemennya lalu menyalakan TV.
Horn mencari siaran yang bagus pada pagi itu. Seharusnya sebelum jam enam pagi seluruh chanel TV menyiarkan berita, sehingga mencari chanel yang menyiarkan sesuatu selain berita lokal yang membosankan. Chanel 'The Host', yang belakangan ini ia dengar dari percakapan para pelanggannya, sedang ramai karena chanel tersebut katanya memang menampilkan hal-hal yang disukai para remaja dan kaum muda. Horn memindahkan saluran TV nya ke saluran The Host, siapa tahu ada sesuatu yang menarik dan menghiburnya.
"Migos….. idol grup Re-Star kini akan mengadakan launching album terbaru mereka pada akhir pekan ini. Menurut penjelasan dari Sakura Re-Star, launching album kali ini akan diadakan pada Grand Mall Dockstown dan penjualan tiketny…..".
Horn memasang wajah masam melihat cuplikan rekaman dari anggota-anggota idol grup yang sedang duduk-duduk di panggung dan di wawancarai oleh penggemar mereka pada sebuah meet'n greet. Idol grup bernama Re-Star tersebut mulai banyak diperbincangkan karena menambah warna baru di idustri hiburan Ouro, terutama industry musik bahasa Spanyol. Horn hanya menatap kasihan para anggota idol didandani sangat heboh bahkan wajahnya bagaikan boneka lengkap dengan rambut mereka yang dicat bewarna-warni. Wajah-wajah para gadis tersebut memang sangat manis tidak heran kebanyakan penggemar mereka adalah laki-laki, tetapi yang membuat Horn prihatin adalah privasi mereka yang sudah hilang ditelan media. Mereka tidak lain hanyalah budak para media. Horn mencari beberapa foto anggota dari idol grup tersebut di internet lewat ponselnya, ada yang membuatnya tertarik. Ia mengetik 'Sakura Re-Star' karena hanya nama anggota idol ini yang baru saja ia tahu barusan dari TV.
Ada banyak sekali foto-foto Sakura yang terpajang di internet. Horn kaget. Dia mulai memandang foto-foto tersebut satu persatu. Yang dapat ia simpulkan adalah gadis ini sangat manis, terutama dengan rambut pink yang sangat serasi dengan make-up-nya dan penampilannya yang esentrik, dalam pandangan pertama ia seakan-akan ingin menculiknya. Ia meluruskan pikirannya lagi. Ah…. rambut yang 'unik'….. tiba-tiba ia teringat gadis rambut merah yang unik kemarin. Fantasi liarnya kini mulai menguasainya. Apakah jika gadis seperti itu ada di apartemen ini akan membuat hidupku berubah? Pasti aku akan bahagia bukan? Ia menatap lagi foto Michele Sakura sambil berbaring di ruang tengah. Kini pikirannya bukan miliknya lagi karena ia sedang berfantasi membayangkan suasana apartemennya bersama gadis dengan rambut yang unik hingga...
BZZZTTTTTT....
Horn terkaget mendengar TV-nya mengeluarkan suara statis. TV itu memang sudah tua dan terkadang suara statis-nya mengganggu, tetapi ini berbeda. Suaranya sangat nyaring sampai benar-benar mengganggu pendengarannya. Ia mencoba mematikan TV-nya dengan remot tapi tidak bisa. Ia merangkak mendekati TV itu dan mematikannya lewat tombol daya. Tampaknya aku harus mandi dulu. Kata batinnya. Ia'pun bangkit menuju kamar mandi namun suara TV statis tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia menengok ke arah TV-nya yang tanpa sebab jelas sudah kembali menyala. Mungkin karena TV ini sudah tua jadi tombolnya sudah kendur. Ia'pun menekan tombol daya lagi dan anehnya kini TV-nya tidak mau mati. Ia tekan-tekan terus tombol tersebut beberapa kali namun TV tuanya tetap tidak mau mati. Suara statis itu mulai menganggu mentalnya. Kini ia merasa tidak nyaman. Ia memutuskan untuk mencabut kabel colokan yang ada dibelakangnya, namun ketika tangan kanannya mencoba meraih colokan TV tersebut tiba-tiba sebuah sengatan listrik menyambar tangannya hingga ia tersungkur ke belakang.
Ia kaget dan tangan kanannya mati rasa seketika. Ia bangkit, lalu mencari sebuah kain untuk melilitkan tangannya demi meraih colokan tersebut. Suara TV statis itu hampir membuatnya gila. Ia buru-buru mencabut colokan tersebut dengan tangan kiri yang sudah ia balut kain agar tetangganya tidak risih dan membuat perhatian kepada dirinya lagi. TV-nya berhenti menyala. Ia merasa sedikit lega walau kini kepalanya menjadi pusing. Tangan kanannya masih mati rasa dan sulit digerakan. Ia mencoba menggerak-gerakan tangan kanannya untuk menghilangkan rasa kebas. Ia melihat ponselnya untuk melihat jam. Pukul 05:40. Dia harus segera bersiap-siap untuk bekerja, namun tiba-tiba saja ponselnya mati padahal barusan indicator baterenya masih setengah. Matinya ponsel Horn juga dibarengi dengan suara yang tidak asing baginya beberapa saat lalu.
