Chereads / WANTED! Jodoh Dunia Akhirat / Chapter 14 - Terkejot!

Chapter 14 - Terkejot!

Sefia masuk ke dalam rumah, dengan perasaan yang entahlah, sulit ia bayangkan. Selama sebulan bekerja dengan bos barunya yang seing membuatnya dongkol setengah mati walau tak dapat Ia pungkiri kalau perlahan ada perasaan nyaman yang Ia rasakan bersama bosnya. Hem! Mungkin Sefia sudah ketularan sinting. Bagaia mana bisa bos yang Ia bilang sinting justru membuat dirinya merasa nyaman?

Dasar memang Sefia, cewek keturunan Jawa itu memang selalu ada – ada saja.

Ruang Tamu!

Sefia duduk di atas sofa empuk ruang tamu miliknya, kepalanya Ia Sandarakan pada Sofa. Entah berapa lama Ia mencoba menenagkan pikirannya dengan duduk nyaman di ruang tamu.

Hah! Helaan Nafas berat keluar begitu saja dari mulut Sefia, lalu kedua matanya terbuka dan menatap sekeliling ruangan yang esok hari akan Ia tinggalkan untuk sementara waktu.

"Apaan tuh!" Sefia menajamkan penglihatannya, perlahan tubuhnya ikut bergerak menuju kearah pandang kedua matanya yang tengah memicing ke sebuah objek di atas meja.

Karena rasa penasaran yang akut, Sefia bangkit menyalakan lampu utama. Matanya kembali terarah pada bungkusan di atas meja.

"Perasaan aku ga beli ini, siapa yang naruh disini? Eh!... Bagai mana bisa masuk? Kunci aku bawa, dan aku hanya punya satu. Ga mungkin kan hari gini masih ada setan yang iseng naruh nih kado di meja?"

"Kado? Mana ada setan baik hati kasih aku kado segala?" SEfia masih saja bergumam sambil menatap benda berbungkus kertas kado di atas meja.

"Buka ga ya?" Sefia kembali berpikir sambil duduk bersimpuh di lantai persis di samping meja ruang tamu.

"Buka ga buka ga bukalah… masak enggak?"

"Buka ajalah!"

Perlahan Sefia membuka bungkusan kado yang ada di hadapannya.

"AAAA!!!" Teriak Sefia dengan lantang sambil memegang dadanya yang berdetak dengan kencang.

"Bos sialan!!!!" Sefia kini tengah membayangkan jika sang bos mungkin kini telah tertawa terbahak – bahak di suatu tempat, karena sudah tahu jika kado yang Ia kirimkan sukses membuatnya jantungan.

"LIatin aja nanti, bakal aku balas!" Geram Sefia.

"Pertama Sepatu, sampai sekarang juga belum di kembalikan. Terus dia ngeprank aku kayak gini. Awas saja!"

Sefia terus saja bergumam sambil bangkit dari duduknya lalu hendak berjalan menuju ke kamarnya, namun langkahnya terhenti, menoleh pada kotak yang berisi boneka yang di bawahnya telah di pasangi Per, sehingga saat kado itu terbuka maka akan langsung menyembul si boneka badut yang lucu.

"kasian kalau di tinggal disini sendirian, di lihat – lihat lucu juga."

Sefia mengambil kotak tersebut lalu membawanya masuk ke dalam kamarnya.

"Dasar bos sinting! Pelit lagi. Bukannya kasih kado apa gitu yang mahalan dikit… eh! Malah si badut ini yang dia kasih."

Di tempat lain, Kamar Bima.

Bima tertawa terbahak setelah melihat rekaman CCTV yang sengaja Ia pasang di ruang tamu milik calon istrinya itu.

Memang kurang ajar si Bos! Main pasang CCTV di rumah orang tanpa permisi, tapi semua yang Bima lakukan bukan tanpa alasan, Ia hanya ingin tahu bagai mana reaksi calon istrinya mendapat kado boneka badut itu dari nya.

Bima menyeka air mata dikedua sisi matanya setelah capek tertawa melihat aksi lucu Sefia.

"Kamu memang lucu, Sef. Hanya laki – laki bodoh yang melepaskanmu. Hah! Aku jadi penasaran laki – laki seperti apa yang telah melepasmu sampai kau menutup hatimu begitu rapat untuk laki – laki."

