Rose membuka matanya di kala cahaya mentari bersinar cerah. Suara dedauan yang tertiup angin membawa udara segar yang lama tidak tercium di hutan rindang itu memasuki indra penciumanya. Mengangkat suasana hati sang gadis yang suram sejak jatuh dari kuda.
"Sudah bangun?" suara Steven mengusik kebahagiaan sang peri.
"Iya, Yang Mulia." Rose menjawab Steven dengan sopan seperti biasa.
"Makanlah. Masih ada satu hal lagi yang harus kita lakukan sebelum kembali ke istana." sang raja menyerahkan beberapa buah apel yang entah darimana Ia dapatkan.
"Terimakasih Yang Mulia." Rose berujar pelan.
Kress
Rose menggigit apel merah yang terlihat kecil jika dibandingkan dengan apel yang biasanya Ia makan. Tidak seperti penampilanya yang menyedihkan, apel itu mempunyai rasa manis yang menyegarkan. Membuatnya memakan beberapa apel merah untuk memenuhi kebutuhan perutnya.
"Kemari." titah Steven tanpa intonasi nada sedikutpun.
"Ahh." Rose terkejut saat sang raja dari ras zeros itu meggendongnya ala pengantin.
"Berisik."
"Kita akan memakan waktu lebih banyak jika harus mengandalkan kaki kecilmu itu." Steven berkata bosan.
Pemuda itu langsung melompat begitu sayap hitamnya menampakan diri. Membawa sang peri dalam pelukanya. Tidak ingin memberikan lebih banyak penjelasan kepada gadis itu.
Rose melingkarkan lenganya di leher pemuda itu dengan erat. Menutup bibirnya rapat-rapat supaya tidak mengusik sang raja. Khawatir jika penguasa Ras Zeros itu merasa dirinya terlalu mengganggu, dia akan melemparkan dirinya ke bawah dengan keras.
Ia dibuat bingung dengan perilaku sang pemuda. Di lain waktu, Ia akan bersikap acuh seolah tidak punya hati. Tetapi di lain waktu pemuda itu akan membantunya dengan rendah hati.
Jika pemuda itu tidak menolong saat dirinya tengah terjebak dalam ilusi tak terbatas, ada kemungkinan dirinya tidak akan pernah terbangun. Sang pemuda juga pasti telah melakukan sesuatu sehingga semua lukanya tiba-tiba sembuh.
Tetapi tatapan dingin yang Ia lihat saat terjatuh dari kuda membuatnya ragu. Mungkin, Ia akan mengamati pemuda itu sebentar lagi sebelum memutuskan akan memberikan kepercayaan kepada dirinya ataupun tidak.
"Tempat apa ini?" Rose bertanya setelah keduanya mendarat ke atas tanah.
"Ini adalah tempat kedua yang harus kau murnikan saat ini." Steven menjawab pertanyaan gadis itu.
Rose menatap tanah hitam, tanaman merambat dengan daun hitam, dan bebatuan berstektur aneh yang juga memiliki warna hitam.
Tidak ingin membuat sang pemuda kembali kesal, Rose segera membantu seluruh tempat itu untuk mendapatkan kembali vitalitas mereka melalui suara merdunya. Biasanya Ia akan membawa beberapa alat yang bisa menyalurkan energinya, tetapi pemuda itu tidak membuatnya mempersiapkan diri sehingga kini Ia hanya bisa menggunakan pita suaranya.
"Ahh.." Rose terkejut saat mendapati pemandangan asli itu begitu menakjubkan. Hanya saja, beberapa benda mengerikan terlihat mengelilinginya.
Bebatuan aneh yang Ia injak sebenarnya adalah tulang pinggul seseorang. Rose bergerak mundur untuk menghindari tulang itu tetapi seluruh tanah seperti tempat pemakaman. Tulang-tulang berserakan di mana-mana.
"Jangan berlarian." sikap Steven sangat dingin.
"Aku akan pergi sebentar. Tunggu aku di sini." pemuda itu tidak ingin membawa makhluk lemah itu kemanapun Ia pergi.
Rose tidak punya pilihan lain meskipun Ia tidak ingin ditinggalkan sendiri di tempat menyeramkan itu. Dirinya berharap bahwa pemuda itu akan segera kembali.
Tes.. tes..
Suara tetesan air jatuh dari awan mendung di daerah itu. Rose berusaha mencari pohon besar guna tempatnya berlindung dari hujan yang semakin deras.
