"BISAKAH KAU PROFESIONAL SEDIKIT SAAT BEKERJA!?....Dan jangan sebut aku dengan sebutan itu lagi!!" teriak sang kasir pada koleganya yang sedang merapihkan rak gondola. Pelanggan selanjutnya berdehem untuk meminta perhatiannya. Sang kasir yang bertuliskan nama Horn itu hampir lupa bahwa setelah pelanggan bercelana jins keren barusan masih ada pembeli selanjutnya.
"Saya minta maaf atas ketidak nyamanannya, suasana hatiku sedang buruk.." kata Horn, meminta maaf.
Pembeli yang tampak merupakan seorang pria paruh baya itu hanya dapat memasang wajah masam atas kelakuan pegawai minimarket ini. Sang kasir melanjutkan mengecek barcode setiap belanjaannya hingga seluruh belanjaannya habis dan memberitahu total biaya yang harus ia bayar.
"Totalnya jadi 40 Rod (Ouro Dollar Currency)", Pria itu mengeluarkan 4 lembar uang Ouro dalam pecahan 10 Rod sehingga jumlah pembayarannya pas. "Terima kasih, Semoga datang lagi" ucap Horn dengan senyuman palsu. Pria itu mengambil belanjaannya yang sudah dibungkus plastik lalu berkata.
"….Kalau kau memang tidak suka bekerja disini kenapa kau tidak pindah tempat kerja saja?...dasar.." ujar pria tersebut dengan suara yang hampir berbisik. Horn hanya menatapnya pergi dengan tatapan nanar. Setelah punggung pria tersebut menghilang dari balik pintu masuk Horn langsung fokus pada pembeli selanjutnya.
Kali ini pembelinya tampaknya merupakan seorang gadis. Umurnya masih muda dan badannya tidak lebih tinggi dari Horn yang memiliki tinggi 1.7 meter. Gadis itu memakai sebuah jaket kulit bewarna hitam yang tidak dikancingkan dan rok selutut, dibalik jaket itu Horn dapat melihat blouse bewarna putih berbahan tipis yang memiliki motif garis-garis. Gadis itu memiliki rambut bewarna merah, dipotong pendek, dan disisir menyamping. Yang membuat Horn dari tadi memperhatikannya karena Horn menilai rambut gadis itu dalam hati 'sangat unik' karena jarang sekali ia bisa melihat rambut merah yang sangat natural seperti itu. Berbeda dengan biasanya ia melihat para ibu-ibu parno di daerah Shovel yang mengecat rambut mereka dengan pengecat warna rambut murah yang membuat mereka seakan-akan mereka menjadi badut sirkus, namun rambut gadis ini warna merahnya sangat natural.
Ah sudahlah…. Dia terlalu memperhatikan gadis itu. Ia kembali konsentrasi menjalankan tugasnya menjadi seorang kasir dengan memeriksa belanjaan gadis tersebut. Gadis itu hanya membeli sebuah permen lolipop rasa apel. Horn memberi tahu jumlah harga dan gadis itu segera mengambil permen tersebut dan menaruh uang pas ke atas meja kasir. Ia kemudian langsung pergi melengos keluar. Gadis aneh huh?... Pikir Horn dalam hati.
Waktu'pun bergulir dengan seiring datang dan perginya pembeli ke minimarket itu. Matahari sudah berada di tengah langit sekarang. Kondisi minimarket sedang sepi siang itu, Horn memutuskan untuk mengambil waktu senggangnya sebentar untuk duduk-duduk dan merokok di gang belakang minimarket, sebuah gang yang sempit dan kotor tapi cukup nyaman untuk sekelas distrik seperti Shovel. Horn mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya dan mecoba meraih korek dari balik saku seragamnya, tetapi benda itu tidak ada disana. Pasti ketinggalan di apartemen…. Kata batinnya. Horn memutuskan untuk tetap menghisap-hisap rokok yang tidak dinyalakan tersebut. Setidaknya ia masih merasakan rasa nikotin di mulutnya.
"Sedang butuh korek, Horn?" kata seseorang yang tiba-tiba menyodorkan sebuah korek ke depan wajahnya.
Ia melirik sebentar ke arah orang yang menyodorkan korek ke depan wajahnya lalu menjawab, "Tidak…".
"Rokok tidak bisa menyala sendiri, amigo"
Horn menerima korek itu dan menyalakan rokok-nya. Ia kembalikan lagi ke orang tadi.