Bima terus bergumam tentang Sefia, tak merasa jika gumamannya berlaku juga untuk dirinya sendiri. BUkankah Bima dan Sefia sama – sama korban kebucinan yang membawa luka? Bedanya, Sefia mempunyai status yang jelas telah putus, berbeda dengan Bima yang mengantung tanpa kejelasan karena kepergian Laura yang tanpa kabar dan tanpa kata perpisahan.

"Belum tidur kak?" Tanya Papa Bratasena di ambang pintu sang anak.

"Eh! Papa. Masuk pah." Bima lalu bangkit dari rebahannya di atas ranjang, lalu mendekati sang ayah yang telah lebih dulu duduk di atas sofa di dalam kamarnya.

"Maaf, kalau papa langsung masuk lagian kamu nya juga dari tadi ga dengar pintu di ketuk dari luar."

Bima tersenyam kecil, salahnya memang yang terlalu asik melihat rekaman CCTV yang menampilkan Sefia dan kelucuannya.

"Papa tumben, malam – malam nemuin Bima, biasanya asik berduaan sama mamah."

Bratasena terkekeh, kedua anaknya memang telah terbiasa melihat keharmonisan dan keromantisan dirinya dan sang istri.

"Mamamu sudah tidur. Papa sengaja menemuimu karena ingin memastikan sesuatu." Ujar Bratasena sambil menoleh pada BIma.

"Tentang apa pah?"

"Tentang perjodohanmu dengan Sefia."

Bima melempar pandangannya kearah jendela kamarnya, tak ingin papanya mengetahui gejolak yang sesungguhnya sedang terjadi dalam diri Bima. Jika ditanya apa kah dia nyaman dengan Sefia, maka Ia akan menjawab 'Ya'. Namun jika ditanya apakah Ia mencintai Sefia? Bima sendiri tak tahu jawabannya.

"Kamu yakin untuk menikah dengan Sefia?" Bratasena menatap sang putra yang kini tak ingin menatapnya, Bratasena paham apa yang dirasakan putranya saat ini.

Bratasena menarik nafas panjang, lalu menundukkan kepalanya. Ia tak tahu apa yang akan di lakukan Bima jika mengetahui kenyataan yang sebenarnya jika papanya lah yang menyuruh Laura meninggalkan anak laki – lakinya itu. Ada sesak di dada Bratasena jika mengingat pertemuan terakhirnya dengan Laura.

Namun bukan tanpa alasan Bratasena melakukan hal itu, justru itu yang terbaik untuk Bima, agar anaknya tidak lebih terluka jika mengetahui kenyataan tentang Laura sesungguhnya.

"Bima…"

"Aku menyukai Sefia, Pah. Dia gadis yang baik. Aku juga tahu papah memilih Sefia pasti karena ada alasan tertentu dan pastinya semua alasan itu untuk membuat aku bahagia kan? Dan pasti segala yang papa lakukan adalah yang terbaik untukku." Bima lebih dulu menyela ucapan papanya sebelum papanya mengucapkan sesuatu padanya.

"Maafkan papa."

"Kenapa papa minta maaf? Papa tidak salah… gadis yang papa pilihkan untuk Bima adalah gadis yang baik dan luar biasa, dan juga lucu." Bima terkekeh mengingat segala polah tingkah Sefia selama ini.

"Baiklah, papa sudah tenang dan bisa tidur nyenyak sekarang setelah mendengar jawabanmu. Istirahatlah, papa juga mau istirahat." Bratasena menepuk pundak sang anak lalu beranjak dari sofa dan keluar dari kamar Bima.

Bima mengusap wajahnya kasar, Ia tahu saat Ia sampai di Jogja esok, semuanya pasti akan berubah.

"Selamat tinggal Laura, aku tak bisa menunggumu lagi." Gumam Bima dengan wajah menunduk sendu.

Ada rasa yang masih menganjal, ada alasan yang ingin Ia dengar dari wanita yang Ia cintai, mengapa dengan mudahnya Ia ditinggalkan. Mengapa begitu mudah Ia dicampakkan. Semua hanya pertanyaan yang entah kapan akan terjawab.