"Duhh… mau ngapain lagi, pak tua. Tadi udah dihukum, sekarang disuruh ke ruang guru. Habis ini disuruh ngapain coba." Arya bergumam dengan nada kesal dan lesu. Kesempatannya bertemu Amelia pun tertunda lagi.
Disisi lain, Amelia telah meninggalkan kelas dan menemui ayahnya yang sedang menunggu putrinya di depan sekolah.
Arya pun duduk di bangku yang telah disiapkan oleh Pak Wawan. Awalnya, ia diteriaki di depan para guru yang sedang sibuk mengurus pekerjaan di meja masing-masing. Suasana di ruang guru cukup tegang, tak ada yang berbicara selain Pak Wawan sedang menasehati Arya. Saking keras teriakannya, seseorang mendengar suara melengking itu dan langsung masuk ke ruang guru tanpa mengucapkan salam apapun.
"Kenapa anda meneriaki anak saya? Apa kesalahannya?!" Suara serak itu mengarah padanya. Sontak Arya langsung membalikkan badannya, dan melihat ayahnya sedang memasang wajah bingung sekaligus marah.
"Lho, Ayah. Kok bisa tahu aku di sini?" tanya Arya. Namun ayahnya tak menanggapinya, langsung menghadap Pak Wawan.
Percekcokan terjadi cukup lama antara pria dewasa. Karena sangat mengganggu kerja para guru, akhirnya beberapa guru laki-laki terpaksa turun tangan dan menghentikan pertikaian. Arya hanya bersembunyi di belakang kaki ayahnya seraya menarik ujung baju ayahnya. Ketika suasana kembali regang, Ayah Arya menarik tangan anaknya dengan pelan, dan membawanya pulang tanpa meminta maaf.
"Ayah harusnya nggak harus sampai marah kayak gitu. Lagian tadi aku cuma dinasehati aja."
"Menasehati untuk anak yang banyak tingkah sepertimu memanglah tepat. Tapi nggak gitu caranya. Masih ada cara lain selain teriak-teriak. Apalagi di depan para guru."
"Nggak papa, yah, biarin aja. Pak Wawan mah memang gitu orangnya. Otaknya gak beres." Anak dan ayah itu terkekeh mendengar sang anak mengejek gurunya. Kemudian mereka menaiki motor dan langsung menuju rumah.
Sesampai mereka di depan rumah, hal yang pertama kali Arya lihat ialah rumah temannya yang menjulung cukup tinggi dari rumahnya. Ia masih penasaran kenapa sampai detik ini Amelia terus menghindarinya tanpa mengucapkan apapun padanya.
Tak lama kemudian, temannya datang seraya membawa tas dan mengetuk pintu rumahnya.
"Permisi. Yak, ini aku, Henry."
Tak lama kemudian, ayahnya membukakan pintu dan menyuruh Henry masuk ke kamar Arya.
"Yak…" Henry pun langsung terdiam setelah membuka pintu kamarnya.
"Woii, bangun. Ngapain tidur? Katanya mau belajar," kata Henry seraya memukuli badannya. Arya yang baru bangun, terkejut melihat Henry tiba-tiba di kamarnya.
"Lah, siapa juga yang nyuruh datang jam segini? Kayak gak ada waktu lain aja."
"Mana bisa, tolol. Besok aja ada mapel Matematika. Gara-gara mikirin Amelia kok jadi pelupa gini," kata Henry mengejek
"Halah berisik. Ya udah, bentar. Aku ambil buku sama jajan dulu." Kemudian mereka mengerjakan PR hingga sore tiba. Setelah itu, Henry pamit pada Arya dan keluarganya, meninggalkan rumahnya dengan bersepeda.
"Akhirnya, Si Pengganggu pulang juga." Kata Arya, terlihat lega dan tak sengaja menengok rumah Amelia.
"Ke rumah Amel, ah. Siapa tahu udah baikan."
Kemudian setelah mandi sore, Arya langsung menuju rumah Amelia. Namun rumahnya cukup sunyi. Biasanya di sore hari kakaknya atau Amelia sendiri menyirami tanaman. Mereka berdua terkadang berkebun di halaman depan rumah. Ia pun menekan bel rumahnya. Dan tak lama keluarlah kakak laki-lakinya yang tangannya dipenuhi sisa-sisa makanan.
"Arya, ya… mau cari Amel, ya?"
"Iya, kak. Amel lagi di rumah nggak?"