"Apa aku mengenalmu….?" tanyanya setelah satu hisapan.
Orang itu tertawa kecil mendengarnya.
"Oh maafkan aku, kamu mungkin tidak mengenalku…..Aku Chris…. apartemen kita bersebelahan..". Pria bernama Chris itu'pun tersenyum pada Horn dan menjulurkan tangannya berharap Horn menjabatnya. Horn tidak mengindahkan juluran tangan Chris melainkan memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah. Chris memakai pakaian rapi berupa kemeja beserta rompi ditambah dengan celana hitam dan sepatu pantofel yang sudah disemir. Kepala Chris botak plontos dan juga licin. Wajahnya memiliki garis rahang yang sangat tegas dan tubuhnya cukup kekar.
"Bersebelahan….? 7632? 7628?" tanya Horn penasaran.
"7632….." jawab Chris, "Maaf terkadang aku tidak sengaja memperhatikanmu sedang merokok di balkon" tambahnya sambil ikut menyalakan sebuah rokok.
"Tidak apa-apa….. Tidak ada yang menarik dari kehidupanku….." Horn menghisap dan menghembuskan kembali rokoknya. Ia diam-diam mengamati Chris dari atas hingga bawah, "Kau bekerja di mana?".
"Ya….. aku bekerja malam hari di bar dekat sini sebagai bartender. Tempatnya baru dibuka beberapa hari yang lalu. Kami masih mencatat apa yang kurang dari bar tersebut jadi beberapa hari ini aku masuk dari siang untuk membantu merapihkannya…" jawab Chris, "Kau bekerja di minimarket ini?". Horn mengangguk. "Tampaknya kau punya masalah dengan pekerjaanmu…". Chris berjongkok di sebelah Horn.
"…Memang apa pedulimu…" Jawab Horn datar. Ia'pun melirik Chris dengan curiga, "….Kau….. terdengar seperti mengenaliku karena insiden tersebut ya..?". Horn memadamkan rokoknya lalu bangkit dari posisinya. "Jika kau berusaha mengambil simpati dariku, pergilah, kau hanya membuang waktumu disini.". Horn masuk kembali ke minimarket lewat pintu belakang tanpa menengok pada Chris dan menutup mengunci pintu belakang tersebut.
Chris yang cukup kaget atas respon Horn yang kurang ramah hanya dapat menggelengkan kepala. Ia memadamkan rokok dan bangkit dari posisi jongkoknya, kemudian ia merapihkan kembali pakaiannya. Ia'pun bergumam.
" …Sudah kuduga aku seharusnya jangan sok kenal terlebih dahulu…."
"Horn, kau sudah menghitung hasil penjualan hari ini..!?" tanya managernya di ruangan karyawan.
"Sudah…!"
"Jumlah Transaksi..?"
"Sudah…..Bos"
"Ok… kau sudah boleh pulang…"
Horn menghela napasnya lalu mengambil jaketnya yang ia simpan di loker belakang. Matahari sudah mengantuk, itu tandanya waktu kerjanya habis. Saat akan keluar lewat pintu utama minimarket, ia bertemu dengan manager-nya lagi disana dengan tampang kurang senang.
"Horn, aku mau bicara padamu..." kata manager-nya. Horn kemudian menarik sebuah bangku kecil untuk dudu. Managernya dengan melipat tanganya lalu bersandar di tiang dekat pintu masuk berkata "Aku mendapat laporan lagi bahwa kau berteriak dan memarahi pelanggan lagi…. Jerry memberitahuku kejadian tadi siang barusan.", wajahnya berubah menjadi masam dan sesekali menggoyangkan kepalanya, tanda sang manajer 'frustasi'. "Ada apa Horn…apa kau tidak bisa lebih professional lagi…. Ini sudah kesekian kalinya, ayolah gaji kita tidak mungkin akan dipotong lagi'kan oleh atasan hanya dari berbagai insiden yang disebabkan oleh ulahmu...Aku telah menyelamatkan pekerjaanmu berulang kali….. apa kau tidak cukup berterima kasih!? Huh… Horn Backtack!!?" Ucap managernya dengan nada yang cukup tinggi.