TV-nya kembali menyala. DAN SUARA STATIS BAJINGAN ITU KEMBALI!!
Suara statis itu kembali menguji mental Horn. Horn yang sudah tidak tahan lagi akan kebisingan tersebut langsung memukul-mukul TV tersebut. Ia pukul dengan penuh amarah atas suara menyebalkan yang dikeluarkan TV tersebut. Ia pukul layar TV tersebut hingga bolong bahkan kabel dayanya ia tarik hingga putus. Horn menginjak-injak TV tidak berdaya itu dilantai apartemennya. Ia merasa puas sekarang. Suara itu tidak ada lagi. Ia terduduk di atas lantai bersebalahan dengan bangkai TV-nya dan mengeluarkan sebatang rokok. Ia perlu meluruskan pikirannya lagi dengan menikmati rokok…..
BBBBZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZTTTTTTTTTTTTTT...…
Kesabarannya habis. Ia bangun sambil memukul lantai apartemennya. Ia mendengar arah sumber suara statis tersebut ternyata berasal dari apartemen diatasnya. Tanpa basa-basi ia langsung keluar lewat jendela kemudian memanjat satu lantai diatasnya lewat balkon apartemennya.Tingkahnya ini dapat dibilang nekat, belum lagi ia dapat terjatuh dari ketinggian enam lantai dibawahnya tetapi ia peduli apa. Yang harus ia lakukan adalah menghentikan suara itu sebelum ia benar-benar gila. Ia mengintip sedikit dari balik pagar balkon tetangganya itu dan menemukan pintu balkonnya terbuka. Ia berusaha mengangkat berat tubuhnya ke atas dan sesegera mungkin menghentikan suara super bising tersebut. Ketika ia sudah menggapai pagar paling atas tiba-tiba ada sosok seseorang berlari kearahnya dari dalam apartemen tetangganya tersebut. Sontak ia kaget dan hampir terjatuh, namun ia berhasil menahan posisinya. Sosok tersebut melompat dengan menapak pada pagar balkon lalu terjun ke halaman apartemen lalu menghilang. Horn melihat sosok itu melintas di atas kepalanya. Sosok itu bewarna hitam, dan tidak kelihatan wajahnya. Ia tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang menetes ke wajahnya saat sosok itu melintas diatasnya. Ia memanjat balkon tetangganya yang tidak ia kenal itu dan menyeka apa yang menetes di wajahnya.
Darah
Ia melihat apartemen tetangganya dari balkon dan ia sadar akan sesuatu. Suara menyebalkan itu sudah hilang, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa ganjil. Siapa yang melompat barusan dan ada apa dengan tempat ini? Apartemen tetangganya itu benar-benar berantakan. Gorden yang miring dan sobek, dan pintu kaca yang kusam seperti ada yang terbakar disana. Dari balkon ia sudah melihat tembok-tembok gypsum sudah banyak yang berlubang, uniknya tetangganya menggunakan wallpaper daripada cat tetapi dari kejauhan wallpapernya sudah banyak yang terkelupas. Lantainya juga tidak kalah berantakan banyak serpihan-serpihan kaca dan sampah yang berserakan. Horn memberanikan diri untuk melihat lebih lanjut kekacauan apa yang ada dibalik pintu kaca yang sudah terbuka itu.
Alangkah terkejutnya melihat banyaknya tumpukan buku-buku yang ada disana. Terdapat sebuah bupet besar yang berisikan buku-buku tebal dan itu tidak hanya ditaruh disana. Namun ada juga yang diikat di dekat bupet dalam bentuk tumpukan dan beberapa lagi berceceran di ruangan tersebut. Horn melihat banyak sekali kertas yang berserakan disana dan menyadari bahwa apartemen kumuh dan murah ini tidak beralaskan ubin melainkan karpet. Ada banyak bercak-bercak darah di karpet apartemen tersebut yang mengarah pada suatu tempat yaitu kamar tidur. Bercak-bercak tersebut sedikit demi sedikit menuntun Horn ke arah kamar tidur. Horn entah kenapa tubuhnya seakan penasaran apa yang terjadi pada tempat itu bergerak sendiri dan menghampiri pintu kamar tidur yang setengah terbuka.
Tubuhnya menggerakannya untuk membuka misteri di balik pintu itu dan ia menemukan sebuah tempat pembunuhan terjadi. Seorang pria tua yang wajahnya sudah tidak bisa dikenali karena babak belur dan tergenang darah tengah tergeletak di dinding tepat di sebelah tempat tidurnya. Yang lebih aneh lagi kamar itu penuh tulisan dan nota-nota yang menempel di seluruh dinding. Di sebelah tempat tidur ia melihat sekumpulan alat-alat komunikasi frekuensi radio berada di atas meja yang lumayan lebar. Melihat kondisi kamar tersebut Horn menaruh curiga bahwa orang ini adalah mata-mata dan ia harus segera keluar dari sana sebelum para polisi datang dan menemukannya.
