"Jadi kita harus menyatukan jiwa saat pengikatan dilakukan. Jika salah satu jiwa lebih kuat dari yang lain. Maka jiwa yang lainya akan tertindas bahkan mungkin bisa tidak selamat selama proses pengikatan." Nyonya Zara tengah memberikan penjelasan.
"Oleh karena itu, hari ini kita akan mencoba untuk menilai seberapa kuat jiwa kalian." wanita paruh baya itu mengeluarkan sebuah bola mutiara.
"Ini disebut mutiara naga. Mutiara ini berfungsi untuk mengukur kekuatan jiwa. Fokuskan kekuatan jiwa kalian ke arah mutiara ini dan benda ini akan merespons jiwa kalian."
"Urutan warna dari yang terlemah adalah merah, merah muda, kuning, hijau, biru, orange dan ungu. Yang Mulia memiliki warna ungu saat terakhir kali melakukan penilaian jiwa."
"Kalian hanya bisa mempunyai warna orange atau ungu. Jika kalian mendapatkan jiwa yang lebih rendah lebih dari satu tingkatan, kalian akan mati saat melakukan pengikatan dengan Yang Mulia."
"Apa ada pertanyaan?" Nyonya Zara bertanya setelah memberikan penjelasan.
"Apa ada cara untuk meningkatkan kekuatan jiwa kita Nyonya?" Leona bertanya kepada Nyonya Zara.
"Tentu." Nyonya Zara tersenyum penuh misteri.
"Bagaimana caranya nyonya?" Leona bertanya dengan semangat.
"Jiwa selalu berhubungan erat dengan garis keturunan. Jika jiwa kalian lemah, kalian hanya perlu memakan jiwa seseorang yang mempunyai garis keturunan yang sama dengan kalian. Semakin dekat garis keturunanya dengan kalian, semakin baik hasilnya." Nyonya Zara menjawab dengan lembut.
"Kau ingin mencoba menjadi yang pertama Leona?" wanita itu menawarkan.
"Dengan senang hati Nyonya." Leona melangkah maju.
Gadis cantik dari Ras Zeros itu meletakan tanganya di atas mutiara naga. Mengfokuskan seluruh kekuatan jiwanya ke dalam bola kristal itu.
Bola yang awalnya berwarna putih kusam, berubah warna menjadi merah, merah muda, kuning, hijau, biru dan berhenti di warna orange.
"Cukup bagus Leona."
"Eliza, sekarang giliranmu." Nyonya Zara memerintahkan.
Berbeda dengan penampilan Leona yang menawan, gadis manis yang satu ini memiliki wajah lembut yang membuat orang ingin melindunginya.
Eliza mengikuti langkah yang sudah dijelaskan oleh Nyonya Zara dan meletakan tanganya di mutiara naga. Gadis manis dari ras zeros itu menggigit bibirnya karena hasil penilaian menunjukan bahwa kekuatan jiwanya hanya berhenti di warna biru. Nyonya Zara tidak mengomentari Eliza sampai gadis itu kembali ke tempatnya.
"Nona Rose, sekarang giliran Anda." sikap Nyonya Zara berbeda saat memperlakukan Rosalia.
Rose berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju mutiara naga. Gadis peri itu merasa seseorang menatap punggungnya dengan tajam. Begitu Ia berbalik, Ia tidak merasakan perasaan itu lagi.
Rose mencoba mengabaikan tatapan tadi dan fokus untuk memusatkan kekuatan jiwanya lalu menyuntikanya ke dalam kristal itu. Kristal yang awalnya berwarna putih kusam memancarkan cahaya yang menyilaukan. Membuat mutiara itu bersinar benderang. Namun, tidak terjadi perubahan warna.
"Apa yang terjadi? Apa kekuatan jiwamu begitu lemah sehingga tidak cukup untuk membuat mutiara itu berubah warna?" Leona bertanya dengan lembut namun penuh sarkastik.
"Aku juga tidak tahu." Rose menjawab jujur.
"Nyonya, bukankah itu berarti Rose tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pengikatan dengan Yang Mulia?" Leona bertanya dengan bangga karena lebih unggul dari Rose.
Ia sudah merasakan keberpihakan Nyonya Zara terhadap gadis baru yang dipilih oleh raja sendiri. Namun Ia tidak mau melepaskan gelar ibu pewaris tahta yang sudah berada di depan matanya.