Horn hanya memasang pandangan kosong dan melirik ke jendela kaca toko yang kusam. Jerry, koleganya, ternyata berada di luar memberikan senyuman kepuasan dan memberikan tanda pecundang. Ini tipuan. Ini disengaja. Jerry hanya memanfaatkan kelemahannya dan kelemahan sang manajer, agar sang manager menahannya dan memberinya ceramah panjang lebar yang menganggu mentalnya. Dia tidak butuh ceramah ini. Dia sudah mendengarnya ribuan kali dan ia paham. Di tengah ceramah sang manajer ia berdiri dan melengos keluar.
"Aku paham bos…. Tenang…..besok aku tidak akan mengulanginya….oh iya….." Ia berhenti dan menoleh pada sang manager "..Sekali lagi kuminta darimu…. jangan sebut nama belakangku…". Ia tersenyum, "…aku akan datang besok pagi… tenang saja bos". Horn berjalan pergi menjauh. Sang manajer hanya dapat menggelengkan kepalanya dan merogoh sakunya, kemudian ia teringat sesuatu.
"Horn, tunggu sebentar!!"
Horn berhenti dan memutar tubuhnya. Sang manager menyodorkan sebuah voucher minum-minum padanya. Horn memandang sang manager dengan aneh karena baru kali ini dia memberi sesuatu pada anak buahnya.
"Seseorang memberikannya kepadaku saat menyapu halaman… katanya dia ingin memberikannya kepadamu tapi karena kau sedang sibuk di dalam jadi ia enggan memberikannya padamu.". Horn mengambil voucher itu dari tangannya dan melihat nama bar yang menjualnya. Whines and Sugar. Pasti Chris yang memberikannya, kata batinnya. Ia melihat bagian alamat dari bar pada voucher tersebut. 9208? Gedung apartemen sembilan huh? Sang manager pamit lalu pergi meninggalkan Horn yang masih menatap voucher itu di depan minimarket yang sudah berganti shift.
Horn memutuskan untuk mampir ke bar yang berada di voucher tersebut. Yang membuatnya penasaran adalah letak gedung yang menjadi tempat bar itu berada. Gedung apartemen utama ke-sembilan Shovel yang tidak pernah selesai pembangunannya. Gedung itu baru terbangun hanya setengah dari apartemen yang seharusnya jadi dan masih ada dua bangunan lagi yang hanya baru dibuat fondasinya. Berhentinya pembangunan bangunan ke-9 membuat bangunan setengah jadi itu menjadi terbengkalai dan ramai didatangi oleh para tunawisma. Horn memang sudah mendengar rumor di gedung apartemen ke-9 telah menjadi tempat bersenang-senang bagi para gelandangan, namun baru kali ini ia dapat bukti bahwa ada sebuah bar yang terletak di apartemen tersebut. Hal ini menarik perhatiannya.
Bar tersebut berada di lantai satu. Lantai yang paling jadi diantara 14 lantai lainnya. Lantai dua hingga lantai sembilan sudah berbentuk bilik-bilik sedangkan lantai 11 sampai 15 masih berupa hamparan, namun bukan berarti lantai-lantai tersebut kosong. Ada ratusan orang yang berteduh dibawah bangunan setengah jadi ini dan mereka tidak tahu kapan mereka akan digusur. Bar yang dimaksud berada tepat di salah satu apartemen tersebut. Dua buah apartemen kosong seakan disulap menjadi sebuah bar kecil. Kamar tidur disulap menjadi pusat pelayanan untuk para pelanggan, gudang, dan di depan dindingnya dijadikan mini bar. Ruang tengah disulap menjadi ruang para tamu bercengkrama lengkap dengan meja dan tempat-tempat duduk. Lantunan lagu jazz dari audio sederhana dan lampu kelap-kelip murahan turut ikut mengubah suasana kumuh tempat itu menjadi selayaknya bar mewah. Atau itu Café? Entahlah Horn belum pernah berada di kedua tempat itu sebelumnya. Tempat itu tidak luas, dan tidak dapat dibilang sangat nyaman. Aroma orang-orang pekerja kasar yang ingin melepas penat memenuhi bar tersebut, yang dapat mehembuskan aroma itu keluar hanyalah empat buah kipas angin dinding yang menempel di dinding. Namun suasananya cukup hangat. Ada pula beberapa orang yang duduk-duduk melingkar di bawah padahal disebelah mereka ada orang yang duduk di atas kursi seakan mereka tidak memedulikannya. Mereka memiliki cerita pada hari itu dan sedang ingin menceritakannya pada sesamanya. Horn duduk di salah satu bangku didepan mini bar yang hanya berjumlah tiga buah dan melihat orang dengan ciri-ciri yang tidak asing.
