"Oh! Jadi Emon itu sepupu Mas Bos?" Tanya Sefia saat mereka makan malam berdua. Bukan perkara mudah bagi dua insan itu untuk bisa makan malam berdua.
Ini adalah akal – akalan keluarga Bima yang sengaja membuat rencana makan malam untuk mereka walau berdalih makan malam keluarga yang gagal karena Emon mendadak sakit perut dan keluarga yang lain terpaksa pulang.
Jadilah kedua insan itu memakan makan malam yang sudah terlanjur di pesan, lagi pula Bima masih ingin menjauh dari Emon, sepupu yang selalu mengikutinya kemanapun Ia pergi.
"Ya, dan dia selalu mengikutiku kemanapun aku pergi."
"Apa Mas Bos tidak punya teman lain selain Emon?"
"Ada, hanya saja Ia masih sibuk dengan pekerjaannya diluar negeri." Sahut Bima.
"Oh, seorang pengusaha pasti sahabat – sahabatnya juga pengusaha."
"Kamu tidak punya teman? Aku lihat kamu selalu sendiri selama ini." Tanya Bima lalu memasukkan potongan steak ke dalam mulutnya.
Sefia menatap sekilas wajah Bima, rasanya nyeri jika mengingat kata sahabat.
"Teman banyak, di kantor pun banyak teman, tapi sahabat untuk berbagi hampir tidak ada."
Bima menatap Sefia dengan kedua alisnya yang saling bertaut.
"Kenapa?"
"Untuk apa punya sahabat jika ujungnya kita harus merasakan luka." Ucap Sefia cuek dan berusaha menutupi perasaan terlukanya dari sang bos.
"Bukan sahabat namanya jika memberikan luka, sahabat adalah tempat berbagi, dan membalut luka, bukan sebaliknya."
"Entahlah."
"Kau ini sepertinya anti pati sekali dengan yang namanya sahabat."
Sefia hanya tersenyum kecil.
"Begini saja, bagai mana kalau mulai hari ini kita bersahabat." Ucap Bima mengulurkan tangannya pada Sefia.
Bukan menerima uluran tangan Bima, justru kini Ia tertawa sambil menatap Bima.
"kenapa kamu tertawa? Apa kamu tidak percaya padaku, kalau aku bisa menjadi sahabat yang baik untukmu?" Tanya Bima menahan dongkol karena Sefia seolah menolak dirinya untuk menjadi sahabat.
"Maaf, aku tak percaya jika kau tak akan memberikan ku luka." Ucap Sefia.
"Aku tak akan berjanji dengan hal itu, tapi paling tidak kita bisa menjadi partner dalam segala hal."
"Asal bukan partner tidur aja." Sanggah Sefia asal.
"Bisa jadi itu termasuk."
"What?!"
"Hahahaha… becanda!" Ujar Bima lalu menyentil kening Sefia .
"Dasar sinting."
"Tapi aku tidak sesinting itu, menjadikan seorang gadis menjadi partner in bed. Aku masih takut dosa."
Satu hal yang Sefia belum ketahui dari sosok Bima adalah walau Ia berasal dari keluarga kaya, dan hampir sebagian hidupnya banyak melalang buana di luar negeri tapi nilai agama tetap terpupuk di dalam hidupnya.
Bahkan Ia tak munafik jika Ia sering keluar masuk club namun tak pernah Ia menyentuh minuman haram apa lagi wanita untuk sekedar bersenang – senang. Ia sering ke club untuk bertemu dengan kliennya atau menemani sahabatnya yang ingin sekedar menghilangkan penat.
Setelah makan malam mereka menikmati malam dengan berjalan – jalan di sekitaran pantai Ancol. Melihat Sefia yang memeluk tubuhnya sendiri, Bima melepaskan jas yang sedari tadi Ia gunakan.
"Pakai."
"Tidak perlu."
"jangan bantah! Aku tak mau melihatmu mati kedinginan sebelum bertemu dengan calon suamimu." Ucap Bima.
"Doanya gitu banget."
Bima terkekeh, "Makanya pakai."
Sefia mengambil jas dari tangan Bima lalu memakainya, "Makasih Mas Bos."
"Hm."