"Kita akan melakukan penilaian kembali pada tanggal pertama bulan depan. Untuk sementara, kalian diperbolehkan istirahat dari pelatihan." Nyonya Zara tidak menjawab pertanyaan dari Leona.
"Sekarang pergilah." Sang nyonya mengusir mereka.
"Baik Nyonya." Ketiga gadis itu menjawab serempak sebelum keluar dari kastil tempat pelatihan mereka.
Begitu mereka pergi, Nyonya Zara segera memasuki perpustakaan bawah tanah Kerajaan Zeros. Ia harus mempelajari dengan benar apa yang terjadi. Raja memerintahkan secara pribadi untuk menjaga seorang gadis cantik. Ia tidak berani berbicara dengan sombong jika tidak mengetahui hal yang sebenarnya terjadi pada saat penilaian.
***
Rose berjalan perlahan menuju kamarnya setelah kembali dari kastil pelatihan. Bukanya Ia tidak ingin cepat sampai dan segera beristirahat setelah seharian terkurung di kastil itu. Hanya saja sampai saat ini, dirinya belum berhasil menghafal jalan labirin yang harus Ia lewati untuk menuju ruang pribadinya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" suara seorang pemuda terdengar serak.
"Yang Mulia." Rose terkejut melihat penampilan raja yang terlihat sangat letih.
"Apa Anda baik-baik saja?" Rose bertanya prihatin.
"Tidak. Aku merasa sedang sekarat." Stevan menggendong Rose ala pengantin secara tiba-tiba.
"Ahh." Rose secara reflek mengalungkan lenganya ke leher raja muda itu.
Pemuda itu berjalan dengan tenang sambil membawa peri cantik itu. Rose dibuat bingung oleh sang pemuda sehingga Ia tidak menyadari bahwa Stevan tidak membawa gadis itu ke kamarnya melainkan ke kamar si pemuda.
"Ini dimana Yang Mulia?" Rose bertanya setelah menyadari bahwa ranjang yang Ia duduki bukanlah ranjang di kamarnya.
Brugh
Stevan membaringkan tubuhnya di samping gadis itu. Memegang tangan sang gadis dan meletakanya di dahi pemuda itu.
"Lakukan lagi." Stevan berbisik lirih.
"Lakukan apa Yang Mulia?" Rose bertanya tidak mengerti.
"Hal yang kau lakukan saat di rumah kayu. Itu membuatku merasa tenang." Stevan menjelaskan dengan suara lelah.
Pemuda itu merasa lebih baik setelah menerima perawatan si peri cantik saat itu. Ia sudah sadar saat mendengar alunan merdu sang gadis. Namun Ia merasa sangat nyaman dan tidak ingin membuka matanya sehingga dirinya hanya membiarkan Rose melakukan apapun yang Ia mau.
"Sekarang bernyanyilah." Stevan memerintahkan dengan mata tertutup.
Sayangku yang agung
Sayangku yang terkasih
Tidurlah dengan nyenyak
Lupakan keluh kesahmu
Lupakan rasa lelahmu
Sakit yang menyakiti
Luka yang membuat perih
Pergilah menjauh
Jangan pernah kembali
Ku kan menjadi malaikat yang melindungi kesayanganku.
Rose membelai surai hitam raja muda dari Ras Zeros. Mengamati saat nafas pemuda itu mulai teratur.
"Benar-benar jebakan kecantikan."
"Dengan wajah seperti ini, kau bahkan bisa menghancurkan sebuah negara hanya dengan sosokmu." Rose berbisik perlahan saat tanganya menggoda bulu mata lebat pemuda itu.
"Menurutmu begitu?" Stevan membalas kata-kata gadis itu.
"Yang Mulia. Anda belum tertidur." Rose terkejut saat sang raja membuka matanya.
"Kenapa? Kalau aku tertidur, aku tidak akan mendengar kekasaranmu padaku." Stevan menjawab dengan santai.
"Maafkan saya Yang Mulia." Rose menundukan wajahnya. Menghindari tatapan dari Penguasa Ras Zeros.
Stevan beranjak duduk di samping Rose. Tangan besarnya memegang dagu gadis itu. Mengangkatnya perlahan agar sang peri mengangkat wajahnya.
"Jangan menundukan wajahmu."
"Aku suka melihat benda ini." Stevan membelai tanda lahir Rose dengan lembut.
"Benar-benar membuatku ingin menciumnya." Stevan segera melakukan apa yang baru saja Ia katakan.