"Wah-wah!! Siapa yang datang kemari. Apa kau menyukai tempat ini, Horn?" Sambut Chris dari balik meja bar. Wajah Chris yang tersoroti lampu kelap-kelip tampak puas karena telah berhasil mengajak Horn ke tempatnya bekerja. "Bersantai ke tempat ini sehabis bekerja memang keputusan yang bagus bukan?" Goda Chris. Horn memasang wajah masam.
"Jangan bilang kau akan mendapatkan bonus karena sudah mengundang seseorang kesini…" Kata Horn sambil memperhatikan bahwa bar tersebut ternyata tidak memiliki jendela dan pintu balkon.
"Tentu saja tidak…. Voucher yang kau dapat juga merupakan traktiranku, kupikir kau sangat membutuhkannya untuk...yah…. Bersantai. Jadi anggap saja itu hadiah pertemanan."
Horn memasang tatapan curiga lalu berkata, "Ternyata benar kau tahu kejadian itu. Cih… jangan sok baik kepadaku…". Ia hendak pergi dari tempat itu tetapi Chris menarik tangannya dan menyodorkan sebotol bir ke genggaman tangan Horn.
"Tidak baik pergi jika kau belum bersenang-senang, amigo.", Chris membukakan botol bir tersebut. Ia mendekatkan wajahnya pada Horn. "Hei….sejujurnya….aku tidak tahu kejadian yang melibatkan dirimu…..Walau aku tidak tahu pasti dan juga aku tidak terlalu mengenalmu meskipun aku tetanggamu.. tapi…..". Chris melipat tangannya. "Bagaimana dengan minum-minum….? Kau pasti tidak masalah dengan minum semacam alkohol'kan?". Horn lekas bangkit dan melengos keluar namun Chris dengan sigap langsung menariknya kembali ke tempat duduknya. "Tenang amigo…..Tenang... minum dulu birmu selagi masih dingin."
Horn berdecak dan meneguk botol bir dingin di hadapannya hingga setengahnya. Horn menumpukan kepalanya di kedua tangannya untuk merasakan efek alkohol pada tubuhnya. Horn merasa lebih tenang dan segar sekarang. Horn memperhatikan merek bir tersebut sebentar, 'Corona Extra'. Horn meneguknya sekali lagi, dan kini mendapati kepalanya agak pusing. Kepalanya sudah agak terasa berputar. Kali ini dia merasakan sebuah sensasi runyam dari suara-suara para pengunjung yang berbincang-bincang dengan lantang tanpa memedulikan sekitar. Horn meneguk bir itu lagi sampai tersisa sedikit.
"Ah…Semua orang tampak senang bercerita…. kau kenal dengan orang-orang di sini?"
"No hermano, aku baru saja pindah sebulan yang lalu tetapi orang-orang di sini ramah dan sering curhat kepadaku, lagipula bukannya bar memang tempat bercerita dengan bartender-nya….jika ada sesuatu yang ingin kau bicarakan…bicarakan saja".
Horn terdiam selama beberapa saat.
"Aku tidak tahu, Chris. Tapi aku tampaknya punya cerita….." Ujar Horn pelan. "Ketika dunia semakin cepat berputar tetapi manusia seringkali tidak mengerti mengapa dunia semakin hari tidak semakin lebih baik dikisahkan ada seorang pelayan istana di sebuah kerajaan miskin dimaki-maki terus menerus oleh sang keponakan raja. Keponakan raja selalu berbuat semaunya. Suka memaki pelayan lain di istana, dan terkadang ia memanipulasi data asset kerajaan. Raja selalu diam dan sayang atas keponakannya. Raja selalu mempercayai keponakannya tersebut sampai-sampai tenggelam dari lembah kerancuan antara benar dan salah. Sang raja juga memiliki sisi gelap dengan mulutnya yang selalu terbelit menyaingi simpul sepatu. Seluruh pelayan lainnya mulai datang dan pergi untuk bekerja di istana. Mereka merasakan makian, tuduhan, dan perbuatan yang tidak seharusnya ada di dalam sebuah istana. Pelayan yang satu ini menetap di sana. Ia sudah bekerja di sana saat dua raja sebelumnya ada. Sedangkan pelayan lainnya memilih pergi mengingat ada masih ada kesempatan bagi mereka di luar istana yang kini gelap karena tertutup tirai hati sang raja yang buta. Andai saja pelayan yang sudah lama itu bisa keluar dari istana dan menghentikan semua kegilaan di dalam istana. Andai dia tidak menerima pekerjaan tersebut sebelumnya dia tidak akan terikat oleh satu-satunya cara untuk bertahan hidup yang pada akhirnya malah merusak mental!! Andai dia sudah melakukannya dari dulu!!"