"Sef, apa yang akan kamu lakukan jika calon suamimu tak sesuai dengan harapanmu?"
Sefia nampak berfikir, "aku tidak tahu mas bos." Jawabnya lesu.
"Apa kamu masih akan tetap melanjutkan perjodohan itu?"
Sefia mengangguk tatapannya lurus kedepan tanpa ada sedikitpun keinginan dia untuk menoleh pada Bima, hingga kakinya terasa lelah lalu Ia memilih duduk di bangku panjang yang ada di tepi pantai.
BIma mengikuti langkah gadis itu dengan berbagai pikiran yang merasuk. Entah apa yang akan terjadi nanti setelah Sefia tahu jika laki – laki yang di jodohkan dengannya adalah bos sintingnya, yang sering membuatnya kesal.
"Kamu tidak ingin menolak keinginan orang tuamu? Kamu cantik lho, banyak yang mau sama kamu tuh si manager keuangan ngintilin kamu terus." Goda Bima, sejujurnya Ia sangat khawatir dengan reaksi Sefia saat pertemuan keluarga nanti.
"Tidak! Aku sudah menyerah dengan takdir. Bagai mana dengan Mas Bos mengapa tidak menolak dengan perjodohan mas Bos?" Sefia menoleh pada laki – laki yang sedang menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dan matanya lurus menatap ombak yang mengulung dengan indah.
"Sama halnya dengan mu, taka da alasan lagi untuk aku menolak, apa lagi saat tahu bagai mana gadis itu."
"Maksudnya?"
"Aku sudah cerita padamu sebelumnya belum sih? Kalau aku sering memata – matai calon istriku?" Bima menoleh pada Sefia.
"Entah, saya tidak ingat." Jawab Sefia dengan cueknya, dan…
PLETAK
Satu sentilan di kening lagi – lagi Sefia rasakan dari Bos nya itu.
"Sakiiit! Mas Bos!"
"Salah kamu sendiri, berarti selama ini kamu tak pernah dengerin aku ngomong?!"
"Kan saya beneran lupa Mas bos," Rengek Sefia sambil mengusap keningnya yang terasa pedih.
"Ayo pulang! Lama – lama ngomong sama kamu buat saya naik darah!" Ucap Bima ketus lalu berjalan lebih dulu di depan Sefia yang mengikutinya dari belakang.
"Masuk!" Bima membukakan pintu mobil untuk Sefia walau masih dengan nada yang terlihat kesal.
"Saya tidak usah di antar Mas Bos, saya pulang sendiri saja."
"Ma-suk! Saya bilang! Kamu mau saya digantung sama papah saya karena ga anterin kamu pulang?!"
"Iya iya." Sefia masuk ke dalam mobil dnegan wajah yang di tekuk, Bima lalu mengikuti masuk ke dalam mobilnya setelah menutup pintu mobil Sefia lumayan keras.
Itulah Bima, Ia paling tidak suka di abaikan, apa lagi sampai tak mendengarkan apa yang dia katakan. Dia pasti akan marah besar.
Hanya keheningan yang ada di dalam mobil, terkadang Sefia bingung dengan sikap bosnya yang terkadang manis, dan perhatian namun kadang judes dan menjengkelkan.
"Terima kasih mas Bos, sudah mengantarkan saya pulang." Ucap Sefia sebelum keluar dari mobil.
Bima menatap Sefia lalu mengangguk, namun tiba – tiba tangannya mencekal lengan Sefia yang hendak keluar dari mobil. ditatapnya Sefia dengan tatapan yang sulit di artikan oleh Sefia.
"Percayalah, tidak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya. Mereka hanya ingin yang terbaik untuk masa depan anaknya."
Sefia lagi – lagi hanya mengangguk, bibirnya serasa kelu untuk berucap, entah rasa apa yang Ia rasakan saat ini. Esok hari Ia akan berangkat ke Jogja untuk memenuhi permintaan kedua orang tuanya. ini adalah hari terakhir sebelum Sefia cuti kantor.
Sefia keluar dari mobil dengan perasaan yang menganjal namun Ia tak tahu sebabnya apa. Hingga Bima melajukan kembali mobilnya meninggalkan halaman rumah Sefia yang nampak asri.