Chereads / Dibalik Kegelapan yang Mencekam / Chapter 15 - Kutukan

Chapter 15 - Kutukan

Rose terbangun di sebuah tempat asing. Ia mendapati bahwa dirinya tidak berada di ruangan mewah yang terakhir kali Ia ingat melainkan kamar yang seluruh bangunanya terbuat dari kayu.

"Apa yang terjadi?"

"Kenapa aku berada disini? Apa yang dilakukan oleh pemilik penginapan itu?"

"Apa lagi-lagi Yang Mulia menyelamatkanku?" berbagai pertanyaan menghampiri benak gadis itu.

Pakaianya sudah diganti dengan pakaian lain. Rose menghela nafas lega saat tidak ditemukan jejak apapun di tubuhnya. Gadis itu kemudian mencari sosok yang mungkin telah membantu dirinya.

"Yang Mulia." Rose berbisik segera setelah menemukan sang penguasa kegelapan yang tengah tertidur di sofa besar ruang tamu rumah itu.

Sang peri melangkah perlahan saat mendekati pemuda yang tengah tertidur itu. Tidak setiap hari Ia bisa melihat pemandangan yang menakjubkan.

Rose menyadari bahwa ada yang salah dengan sang penguasa ras zeros begitu Ia sampai di samping sang pemuda. Keringat dingin terbentuk di wajah tampan Stevan. Pemuda itu mengerutkan kening dengan nafas yang tidak teratur seolah sedang kesakitan.

"Yang Mulia." Rose mengguncang lengan Stevan mencoba membangunkan pemuda itu.

Stevan seolah terputus dari dunia luar. Tidak merespon panggilan dari peri cantik itu. Tidak putus asa, Rose segera mencari ruang dapur untuk menemukan sebuah handuk dan air hangat.

Gadis cantik itu melantunkan sebuah lagu saat tanganya dengan terampil menyeka keringat dari wajah sang pemuda. Gerakanya lembut dan hati-hati. Tidak lama kemudian, ekspresi Stevan mulai membaik.

Rose menghela nafas lega saat menyadari bahwa pemuda itu berangsur pulih. Dia memang masih sedikit ragu tentang kepribadian pemuda itu, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sang penguasa ras zeros telah menyelamatkanya lebih dari sekali. Ia bukanlah orang yang tidak tahu bagaimana membalas budi.

Rose melirik penunjuk waktu berbentuk kubus di sudut meja yang menunjukan waktu dua dini hari. Gadis itu kembali ke ruangan yang sebelumnya Ia tempati setelah memastikan kondisi Stevan baik-baik saja.

Keduanya tertidur dengan nyenyak dan hanya terbangun begitu terdengar suara gaduh dari luar rumah.

"Buka pintu."

Duag

Duag

Terdengar gedoran yang memekakan telinga.

Rose segera keluar dari kamarnya dan bertemu dengan mata merah Stevan. Pemuda itu terlihat lebih segar dibandingkan dengan sebelumnya. Rose segera memalingkan wajahnya. Kali ini bukan karena takut , tetapi terlalu lama menatap wajah bak pahatan sempurna itu tidak baik untuk jantung kecilnya.

"Tetap berdiri di belakangku." Stevan berkata sesaat sebelum membuka pintu.

Puluhan ksatria bayaran Ras Zeros mengelilingi tempat itu. Menatap mereka dengan tatapan ganas. Seorang lelaki paruh baya mengenakan topi hitam terlihat seperti pemimpin mereka.

"Kau yakin mereka orangnya." Lelaki bertopi bertanya kepada seorang ksatria di sampingnya.

"Saya yakin. Saya melihat dengan mata kepalaku sendiri pemuda itu yang membunuh Tuan Muda." ksatria itu menjawab.

Lelaki bertopi itu melangkah menuju sepasang laki-laki dan perempuan yang baru saja keluar dari rumah kayu.

"Maafkan kekasaran saya. Tetapi Anda telah menyinggung seseorang yang tidak seharusnya Anda usik." orang itu berbicara kepada Stevan yang berdiri di depan Rose.

"Benarkah? Apa lelaki tua dari Vansizger yang menyuruhmu." Stevan berkata dengan tenang.

"Kau tau keluarga Vansizger? Mereka menguasai setengah dari wilayah Ras Zeros. Seharusnya kau tidak menyinggung mereka." Lelaki bertopi itu mengeluarkan sebuah pedang panjang dari udara kosong. Mengeluarkan senjata bawaanya.

"Setengah?" Stevan menyeringai sinis.