Brak!!
Suara Horn menumbuk meja bar dengan botol bir. Semua orang diam seketika namun akhirnya ramai kembali.
"Dia sudah bosan di sana, Chris. Enam tahun…. Dibelenggu oleh tiga generasi yang berbeda. Generasi terakhirnya yang paling brengsek dan tidak jauh berbeda dengan cañí. Tidak ada cinta. Tidak ada kebebasan. Tidak ada pilihan. Pelayan itu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi dan hanya pekerjaannyalah yang membuatnya tetap hidup walau jiwanya sudah tiada! Andai waktu bisa dirubah! Andai nasib dapat ditukar secepat kilat! Aku tidak perlu pergi ke minimarket itu setiap hari!! Kau berdiri di tempat yang sama setiap harinya. Bertemu orang brengsek yang sama… sampai-sampai kau tidak tahu di hari apa kau berdiri. Aku sudah terlalu lama di sana sampai-sampai aku terlanjur tidak dapat kemana-mana lagi untuk hidup. Bahkan untuk mengakhiri hidup saja sang pelayan itu tidak bisa. Tiga kali pelayan itu mencoba bunuh diri di benteng tingginya tetapi ada saja yang mencegahnya dan membawanya kepada para penjaga. Ada sajalah seseorang melihat pelayan itu dari benteng sebelah saat ia berusaha gantung diri. Atau'pun secara kebetulan ketika ia ingin melompat dari atap benteng, seseorang'pun juga ingin merokok di atap benteng dan menghentikannya. Atau saat ketiga kalinya ia dipergoki oleh sang pengelola benteng sialan, ia berteriak dan segera memanggil polisi. Mereka semua sama sama seperti raja…. Memutar-mutar omongan mereka berusaha agar aku paham untuk keseribu kalinya tetapi mereka tidak memahamiku. Sang pelayan hanya ingin mengakhiri penderitaannya selama ini. Mereka berusaha menenangkan, tetapi hasilnya percuma karena pada akhirnya ia masih bekerja di istana. Kini ia hanya berjalan di tempat… mengamati hidupnya yang tidak kunjung membaik… dan….dan….dan…"
Prang!!
"…..sialan"
Horn kembali mengetuk botol bir dengan keras tetapi kali ini botol itu menyerah dan pecah di atas meja. Orang-orang kembali terdiam dan kini malah menyorakinya karena mengganggu ketenangan bar. Chris mencoba menenangkan para pekerja kasar yang tampak terganggu dan segera membersihkan kekacauan yang dibuat Horn. Ia mengambil pecahan ujung botol yang tajam dari genggaman Horn. Horn melepaskannya. Setelah beres Chris memberikan satu botol bir dingin yang sama.
"Hey Chris….. menurutmu… apakah menurutmu sang pelayan lebih baik mati saja?" tanya Horn dengan segenggam botol bir yang sudah dibukakan oleh Chris.
"Aku tidak tahu amigo… tapi dari yang kudengar, tampaknya sang pelayan membutuhkan teman untuk bercerita atau minum-minum." jawabnya dengan posisi tangan dilipat.
"Sang pelayan sudah pernah mempunyai teman dan malah berakhir dikhianati…. mungkin itu saran yang buruk….." timpal Horn.
"Setidaknya ia bisa asik minum-minum dan bersenang-senang sendiri."
"Bersenang-senang….? Oh…aku lupa kata itu ke dalam kamusku...oh…itu kata atau kalimat ya? Ah.. kepalaku pening." kening Horn'pun bertengger di kedua tangannya. Tampaknya ia sudah puas bercerita.
Chris akhirnya memutuskan menyalakan TV portable yang terletak di ujung meja bar dan mencari program berita untuk mencairkan suasana.