"Livro….dele…"
Horn kaget ia setelah mendengar suara bahwa pria tua itu ternyata masih hidup. Ia mengahampiri pria yang berlumuran darah itu dengan perasaan sedikit jijik. Setelah ia memberanikan diri mendekati pria itu ia baru sadar bahwa pria itu ternyata ditusuk dengan sebuah pipa besi dibagian pinggangnya. Pria itu mencoba mengatakan seseuatu pada Horn.
"Livro….dele…". pria itu sekuat tenaga mengangkat tangannya dan berusaha menunjuk sesuatu pada Horn. Horn langsung mencoba menerawang untuk mengambil apa yang dimaksud oleh pria tua yang sekarat itu, tetapi pria tersebut menunjuk pada sebuah alat radio.
"…O rádio....." Pria itu mulai bernafas tidak beraturan dan memburu ".....o livro..... está no... rádio..... eu fiz isso" Pria itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya yang berat. Horn sejujurnya kagum bahwa pria tua itu barusan masih hidup dalam kondisi begitu. Lalu, 'livro'? Radio? Ia dulu pernah mengenal seseorang yang bisa bahasa portugis dan ia tahu apa artinya livro. Buku. Buku... didalam radio? Horn kemudian mengecek alat-alat radio milik pria tua yang sudah tidak bernyawa itu. Hampir semua alat-alat disana dalam kondisi rusak karena sudah dihancurkan dan juga terdapat beberapa alat yang tampaknya tidak digunakan entah untuk cadangan atau apa, tapi salah satu alat radio di atas meja ternyata menyala tetapi meteran frekuensinya naik turun. Horn menyentuh radio itu namun tidak terjadi apa-apa. Horn mengangkat-angkat radio dan ternyata radio itu tidak berkabel. Ia mencoba berbagai tombol dan penasaran kenapa alat tersebut ditunjuk dan dapat menyala sendiri. Apakah alat radio profesional seperti ini menggunakan baterai. Setelah meraba-raba ia mendapatkan sebuah tombol di bagian bodi bawah radio tersebut lalu ia'pun menekannya.
Click!
Bagian bawah radio itu terbuka dan sebuah buku tebal yang disegel'pun terjatuh. Horn menaruh radio yang tidak utuh itu dan memungut buku misterius yang tergeletak di lantai tersebut. Buku itu memiliki sampul kulit lembu bewarna hitam dengan segel kancing yang mencegah buku itu hancur termakan usia. Sampulnya memiliki ukiran-ukiran yang menurut Horn keren sangat keren. Terdapat warna ungu yang kontras di setiap ukiran sehingga buku itu terlihat sangat special. Horn merasa buku tersebut sedikit bercahaya.
Kenapa pria tua ini menyembunyikan buku ini? Pikir Horn dalam hati. Horn segera meninggalkan pria tua yang malang itu menuju ruang tengah dimana buku-buku si pria tua seharusnya di letakkan. Horn merasakan ada yang tidak beres dengan buku tersebut seperti ada yang membisikan sesuatu pada dirinya untuk segera membuka buku tersebut. Memang apasih isinya sampai ia menyembunyikannya… palingan hanya sesuatu yang tidak dapat kumengerti. Kata batinnya.
Horn membuka kancing penyegel buku tersebut dan membuka halaman pertama. Di halaman pertama ia menemukan judul buku tersebut. Ia tahu tahu bahasa apa yang ada di buku tersebut dan menyebutkan judulnya dengan pelan.
"Esmagamento... de.. diamante?"
Buku itu tiba-tiba menempel pada kedua tangan Horn dan menyemburkan energi yang sangat besar. Buku itu berpindah halaman dengan sendirinya. Satu-persatu namun sangat cepat. Horn dapat merasakan setiap rasa setiap isi halaman, setiap isi setiap halaman dari buku tersebut terasa masuk kedalam kepalanya seperti ribuan peluru tajam yang menghujam. Horn merintih kesakitan, Horn harus melepaskan buku itu sesegera mungkin tetapi ia tidak bisa. Kepalanya dipenuhi isi dari buku yang ia tidak ketahui apa artinya. Ribuan informasi pada buku tersebut menyembur di dalam kepalanya. Ini terlalu banyak. Ia merasakan ada cahaya yang menyilaukan yang menyembur dari buku tersebut hingga menelannya. Ketika kesadarannya hampir hilang karena kepalanya terasa berputar tak terkendeli ia teringat pada sebuah sebuah pertanyaan.
Apakah kau percaya pada takdir?
Kesadarannya'pun hilang.