"Saya mempunyai sebuah permintaan Yang Mulia." menyadari bahwa dirinya tidak bisa menang melawan raja muda, sang ratu akhirnya memilih berkompromi untuk sementara waktu.
"Katakan!" perintah Stevan.
"Saya ingin melatih sendiri gadis yang Anda pilih untuk menjadi ratu. Setelah dia terbiasa dengan tugas seorang ratu, saya akan melepaskan gelar ratu, Yang Mulia." wanita itu berbicara dengan alasan yang masuk akal.
"Tiga bulan."
"Aku memberimu waktu tiga bulan untuk melatih gadisku menjadi seorang ratu." Stevan mengambil keputusan.
"Saya mengerti Yang Mulia." sang ratu menuruti perintah penguasa kegelapan itu.
Sang raja dan ratu terdahulu terlibat dalam pembicaraan serius sehingga tidak perduli dengan lingkungan sekitarnya. Hanya Rose yang merasakan tatapan permusuhan yang diberikan oleh gadis bernama Irish itu.
Gadis cantik itu tidak menyembunyikan kebencianya pada Rose. Jika tatapan bisa membunuh, pasti Rose sudah mati karena betapa tajamnya Irish saat menatap dirinya.
Gadis peri itu membalas tatapan Irish dengan senyuman cantik. Membuat lawanya mengeratkan kepalan tanganya karena merasa diremehkan.
Sejak awal, Rose bukanlah kesemek lembut yang bisa ditindas dengan mudah. Itu adalah cerita yang berbeda jika orang tersebut memiliki kekuatan untuk memusnahkan ras peri miliknya.
Diantara para wanita yang Ia temui di ras zeros, peri cantik itu tau bahwa mereka adalah wanita yang tangguh. Tetapi mereka masih belum bisa mengancam keselamatan ras nya. Ia sama sekali tidak takut dengan mereka.
"Hanya itu yang ingin kukatakan." Stevan menutup pembicaraan serius itu.
"Kalau begitu, silahkan cicipi teh buatan saya, Yang Mulia. Anda sudah lama tidak kemari."
"Ini waktunya bunga teratai di danau bermekaran. Pemandanganya sangat indah Yang Mulia." Irish berbicara dengan lemah lembut. Tidak ditemukan jejak ekspresi membunuh yang Ia gunakan saat menatap Rose.
"Tidak perlu." Stevan membalas singkat wanita itu.
Irish sedikit terkejut dengan penolakan sang raja. Biasanya, pemuda itu tidak pernah menolak teh yang Ia buat. Itu karena teh yang dirinya gunakan adalah teh yang diberikan oleh Teodhor untuk meringankan sakit kepala sang penguasa ras zeros itu.
"Aku pergi." Stevan beranjak dari tempat duduknya.
"Selamat jalan Yang Mulia." kedua wanita yang sejak tadi berada di paviliun mengantar kepergian sang raja muda dengan senyuman.
Stevan dan Rose meninggalkan istana ratu setelah urusan pemuda itu selesai. Mereka berdua berjalan beriringan seperti saat mereka datang.
"Sepertinya ratu tidak terlalu menyukai saya, Yang Mulia." Rose mengutarakan perasaanya kepada Stevan.
"Tidak perlu terlalu dipikirkan." pemuda itu membalas acuh.
"Apakah Yang Mulia juga tidak terlalu dekat dengan ratu?" Rose bertanya kepada pemuda itu.
"Aku tidak menyukainya." Stevan menjawab datar.
"Kenapa Yang Mulia? Bukankah sang ratu adalah ibu kandung Yang Mulia." Rose masih penasaran.
"Heh. Dia tidak sebanding dengan orang yang melahirkanku." Stevan berkata meremehkan.
"Lalu, dimana ibu kandung Yang Mulia?" sang peri terus bertanya.
"Kau banyak bertanya. Sudah tidak takut padaku?" Stevan membalas peri cantik itu.
"Itu.." saat melangkah melewati air mancur buatan, Rose menghentikan langkah kakinya.
"Aku lelah Yang Mulia." Rose mengeluh kepada Stevan untuk mengalihkan pembicaraan.
Pemuda itu tidak mengekspos tindakan yang dilakukan oleh sang gadis. Tanpa banyak bicara, Stevan menggendong gadis cantik itu. Mengeluarkan sayap hitam miliknya, pasangan muda itu terbang menuju istana utama.