"Berita selanjutnya pemirsa… CEO dari Albatross Express, Hendrick Mordeau telah dinyatakan tewas dibunuh di dalam rumahnya sendiri. Polisi menemukan bekas luka tembak di bagian kening korban yang diduga merupakan sebab tewasnya pelaku. Kini sudah berada di lokasi rekan kami Nobel yang ak….."
"hehe… Seseorang tampaknya memiliki dendam dengan orang itu" Kata Horn sambil meneguk botol bir keduanya yang baru saja Chris berikan.
"…. Korban memiliki luka bakar dan luka aneh di bagian keningnya yang diduga menjadi penyebab kematian. Sampai saat ini polisi masih mencari pelaku yang bertanggung jawab atas kejadian ini….."
"He..he…Orang-orang mati dengan cara apapun tetap saja mati dan sudah menyempurnakan siklus…. Benar'kan, Chris?" Ucap Horn berkomentar. Chris tampak serius mengamati berita yang disiarkan di TV mini tersebut.
"Kau tahu Horn... sudah ada sembilan laporan orang yang hilang selama satu bulan terakhir ini, dan kasus ini tampaknya semakin menyibukkan para polisi…..". Chris kaget ketika melihat kondisi Horn yang ternyata sudah setengah mabuk. "..Horn…Kau mabuk?".
"Tidaktidaktidak....akutidakmabuk,Chrisayolah…." Horn mengangkat botol keduanya yang sudah hampir habis "…..Kenapa kita tidak minum-minum sebagai perayaan pertemanan baru kita…. Huhh… teman palsuuuu yeaaaah….". Horn mabuk. Chris sudah melihat tandanya dengan mata kepala-nya sendiri. Horn menengok ke bangku sebelahnya, dan yang ia lihat adalah seseorang memakai jas hujan bewarna hitam. Kemudian ia mencoba menepuk pundak orang tersebut dan orang itu menepis tangan Horn.
"Hey bung sekarang muimm panas tahu..." Horn menunjuk-nunjuk orang berjas hujan hitam tersebut dan menghabiskan sisa botol birnya "….terlebih kita harus bersenang-senang…. Pesanlah sebuah minuman….. aku yang trak….". Horn tiba-tiba saja terjatuh dari bangku-nya. Ternyata ia setengah pingsan dan mengigau.
"Owh…. Chris itukah kau…..owh... kau… entah kenapa kkeppalmu tumbuh rambut merah yang cantik….sekali.."
"Sial…. Tidak kusangka dia akan teler secepat itu… maafkan temanku nona…. aku akan membawanya pulang sekarang."
Horn terlelap dalam tidurnya, namun suasana yang ganjil meresahkannya. Hawa yang lembab kini menyelimuti Horn sekarang. Kesadarannya perlahan pulih. Ia dapat merasakan kehampaan dan kesunyian disana. Matanya terpejam sulit dibuka, ia masih ingin menikmati tidurnya. Tetapi ia tidak bisa. Ia dapat mendengar riak air tepat dibawah tubuhnya yang telentang. Tak lama berselang posisi tubuhnya bergerak sendiri seakan-akan memaksanya untuk bangun. Sentuhan dingin air di kakinya akhirnya membuatnya membuka mata.
Horn mendapati dirinya berada di sebuah ruangan kosong yang terendam air. Air tersebut merendam hingga setinggi mata kakinya dan rasanya dingin. Kondisi pencahayaan yang remang-remang, cukup membuat dirinya terlihat di ruangan tersebut namun tidak dengan memberi tahu seberapa luas ruangan tersebut karena ia juga mendengar suara riak air lainnya. Ia melihat dirinya memakai jubah putih lusuh yang menutupi seluruh tubuhnya saat melihat pantulan bayangan dirinya di air.
"Aku sudah mati ya….." asumsinya sambil tersenyum datar melihat pantulan dirinya yang samar-samar. "heheeheee…Akhirnya aku berhasil mengakhirinya…". Ditengah perayaan 'kematiannya' yang menggembirakan, tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan pelan yang sontak memecahkan suasana.
"Horn….. ". Horn langgsung bergidik dan menncari sumber suaranya.
"…..tampaknya takdir mempertemukan kita…" suara misterius itu bergema di ruangan hampa tersebut. Horn kaget dan kemudian menyahut suara tersebut.