"Jadi jangan salahkan aku jika harus bersikap tidak sopan. Tetua Vansizger memintaku untuk membawa kepalamu." Lelaki bertopi itu mengibaskan pedangnya ke arah Stevan. Mengeluarkan cahaya kilat biru saat pedang itu digunakan.

Boom

Asap hitam mengepul saat kilatan itu menabrak sesuatu. Bayangan dua orang yang terkena serangan kilat itu tidak terlihat. Hanya debu yang menutupi seluruh area.

"Tidak terasa sama sekali." Stevan berkata setelah debu dan asap menghilang dari pandangan.

Rose tidak bisa berkata-kata saat melihat pemuda itu menepis serangan lelaki bertopi dengan tangan kosong.

"Sudah kuduga tidak semudah itu mengalahkan orang yang bisa membunuh tuan muda Keluarga Vansizger." lelaki itu melepaskan topinya. Memperlihatkan wajah dengan bekas luka melintang di wajahnya yang garang.

"Formasi!" teriakan lantang diucapkan oleh si lelaki.

Para ksatria bersiap ke posisi masing-masing saat mendengar perintah dari pemimpin mereka. Ada total sembilan kelompok dengan masing-masing beranggotakan tujuh orang di dalamnya.

Kelompok pertama bertugas untuk serangan mengecoh yang memiliki kemampuan untuk membuat ilusi, kelompok kedua adalah penyerang utama sedangkan kelompok ketiga adalah bala bantuan dengan senjata utama obat dan racun. Kelompok selanjutnya memiliki fungsi yang sama berdasarkan urutanya.

Rose merasa kepalanya pusing dan tidak bisa berdiri dengan benar. Ia melihat sekelompok kalajengking hitam dengan sengatan racun berdiri mengelilinginya. Saat dirinya ingin melangkah mundur untuk menghindari salah satu kalajengking yang ingin menyerangnya, Rose merasa tubuhnya ditarik ke dalam pelukan seseorang.

"Tutup matamu." Stevan berbisik di telinga Rose.

Gadis itu mengikuti kata-kata sang pemuda. Menutup manik birunya, Ia merasa bahwa seseorang mencium pipi kananya.

"Patuh sekali." Steven merasa puas saat melihat peri cantik itu mentaati kata-katanya. Dirinya menghadiahi gadis itu dengan ciuman lembut di tanda lahir sang peri.

Setelah memastikan Rose aman dalam pelukanya, Stevan menatap sekelompok orang yang ingin mengantarkan nyawa mereka. Berjalan dengan tenang ke pusat formasi, Stevan mengeluarkan sepasang sayap hitam yang kokoh.

Setiap langkah pemuda itu mengandung tekanan mematikan yang membuat jantung mereka hancur. Setiap darah memuncrat dari tubuh korbanya, pupil Stevan bertambah semakin merah.

"Bunuh mereka."

"Bunuh."

"Hancurkan mereka."

Bisikan-bisikan itu semakin keras terdengar di telinga sang pemuda. Membuat seringai pemuda itu berubah lebih kejam setiap detiknya.

Stevan menghirup aroma amis yang menguar dari tubuh yang sudah Ia cincang menggunakan pedang miliknya.

"Lebih."

"Ia ingin lebih."

Stevan menjilat bibir merahnya menunjukan bahwa Ia mulai dikuasai oleh rasa haus darah.

"Yang Mulia."

"Apa saya sudah boleh membuka mata." Rose bertanya setelah tidak mendengar suara gaduh yang ditimbulkan oleh orang lain.

Suara lembut gadis itu seolah menjadi mata air di padang pasir yang gersang. Membuat Stevan mendapatkan kembali ketenanganya.

"Yang Mulia?" Rose kembali bertanya saat tidak mendapatkan jawaban dari pemuda itu.

Stevan mengamati gadis peri yang masih berada dalam pelukanya. Ia membawanya ala pengantin sehingga gadis itu bisa menyembunyikan wajahnya di dada bidang miliknya. Mempermudah dirinya untuk menghirup udara manis yang menyegarkan dari tubuh sang peri.

"Sepertinya menyimpanya untuk beberapa saat lagi tidak begitu buruk." Steven bergumam di dalam batinya.

"Tidak perlu. Kita akan segera kembali menuju Istana."

"Akan lebih baik jika kau menyembunyikan wajahmu sampai kita sampai di sana." Stevan berkata dengan tenang.

Pemuda itu kemudian mengibaskan sayap hitamnya untuk segera pergi dari tempat itu. Berbeda dengan keberangkatan mereka yang menggunakan kuda bersama, kini mereka kembali bersama menggunakan sayap hitam penguasa ras zeros menuju istana.