"Waduhh… sayangnya Amel lagi nggak di rumah. Amel dari tadi belum pulang. Pas ia pulang sekolah, kebetulan ayah mengajaknya ke mall. Mungkin bentar lagi pulang. Mau nunggu di dalam aja?" tanya Adrian, menawari tetangganya.
"Kalau boleh, nggak papa, kak."
Kemudian Arya pun masuk ke dalam rumah Amelia disaat Amelia sedang tak di rumah. Ia pun duduk di sofa saat Ibu Amelia dan Arya menangis. Ia menunggu seraya menonton televisi dengan santai, seakan ia sedang di rumahnya sendiri.
"Yak, mau camilan nggak?" tanya Adrian seraya menjulurkan makanan sejenis kacang.
"Boleh boleh. Minta ya, kak."
Adrian menganggap Arya seperti adiknya sendiri. Begitu juga dengan Arya. Ia hanya anak tunggal dan terlahir dari keluarga yang sederhana. Berbeda jauh dengan Amelia. Kebanyakan apa yang ia inginkan, pasti dituruti oleh kedua orang tuanya. Kemungkinan saat ini salah satunya keinginannya pergi ke mall, pikir Arya.
Menunggu terlalu lama, malam hampir tiba. Sinar mentari hampir tak nampak di ujung cakrawala. Saking lamanya, Arya bosan mengunyah kacang itu dan rahangnya kecapekan. Karena tak kunjung pulang, Arya berencana kembali ke rumah sebelum kedua orang tuanya mencari.
"Yak, kayaknya Amel belum pulang juga. Mau aku telfonin nggak? Kasihan kamu udah nunggu dari tadi," tanya Adrian, merasa bersalah karena telah membuat Arya terlihat bosan.
"Nggak usah, kak. Nanti ngrepotin. Lagian besok juga ketemu di sekolah."
"Oh ya udah kalau gitu. Maaf kalo Amel belum pulang. Kamu hati-hati di jalan."
"Tapi kan rumahku…. Ya kak, makasih." Ingin mengatakan sesuatu, namun Arya merasa ia tak perlu susah-susah menyampaikannya. Namun yang ada dipikirannya, ibunya Amelia dan kakaknya benar-benar mirip.
Keesokan harinya, saat jam pelajaran pertama di mulai, guru yang mengajar sedang mengabsen siswa di kelasnya. Saat nama dipanggil, mereka selalu mengatakan 'hadir' seraya mengangkat tangan.
"Sudah semua, ya, kecuali Amelia. Bapak dapat surat dari keluarganya. Katanya Amelia lagi sakit. Doakan temanmu agar cepat sembuh."
Arya mendengar hal itu langsung terperanjat. Ia sejak tadi tak menyadarinya, sebab saat ini ia masih duduk bersebelahan dengan Henry.
"Kok kaget gitu? Jangan-jangan kamu nggak tahu kalo Amel lagi sakit?" tanya Henry.
"Mana bakal tahu. Orangnya aja nggak bilang kalo lagi sakit," jawab Arya, cuek. Henry hanya menggelengkan kepala.
Keesokan harinya, sebelum berangkat sekolah. Arya langsung ke rumah Amelia, tergopoh-gopoh. Ia langsung menerobos pagar dan langsung mengetuk pintu rumahnya. Adrian membukakan pintunya, merasa terganggu.
"Yak, ini masih pagi. Pelan-pelan dikit kenapa."
"Lho, kok kak Adrian masih di sini? Bukannya mau pindah ke Denmark?" tanya Arya, kebingungan.
"Yang pindah ke Denmark hanya ayah, ibu, sama Amel. Aku masih tinggal di rumah ini tapi sama Om dan Tanteku. Kamu sendiri kenapa kayak dikejar anjing gitu?"
"Mau cari Amel. Ada nggak kak?" mendengar pertanyaannya, Adrian langsung memeluk Arya dan membuatnya terkejut.
"Lho, kak. Ada apa? Kok asal main peluk aja?"
"Sorry, Yak. Kayaknya kamu harus nunggu. Entah sampai kapan."
Arya seketika meneteskan air mata, dan tersedu sangat keras.
"Amel!!"
Adrian paham betul kedekatan adiknya dengan Arya. Meninggalkan temannya tanpa mengucapkan apapun sangatlah menyayat hati. Seakan Amelia tak lagi membutuhkan sosok Arya yang selalu ada untuknya, dimanapun dan kapanpun.