"Si-siapa di sana…..?!! Tunjukan Dirimu…!!" teriak Hor, panik, pada ruangan hampa. Tiba-tiba air yang merendam kakinya bergetar lalu tersedot pada suatu titik pusaran air kira-kira 10 meter berada di depannya. Setelah puas menyedot pusaran itu memancarkan air seperti sebuah air mancur setinggi dadanya. Cipratan air mancur itu tidak langsung jatuh ketempatnya semula namun membentuk sebuah wujud. Seperti bangku. Bukan. ITU ORANG! Pria berumur 24 tahun itu ambruk dari topangan kedua kakinya sehingga membuat setengah badannya'pun basah.
"Tidak Mungkin…"
"Itu semua mungkin, Horn…. Bukti bahwa kau berada di ruangan ini adalah sebuah kemungkinan yang nyata." Kata sosok yang sudah hampir sempurna itu. Sosok itu'pun sudah menunjukan bentuk sempurnanya berupa seorang pria tua bungkuk mengenakan jubah putih lengkap dengan rambut putih panjang keritingnya yang tampak seperti menganggu pandangan matanya. Kulitnya sudah dipenuhi keriput menandakan ia sudah sangat tua. Ia duduk di atas sebuah kursi yang entah ia bawa dari mana.
"Siapa….?" tanya Horn sambil perlahan mundur ke belakang.
"Namaku tidaklah penting untuk saat ini…." Jawabnya dengan senyuman yang diiringi dengan keriput diwajahnya. "….Tujuanku hanya ingin berbincang sebentar padamu… disini."
"Aku bahkan tidak tahu dimana ini.... apa aku sudah mati pak tua?"
Pria tua itu tertawa membuat Horn memberikan tatapan sinis lalu berkata "… Kematian bukanlah pilihan…. Melainkan takdir…takdirmu mengatakan kau belum mati…. dan tempat kita bertemu juga takdir….sebuah tempat yang kau ciptakan sendiri di bawah alam sadarmu.". Pria tua itu memberikan senyuman lebih lebar.
"Takdir…..?...alam bawah sadarku? Omong kosong apa yang kau maksud?" Horn mulai bangkit dari posisinya.
Pria tua mengepalkan tangannya ke dada dan menumpukan kepalanya disana "Kau tidak dapat menyalahkan kematian tidak datang kepadamu… kau belum mati... dan tempat ini adalah manifestasi dari apa yang selama ini kau rasakan."
"Tempat ini….. manifestasi… apa maksudmu? bukannya berarti kau adalah orang asing jika ini adalah tempat kuciptakan tanpa sengaja ini?"
Pria itu tertawa dengan suara yang cukup keras dan durasi yang cukup lama. "Kau benar… Memang kau yang membuatnya, tapi salahku juga yang telah memicumu untuk membangun tempat ini…Aku suka dirimu, Horn….. sangat rasional... kau sangat penasaran….."
"Cukup basa-basinya…. Untuk apa kau memicuku membuat tempat ini?"
Pria tua itu diam dan menatap Horn dalam-dalam
"Apakah kau percaya pada takdir?"
Horn diam, tidak merespon.
"Kutanya sekali lagi...Apakah kau percaya pada takdir?"
Horn melipat tangannya dan berkata dengan sinis.
"Memangnya kau peduli apa?"
"Kau tampaknya menyembunyikan sesuatu, Horn."
Horn tidak menjawab.
Pria tua itu tersenyum dan berkata, "…. Kalau begitu….. biarkan aku memberitahumu sebuah fakta"
"Fakta..?"
"Benar….. sebuah fakta yang selama ini hilang di kamus besarmu….…". Pria tua itu menatap Horn tepat pada matanya "…semua manusia dapat mengubah takdir mereka sendiri kecuali ketika mereka lahir dan mati… Dan jika memang sudah waktunya dan maunya, kau tidak bisa menutupi apapun dari takdir tersebut….."
Horn terdiam dan mencoba mencerna apa yang pria tua itu katakan.
"…Memang apa yang kututupi?….… aku tidak mengerti apa maksudmu…? Apa yang kau tahu tentang takdirku?" tanya Horn dengan lantang. Horn melihat tubuh pria tua itu perlahan kembali menjadi air
"Aku'pun tidak tahu…" Potong pria tua itu ".. Tapi kau akan tahu..… Aku bukan tuhan …. Aku sama sepertimu.....Aku ini manusia"
"..Tung-tunggu sebentar…. jangan pergi dulu….Hey.". Terlambat. Pria tua itu lenyap menjadi air dan bersatu bersama genangan air yang merendam kaki Horn. Horn terkejut melihat pria itu lenyap kembali menjadi air. Sejujurnya kini ia merasa agak jijik dengan air yang menggenangi kakinya.