"Hah..hah.." akhirnya gadis itu menemukan pohon besar tidak lama setelah menelusuri area sekitarnya.
Di balik pohon itu ternyata terdapat sebuah danau tersembunyi. Ditutupi oleh dataran yang lebih tinggi di sekitarnya dan dahan pohon yang menjulang.
Mungkin karena pemurnian yang gadis itu lakukan. Air danau itu terlihat berwarna hijau toska yang indah. Di sekelilingnya terdapat bunga-bunga cantik yang berwarna-warni.
Rose mencoba memetik salah satu bunga kecil itu setelah hujan reda. Mencoba mengurangi kebosanan menunggu sang raja kembali, Ia akhirnya memutuskan untuk merangkai mahkota bunga di dekat danau.
Byurr..
Tiba-tiba sebuah tanaman merambat keluar dari danau dan mengikat pergelangan kaki gadis itu. Menariknya untuk jatuh ke dalam air danau yang tampak tidak berbahaya.
Rose mencoba menarik kaki nya dengan sekuat tenaga. Tetapi tanaman itu malah semakin kuat saat menyeretnya. Gadis itu terlibat perjuangan tarik menarik selama beberapa saat sebelum dirinya hampir kehabisan nafas.
"Apa akhirnya seperti ini."
"Aku akan mati dengan cara ini."
"Tidak. Ayah dan adiku masih menungguku."
"Aku ingin hidup."
"Siapapun tolong aku."
Srett
Rose melihat sebuah cahaya menyilaukan dari tebasan pedang. Memotong tanaman merambat yang mengikat pergelangan kakinya. Sebuah tangan menariknya ke atas dengan kuat.
"Hah.." Rose menghirup udara sebanyak yang Ia bisa setelah keluar dari air.
"Bukankah sudah kubilang untuk tidak berkeliaran." Steven berucap keras kepada Rose.
"Kalau kau begitu ingin mati, aku akan mengabulkanya saat ini juga." pemuda itu membentak gadis yang baru saja lolos dari maut.
"Maaf."
"Maaf."
"Aku, hiks minta maaf." Rose tidak bisa menahan perasaan sedih dari hatinya.
Ia bukanlah orang yang cengeng. Ia juga bukan orang yang tangguh. Ia hanya makhluk lemah yang mencoba untuk bertahan hidup. Berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menjadi beban untuk siapapun.
Tetapi apakah Ia tidak boleh merasa takut. Apakah Ia tidak boleh menerima sedikitpun hati nurani dari pria itu. Dirinya baru saja selamat dari peristiwa yang mengancam nyawa. Dia hanya meminta sedikit waktu untuk menenangkan dirinya yang masih terlalu terkejut. Hanya itu.
"Hikss.. hiks.."
"Maaf."
"Maafkan aku."
Rose masih sesenggukan setelah berhenti menangis beberapa saat yang lalu. Setelah tenang, dirinya merasa malu karena pemuda itu hanya menonton saat dirinya menangis dengan keras.
"Sudah merasa lebih baik?" Steven berjalan mendekati peri cantik yang tengah duduk di tanah yang kotor.
"Maaf karena Anda harus melihat hal memalukan seperti ini, Yang Mulia." Rose tidak berani menatap pemuda itu.
"Tidak masalah. Berkat itu, aku bisa melihat wajahmu yang sebenarnya."
"Rosalia." Steven mencium tanda lahir di bawah mata sang peri.
Rose menatap pemuda itu dengan ketakutan. Ia begitu tenggelam dalam kekalutan sebelumnya sehingga dirinya lupa bahwa bubuk ajaib akan terhapus begitu tersentuh dengan air.
"Saya benar-benar minta maaf Yang Mulia. Ini tidak seperti yang Anda pikirkan." Rose berbicara dengan bibir gemetar.
"Kalau begitu katakan padaku alasanya. Jika aku tidak puas dengan penjelasan yang kau berikan, jangan salahkan aku karena bersikap kasar." Steven berbicara dengan perlahan.
Pemuda itu membelai paras rupawan sang peri dengan lembut. Tidak mengalihkan perhatianya dari tanda lahir cantik di bawah mata sang gadis. Rose mungkin tidak tahu bahwa penampilanya yang menyedihkan sudah mengurangi setengah dari kemarahan sang pemuda.
Ada sebuah fakta yang dikenal secara luas di belahan bumi manapun. Seorang pria, selalu lemah terhadap air mata dari gadis cantik.