Sang gadis sangat cantik dan si lelaki tampan rupawan. Mereka berdua sama-sama mengenakan pakaian dengan nuansa biru dan putih. Menciptakan pemandangan spektakuler yang indah dipandang mata.
Rose menatap pemuda yang tengah membawanya terbang. Bulu mata lentik dan hidung mancung. Stevan memiliki rahang yang kokoh dengan bibir merah. Rose selalu mengingatkan dirinya untuk tidak pernah menatap saat sang raja sedang melihatnya dengan lembut, karena pasti dirinya akan terjebak dalam pesonanya.
Namun kali ini, Ia harus membuat pemuda itu terus menatapnya dengan lembut. Karena itu satu-satunya cara agar makhluk lemah seperti dirinya bisa bertahan di wilayah para zeros yang ganas.
"Jika memang aku akhirnya menetap disini, setidaknya aku harus memiliki pelindung terkuat."
"Aku akan bekerja keras untuk mendapatkan hati raja." batin Rose.
"Sampai kau tidak memiliki kegunaan lagi, aku akan membuatmu tetap berada di sisiku."
"Setidaknya sampai pewarisku lahir, aku akan memperlakukanmu dengan baik." batin Stevan.
Sepasang lelaki dan wanita yang nampak sangat harmonis itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka mempunyai tujuanya sendiri satu sama lain. Meski begitu, pikiran itu sangat tersembunyi dan hanya mereka yang tau.
***
"Bibi, aku tidak mau jika harus mundur sebagai calon ratu." keluh Irish.
"Aku tahu. Apakah menurutmu aku akan membiarkan gadis tidak jelas itu mendapatkan gelarku." sang ratu membalas.
"Wanita rubah itu pasti sudah merayu Stevan dengan tubuhnya." ejek Irish.
"Kalau begitu kenapa kau tidak melakukan hal yang sama. Stevan masih muda dan berdarah panas, dia pasti tidak akan menolakmu." sang bibi tersenyum culas.
"Tapi Bibi, aku takut akan hamil. Bibi yang memberitahuku resiko saat mengandung anak raja." Irish terlihat ragu-ragu.
Setelah kepergian sang raja, kedua wanita itu menunjukan sifat asli mereka. Ketidakpuasan, cemoohan bahkan siasat licik mereka pikirkan untuk menghentikan keputusan raja.
"Bagaimana jika kita bertanya kepada Tuan Teodhor, Bibi."
"Dia pasti bisa membantu kita." Irish tiba-tiba mengingat pemuda tampan itu.
"Teodhor? Bukankah dia tangan kanan raja." sang ratu bertanya ragu.
"Bibi tidak perlu khawatir. Apakah Bibi ingat saat raja sakit kepala karena tidak bisa tidur selama berbulan-bulan?"
"Tuan Teodhor memberiku sebuah teh untuk meringankan sakit kepala raja. Itu sebabnya aku bisa mendekati Yang Mulia." Irish menjelaskan.
Gadis itu juga menceritakan bahwa Teodhor dan dia sudah terhubung di kapal yang sama. Pemuda itu bersedia memberikan kesetiaanya dan membantunya untuk naik ke tahta ratu.
"Kalau begitu panggil Teodhor besok siang ke istanaku. Kita akan membahas apa yang harus kita lakukan selanjutnya." sang ratu akhirnya setuju untuk meminta saran pemuda itu setelah mendengar keponakanya terus menceritakan bantuan yang sudah Ia terima dari Teodhor.
"Baik Bibi, aku akan menyuruh seseorang untuk mengirim pesan kepada Tuan Teodhor." Irish segera beranjak pergi dari tempat itu.
Karena keturunan keluarganya, sejak kecil orang-orang di sekitarnya sudah menganggap dirinya sebagai calon ratu masa depan. Dia tidak pernah merasa rendah hati karena Ia juga berpikir jika hanya dirinya yang pantas untuk naik tahta menjadi ratu.
Kedatangan gadis itu seolah menjadi duri di matanya. Perlakuan raja terhadap gadis itu berbeda dengan cara pemuda itu memperlakukan wanita lain di sisinya. Bahkan dia hanya berhasil mendekati sang raja karena bantuan dari tangan kanan penguasa ras zeros itu.
Dia harus memikirkan cara untuk melenyapkan gadis itu sebelum terlambat. Hanya dia yang pantas untuk berdiri di samping raja. Mendapatkan kemuliaan dan kekuasaan dari ras terkuat itu.