"Sialan… bagaimana aku keluar dari tempat ini…!!? Hey!!" teriaknya kebingungan. Ia menengok ke sudut-sudut ruangan yang tidak jelas luasnya itu. Ruangan itu tampak tidak ada ujungnya karena efek dari penerangan yang buruk. Ia frustasi. Kakinya mulai kedingingan karena terendam air untuk waktu yang cukup lama. Penerangan ruangan itu kini mejadi kian redup. Semakin redup, Horn bahkan menjadi sulit melihat tubuhnya sendiri. Kemudian gelap gulita. Horn mengumpulkan segala akal sehatnya untuk keluar dari situasi tersebut, namun disaat yang sulit itu ia menemukan setitik cahaya didepannya.
Horn berusaha mengejar cahaya itu. Langkahnya berat dan kakinya kedinginan namun ia tidak peduli. Ia tidak boleh kehilangan harapan dan akal sehatnya disini karena katanya ini bukanlah kematian sebenarnya. Ia harus bangun! Horn memikirkan itu selama mengejar cahaya tersebut antara ragu dan percaya dengan semua ruangan ini.
Cahaya putih tersebut semakin jelas dan makin tampak. Semakin dekat. Sudah dekat. Remang-remang. Ia dapat melihat kedua tangannya sekarang. Kemudian cahaya tersebut berada tepat di atas kepalanya, namun itu mengecewakannya. Karena cahaya itu hanyalah dari sebuah lampu neon dengan sebuah kabel yang menjadi sumber energinya.
"Bukan jalan keluar, huh?". Ia merasa frustasi tapi akhirnya dia tertawa dan tersenyum untuk menghibur dirinya sendiri. "Ah… sudahlah…Kalau aku mati disini mungkin tidak akan kenapa-napa…. Tidak ada pengganggu'kan…. Pak tua itu tidak mungkin dapat menghentikanku…"
"Horn…Lihatlah lampu itu…" sebuah suara tiba-tiba menginstruksikannya.
Horn tanpa pikir panjang langsung menengok melihat sumber cahaya bewarna putih tersebut. Ia menangkap kehadiran sebuah hewan yang tidak asing, sedang terbang turun dan mengitari sumber cahaya.
"..i-itu…"
"…. Perhatikanlah kupu-kupu itu…" kata suara itu merujuk Horn pada kupu-kupu bersayap warna-warni yang sedang terbang tersebut. " Dia… terbang dengan indah bukan?"
Tiba-tiba saja ruangan tanpa batas berubah menjadi itu penuh cahaya bewarna kehijauan yang menyilaukan mata Horn dan tiba-tiba saja lantai dengan air menggenang yang ia pijak bergetar dan level ketinggian air tiba-tiba naik. Air tersebut sudah tidak dingin lagi, tetapi hangat. Air itu naik hingga sedada Horn kemudian naik lagi hingga melebihi tinggi tubuhnya dan hamper mengenai lampu tersebut. Horn tidak dapat berenang. Ia berusaha untuk tetap berada di permukaan tetapi air itu lebih menguasainya dan cepat untuk naik dan mencoba menenggelamkan tubuhnya. Ia berusaha mati-matian menggapai lampu yang berada di atasnya, tetapi lampu tersebut tertarik dengan sendirinya dan menjauhi dirinya yang mengambang lemas. Tubuhnya lelah. Tubuhnya sudah payah. Ia'pun akhirnya tenggelam. Anehnya ia tidak merasakan tenggorokannya seperti tercekik. Ia merasakan sebuah kenyamanan tenggelam di air yang sudah berubah menjadi hangat tersebut hingga membuatnya tertidur.
Aku mati?
Horn terbangun di ruangan tengah apartemennya. Hari ternyata sudah pagi. Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya dan mengingat apa saja barusan yang terjadi. Pria tua. Air. Ruangan. Mimpi? Ia terkejut merasakan betapa aslinya mimpinya tersebut. Ia juga merasakan ada sesuatu yang membasahi pipinya.
"Sial… Kenapa aku menangis?"